Dongeng
Konon katanya, ada bunga ajaib
yang bisa memberikan kebahagiaan. Candra penasaran sekali. Diam-diam dia pergi
mencari bunga tersebut di hutan.
Pengharapan Candra untuk bisa
menemukan bunga ajaib sangat besar. Karena kehidupannya yang kekurangan, Candra
ingin sekali membahagiakan ibu bapaknya. Bahkan kalau bisa, ia akan membantu
seluruh penduduk di desanya. Hampir seluruh warga di desanya kekurangan. Mungkin
hanya beberapa saja yang hidupnya lebih baik. Seperti Juragan Bagio yang sering
berdagang ke kota.
Suatu hari, Candra mendapati satu sisi hutan yang tak biasa. Suasananya amat sunyi. Tidak terdengar sedikit pun suara binatang hutan. Bunyi desir angin di dedaunan pun tak tertangkap telinga. Candra mengamati ada cahaya nampak di kejauhan. Dengan perasaan yang tiba-tiba tak menentu, Candra berjalan tersandung-sandung mendekat ke arah cahaya tersebut.
Betapa terpananya Candra.
Tiba-tiba saja ia sudah berada di sebuah kebun bunga yang luar biasa.
Bunga-bunganya merah bermekaran. Namun yang istimewa adalah, bunga-bunga
tersebut memendarkan cahaya lembut yang menghangatkan.
“Beruntungnya aku,” gumam Candra tanpa sadar. Akhirnya ia menemukan bunga ajaib! Dengan tangan-tangan gemetar Candra memetik salah satu kuntum bunga. Kehangatan dan cahaya kuntum bunga itu menular ke tubuh Candra. Membuat anak laki-laki itu juga ikut bersinar. Pakaiannya yang lusuh tiba-tiba menjadi indah. Debu dan luka di tubuhnya menghilang. Candra merasa amat riang.
“Kalau aku bawa pulang bunga ini ke rumah, ibu bapak pasti tidak susah lagi hidupnya.”
Dengan berjingkrak-jingkrak, Candra melangkah pulang. Sayangnya ia tidak memperhatikan. Dahan bunga yang dipetiknya tadi, kini berubah hitam dan tak lagi bercahaya. Meninggalkan satu sudut gelap di tengah bunga-bunga ajaib lain yang benderang.
Di tengah jalan langkah Candra terhenti. Ia bertemu dengan seorang anak perempuan kecil yang tengah menangis tersedu-sedan. Candra memrpehatikan kalau anak itu amat kurus. Bajunya juga lebih usang dari baju miliknya. Candra merasa kasihan melihatnya.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Candra. Anak perempuan kecil itu tidak menjawab. Candra juga tidak merasa perlu mendapat jawaban. Melihat air matanya yang berjatuhan sudah cukup bagi Candra.
“Ayo, ikut aku!” ajak Candra. Karena anak perempuan itu ragu-ragu, Candra lalu menarik lengan bajunya. Candra kaget sekali. Padahal ia hanya meraik pelan. Namun nyaris ia merobek baju itu. Alangkah lusuhnya pakaian anak ini, pikir Candra terharu.
Candra membawa anak kecil itu menuju kebun bunga ajaib. Ia ingin anak itu juga mendapat sekuntum bunga ajaib. Supaya anak itu bisa mendapatkan kebahagiaan, seperti dirinya.
Ketika keduanya tiba di sana, Candra sungguh senang melihat anak perempuan itu tampak terpesona. Mulutnya membentuk huruf O. Matanya membelalak. Ia bergantian memandangi Candra, lalu ke kebun bunga itu.
“Ini bunga ajaib. Bunga ajaib bisa memberikan kebahagiaan. Ini aku sudah ambil satu,” kata Candra dengan bangga. “Oh, iya, namaku Candra. Nama kamu siapa?”
Karena anak perempuan itu tidak menjawab saking terpesonanya, Candra mengulang lagi pertanyaannya.
“Nama kamu siapa, sih?”
“Ririn.”
“Ririn, ayo petik satu. Biar kamu tidak sedih lagi,” kata Candra menyemangati.
Anehnya, tiba-tiba saja wajah Ririn berubah murung.
“Kamu kenapa?” tanya Candra heran. “Ayo, petik bunganya.” Candra makin heran saja. Sebagai jawaban, Ririn malah menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Kamu tidak mau? Kenapa?”
Ririn tidak menjawab. Namun ia terus saja menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin Ririn tidak menginginkan bunga ajaib ini?
Lalu ia melihat Ririn mengangkat tangannya. Jarinya menunjuk ke salah satu sudut kebun bunga. Candra mengikuti arah jemari tersebut. Candra amat terkejut. Ia melihat tanaman bunga ajaib yang layu dan hitam. Tak bercahaya sama sekali, tidak seperti tanaman bunga ajaib di sekitarnya.
“Itu… di situ aku tadi memetik bunganya,” kata Candra perlahan. “Kenapa tanamannya mati? Apa karena aku memetik bunganya?” Perasaan Candra jadi gundah.
“Mungkin lebih baik bunganya dikembalikan,” kata Ririn.
Rasanya amat berat bagi Candra. Ketika akhirnya ia menemukan bunga ajaib, ia malah tidak bisa memetiknya. Padahal ia sudah tidak sabar ingin memberikan kuntum bunga ajaib kepada ibu bapaknya. Namun, melihat tanaman bunga ajaib yang jadi layu dan mati, Candra juga tidak sampai hati.
“Kalau kuntum bunganya kukembalikan, apa tanamannya akan hidup lagi?” kata Candra bertanya-tanya.
“Coba saja dulu,” sahut Ririn.
Candra pun meletakkan kuntum bunga tersebut ke dahan tempat ia sebelumnya telah memetiknya. Ajaib! Kuntum bunga itu langsung bersatu kembali dengan dahannya. Dan tanaman bunga ajaib kembali hidup dan bersinar.
Melihat kenyataan itu, Candra mendesah sedih. Tak ada harapan baginya untuk memiliki bunga ajaib, tanpa membuat tanaman itu mati.
“Lebih baik kita pulang saja,” kata Candra lesu. Dari sudut matanya, ia menangkap kalau Ririn terlihat gelisah. “Ada apa?”
“Aku… aku tidak tahu jalan pulang. Aku tersesat,” jawab Ririn pelan-pelan.
“Memangnya rumahmu dimana?”
“Di desa Raya.”
“Desamu jauh sekali. Kenapa kamu bisa sampai tersesat di sini?” tanya Candra.
“Aku membantu ayahku. Kami membawa hasil ladang ke sini untuk dijual. Tapi aku terpisah,” kata Ririn dan ia pun mulai mengisak lagi.
Candra membatin, Kasihan sekali Ririn. Hidupnya tentu lebih susah dariku. Dan aku tidak bisa membantunya dengan bunga ajaib.
“Apa kamu sudah lama terpisah dengan ayahmu?”
“Aku tidak tahu. Mungkin beberapa jam.”
Candra berpikir. Ia ingin membantu Ririn. Namun ia tidak bisa mengantar Ririn pulang ke desa Raya. Ia sendiri tidak tahu jalan menuju ke sana. Salah-salah, ia malah membuat Ririn tambah tersesat. Lalu sebuah ide terlintas.
“Katamu, kamu dan ayahmu membawa hasil ladang untuk dijual di sini?”
Ririn mengangguk.
“Kamu tahu dijual kepada siapa?”
Ririn menggelengkan kepalanya. “Kami baru pertama kali ke desa ini.”
Candra berpikir keras. Siapa kira-kira di desanya yang akan membeli hasil ladang? Kebanyakan penduduk di sini miskin, seperti keluarganya. Mana mungkin membeli hasil ladang. Biasanya mereka menanam sendiri untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Kemudian Candra teringat sesuatu. Ada seorang penduduk desa yang berkecukupan. Juragan Bagio namanya. Biasanya Juragan Bagio mengolah hasil-hasil ladang untuk dibuat makanan lain, kemudian dijual ke kota. Semoga saja ayah Ririn pergi ke sana.
“Ririn, ayo ikut aku. Sepertinya aku tahu kemana ayahmu pergi.”
Benar dugaan Candra. Syukurlah, Ririn bisa bertemu dengan ayahnya di saat yang tepat. Ayah Ririn baru saja hendak pergi mencari putrinya. Ia sudah sedari tadi kebingungan. Ketika Ririn berlari-lari menghampirinya, pria itu begitu bahagia.
Melihat kejadian itu, Candra merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya. Ia merasa bahagia. Tetapi rasa bahagianya tidak sama seperti ketika ia menemukan bunga ajaib. Candra jadi bertanya-tanya. Lalu, ketika ia menceritakan serangkaian pengalamannya hari itu kepada ibunya, Candra pun mendapatkan jawabannya.
Kata ibunya, “Kebahagiaan bisa didapat, bukan dari mengambil sesuatu dari orang lain, melainkan ketika kita bisa memberi sesuatu kepada orang lain.”
Cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment