Dongeng
Pak Mowel adalah seorang suku Hualo sejati. Dia selalu mengenakan topi sabut kelapa dan tidak lupa menyematkan daun
kemangi yang wangi di sana. Ini topi khas yang dipakai oleh pria-pria suku Hualo.
Dia adalah pria yang baik hati. Cita-cita masa kecilnya adalah menjadi kepala
suku. Namun sepanjang hayatnya hal itu tidak pernah terjadi.
Suatu pagi Pak Mowel mengajak Wimol
dan Miwol ke pantai. Pak Mowel bermaksud mengajarkan cara berenang kepada
anak-anaknya. Namun Wimol dan Miwol lebih tertarik dengan permainan mereka
sendiri. Sebetulnya permainan yang dimaksud adalah menanyai ayah mereka ini dan
itu. Keduanya sangat senang sekali bertanya ini dan itu. Mereka pun menamainya Permainan
Ini-Itu. Kadang-kadang Pak Mowel bisa menjawabnya dengan benar. Namun
seringkali Pak Mowel tidak tahu jawabannya. Mungkin karena semasa kecil ia
tidak terlalu rajin belajar (dan mungkin itulah sebabnya mengapa Pak Mowel
tidak pernah bisa jadi kepala suku).
Tanya Miwol, “Ayah, kenapa kita
makan daging ternak?”
“Kalau kau tidak mau, kau bisa
makan sayur dan kacang,” jawab Pak Mowel. Miwol tak puas dengan jawaban itu. Ia
bertanya lagi.
“Kenapa harus hewan ternak?
Kenapa bukan beruang atau macan tutul?”
“Karena untuk memakan beruang atau macan tutul, maka kita harus berduel
dulu dengan hewan-hewan itu. Mana mungkin kita bisa memakan sesuatu yang bisa
memakan kita juga. Kalau sapi, kau tinggal menyembelihnya.”
Kening Miwol berkerut, berpikir.
Benarkah begitu?
“Terus, bagaimana dengan
kalajengking? Rasanya kita tidak perlu berduel dengan kalajengking. Tapi kenapa
kita tidak pernah makan kalajengking?”
“Oh, itu sama saja halnya dengan padi
dan pohon bintaro. Kau hanya makan sesuatu yang membuatmu sehat. Bukan sesuatu
yang bisa membuat perutmu sakit,” jawab Pak Mowel. Anak laki-lakinya
manggut-manggut.
Wimol pun punya pertanyaan.
Bahkan sudah diendapnya sejak tadi malam. Ia nyaris tidak bisa tidur memikirkan
pertanyaan ini. Namun semalam ayahnya sudah tidur dan dia tidak bisa
mengganggunya.
“Ayah, kenapa kita harus memakai
pakaian?”
“Seseorang bisa dinilai
kehormatannya dari baju yang dikenakannya. Seperti belang pada harimau, pola kulit jerapah, corak bulu merak. Juga topi sabut kelapa ini,” jawab Pak
Mowel seraya menunjuk topi di atas kepalanya dengan bangga.
“Ayah, kenapa bulan munculnya
hanya di malam hari?” Miwol bertanya lagi. Kali ini Pak Mowel bingung harus
memberi jawaban apa. Rasanya ia ingat gurunya dahulu pernah menjelaskan hal
ini. Namun Pak Mowel tidak memperhatikan. Akibatnya sekarang dia tidak tahu.
“Ng… karena bulan terserang
penyakit insomnia. Kalian tahu? Sulit untuk tidur. Karena malam hari begitu
dingin, bulan tidak bisa tidur. Makanya ketika siang hari dan matahari
bersinar, bulan baru pergi tidur. Karena suasana cukup hangat pada siang hari,”
karang Pak Mowel.
Miwol menimbang-nimbang dalam
hati. Sebelum sempat dia mengutarakan keraguannya, Wimol sudah lebih dulu
mengajukan pertanyaan lain.
“Ayah, kenapa angin tidak bisa
dilihat?”
Pak Mowel melepas topi sabut
kelapanya, menggaruk-garuk kulit kepalanya, lalu mengenakan kembali topi
kehormatannya itu.
“Ng… “ Pak Mowel menautkan kedua
alisnya yang hitam. “Angin itu makhluk yang pemalu. Dia merasa tidak nyaman
kalau makhluk lain melihat dirinya.”
“Bukankah kita harus bergaul?”
tanya Wimol.
“Angin punya caranya sendiri. Dia
cukup bertiup sepoi-sepoi kalau ia sedang ramah, atau bertiup kencang kalau ia
sedang marah. Kita harus menghormati keputusannya untuk tidak terlihat,” kata
Pak Mowel. “Seperti kita menghormati orang yang tidak suka memakai topi sabut
kelapa, atau orang yang suka memelihara janggut.”
Ketika itu terdengar bunyi ombak
menghantam batu karang. Miwol menatap dengan kagum dan seketika berseru, “Wah,
dahsyat! Ayah, aku ingin sekuat batu karang! Meskipun diserang ombak, tetap
kokoh dan tidak pernah marah! Bagaimana caranya?”
“Oh, itu, sih, mudah,” jawab Pak
Mowel santai. “Caranya adalah melakukan ritual menyantap tumbuhan hijau dari
kebun dan protein dari ikan di sungai, sebanyak tiga kali sehari. Ditambah rajin
menenggak air putih—maksud ayah benar-benar air berwarna putih, bukan bening.”
“Di mana bisa mendapatkan air
berwarna putih?” tanya Miwol.
“Ternak sapi atau kambing bisa
membantumu mendapatkannya,” jawab Pak Mowel.
“Apa cara itu bisa berhasil
membuatku kokoh seperti batu karang?” tanya Miwol lagi.
“Kalau tak percaya tanyakan
sendiri pada batu karang.”
“Bagaimana caranya?” Miwol
sangsi.
“Tinggal kau datangi dan ucapkan
pertanyaanmu.”
“Apa batu karang akan menjawab?”
Miwol makin sangsi.
“Kau kan belum mencobanya.
Bagaimana bisa tahu?” Pak Mowel balik bertanya. Miwol pun manggut-manggut
paham. Jika ada kesempatan, kelak akan ia tanyakan perkara ini kepada batu
karang.
Karena hari sudah siang dan sudah
waktunya makan siang, Pak Mowel membawa anak-anaknya pulang ke rumah.
Bu Wimel (dia istri Pak Mowel)
telah menanti di depan pintu sambil tersenyum. Dia memang wanita yang suka
tersenyum. Makanya wajahnya cantik dan tubuhnya sehat.
Wimol dan Miwol dengan riang
menceritakan kegiatan mereka selama di pantai tadi. Kata Miwol,
“Ibu, kata ayah, bulan terkena
penyakit insomnia.”
“Ayahmu hanya mengarang saja,”
jawab Bu Wimel.
Miwol kecewa mendengarnya.
“Lalu, bagaimana tentang angin
yang pemalu?” sahut Wimol.
“Itu juga hanya karangan ayahmu.”
Wimol juga kecewa mendengarnya. Dengan
amat berat Wimol berkata, “Apa ayah membohongi kami?”
Bu Wimel tersenyum dan menjawab, “Oh,
ayahmu membuat cerita yang luar biasa tentang bulan dan angin. Juga tentang
batu karang. Apa kalian tidak menyukainya?”
Sebetulnya Wimol dan Miwol
menyukainya. Namun, bagaimana kalau Wimol benar-benar ingin tahu mengapa angin
tak terlihat? Bagaimana caranya Miwol bisa tahu kenapa bulan hanya muncul di
malam hari?
“Hmmm…” Bu Wimel menggumam dan
kepalanya manggut-manggut memikirkan hal ini. “Mungkin sudah waktunya kalian
menyelidiki sendiri hal tersebut.”
“Menyelidiki?” ulang Miwol.
“Apa yang mesti kami lakukan
untuk menyelidiki?” tanya Wimol.
“Oh, mudah sekali. Yang pertama,
tubuh kalian harus kuat dulu. Tapi… caranya bagaimana, ya?”
“Aku tahu! Aku tahu!” seru Miwol
bersemangat. Teringat kata-kata ayahnya tentang batu karang. “Kata ayah, aku
harus melakukan ritual menyantap tumbuhan hijau dari kebun dan protein dari
ikan di sungai. Ditambah menenggak air putih—ini benar-benar air yang berwarna
putih, bukan bening. Ternak sapi dan kambing bisa membantu mendapatkan air
putih ini.”
“Wah, ide ayah sungguh luar
biasa. Ibu setuju sekali dengan ritual itu,” ucap Bu Wimel.
Miwol tersenyum senang. Dia
sungguh bangga pada ayahnya. Apalagi kalau mengingat topi sabut kelapa. Ia
ingin segera tumbuh besar agar dapat mengenakan topi tersebut seperti ayahnya,
dan menjadi seorang pria Hualo sejati.
“Sebenarnya, ada satu hal lagi
yang bisa kalian lakukan untuk memulai penyelidikan. Bahkan kalian sudah mulai
melakukannya!” seru Bu Wimel. Matanya berbinar-binar sehingga ia kelihatan
semakin tampak cantik.
Wimol dan Miwol sungguh
terperangah. Benarkah? Wah, hebat sekali! Bagaimana bisa mereka tidak
menyadarinya?
“Selain melakukan ritual itu,
kalian juga harus melakukan ritual lain, yaitu berenang!” kata Bu Wimel. Wimol
dan saudaranya Miwol langsung saling pandang. Kemudian terdengar Pak Mowel
berkata malu-malu,
“Soal itu… sebetulnya… kami
tadi... maksudnya… ng… kami belum sempat belajar berenang…”
Lalu Pak Mowel bercerita karena
sibuknya Wimol dan Miwol memainkan permainan ini-itu, Pak Mowel jadi lupa
tujuan awalnya mengajak anak-anaknya ke pantai.
“Kenapa berenang?” tanya Wimol
pada ibunya yang cantik dan sehat.
“Karena untuk bisa melakukan
penyelidikan tentang apapun di dunia ini, kalian harus gesit dan lincah.
Berenang bisa melatih kalian menjadi gesit dan lincah,” jawab Bu Wimel.
“Nah, anak-anak, jika nanti ayah
mengajak kalian lagi latihan berenang, kalian tidak akan mengecoh ayah lagi
dengan permainan ini-itu, kan?” tanya Pak Mowel.
“Tentu saja, Ayah,” jawab Mowel.
“Kami akan patuh,” tambah Wimel.
Kendatipun demikian, ia agak berat hati karena ia sangat suka permainan ini-itu.
Sebetulnya Miwol juga merasa begitu.
“Kalian tenang saja. Selama
berlatih berenang, kalian masih bisa melakukan permainan ini-itu,” kata Bu
Wimel pengertian.
“Benar juga. Wah, ibu sungguh
luar biasa!” seru Mowel. Wimel sependapat sekali. Ia jadi tidak sabar ingin
segera menjadi dewasa agar bisa cantik dan bijak seperti ibunya.
Permainan ini-itu Wimol dan Miwol
berakhir di hari itu. Mereka sudah tidak sabar menunggu esok hari untuk
melakukannya lagi. Sambil berenang mungkin. Wimol dan Miwol sangat penasaran
tentang segala sesuatu. Makanya, mereka harus menyiapkan diri untuk melakukan
penyelidikan tentang dunia yang luas ini.
cerita & ilustrasi oleh: Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment