Monday, 29 December 2014

PERMAINAN INI-ITU

cerita-anak-pantai-laut-pasir-pohon-kelapa-kartun

Dongeng

Pak Mowel adalah seorang suku Hualo sejati. Dia selalu mengenakan topi sabut kelapa dan tidak lupa menyematkan daun kemangi yang wangi di sana. Ini topi khas yang dipakai oleh pria-pria suku Hualo. Dia adalah pria yang baik hati. Cita-cita masa kecilnya adalah menjadi kepala suku. Namun sepanjang hayatnya hal itu tidak pernah terjadi.



Wimol dan Miwol adalah anak perempuan dan laki-laki Pak Mowel. Mereka sangat sayang pada ayah mereka. Apalagi kalau Pak Mowel sedang memakai topi sabut kelapanya. Wimol dan Miwol akan menatapnya dengan bangga.

Suatu pagi Pak Mowel mengajak Wimol dan Miwol ke pantai. Pak Mowel bermaksud mengajarkan cara berenang kepada anak-anaknya. Namun Wimol dan Miwol lebih tertarik dengan permainan mereka sendiri. Sebetulnya permainan yang dimaksud adalah menanyai ayah mereka ini dan itu. Keduanya sangat senang sekali bertanya ini dan itu. Mereka pun menamainya Permainan Ini-Itu. Kadang-kadang Pak Mowel bisa menjawabnya dengan benar. Namun seringkali Pak Mowel tidak tahu jawabannya. Mungkin karena semasa kecil ia tidak terlalu rajin belajar (dan mungkin itulah sebabnya mengapa Pak Mowel tidak pernah bisa jadi kepala suku).

Tanya Miwol, “Ayah, kenapa kita makan daging ternak?”

“Kalau kau tidak mau, kau bisa makan sayur dan kacang,” jawab Pak Mowel. Miwol tak puas dengan jawaban itu. Ia bertanya lagi.

“Kenapa harus hewan ternak? Kenapa bukan beruang atau macan tutul?”

“Karena untuk memakan beruang  atau macan tutul, maka kita harus berduel dulu dengan hewan-hewan itu. Mana mungkin kita bisa memakan sesuatu yang bisa memakan kita juga. Kalau sapi, kau tinggal menyembelihnya.”

Kening Miwol berkerut, berpikir. Benarkah begitu?

“Terus, bagaimana dengan kalajengking? Rasanya kita tidak perlu berduel dengan kalajengking. Tapi kenapa kita tidak pernah makan kalajengking?”

“Oh, itu sama saja halnya dengan padi dan pohon bintaro. Kau hanya makan sesuatu yang membuatmu sehat. Bukan sesuatu yang bisa membuat perutmu sakit,” jawab Pak Mowel. Anak laki-lakinya manggut-manggut.

Wimol pun punya pertanyaan. Bahkan sudah diendapnya sejak tadi malam. Ia nyaris tidak bisa tidur memikirkan pertanyaan ini. Namun semalam ayahnya sudah tidur dan dia tidak bisa mengganggunya.

“Ayah, kenapa kita harus memakai pakaian?”

“Seseorang bisa dinilai kehormatannya dari baju yang dikenakannya. Seperti belang pada harimau, pola kulit jerapah, corak bulu merak. Juga topi sabut kelapa ini,” jawab Pak Mowel seraya menunjuk topi di atas kepalanya dengan bangga.

“Ayah, kenapa bulan munculnya hanya di malam hari?” Miwol bertanya lagi. Kali ini Pak Mowel bingung harus memberi jawaban apa. Rasanya ia ingat gurunya dahulu pernah menjelaskan hal ini. Namun Pak Mowel tidak memperhatikan. Akibatnya sekarang dia tidak tahu.

“Ng… karena bulan terserang penyakit insomnia. Kalian tahu? Sulit untuk tidur. Karena malam hari begitu dingin, bulan tidak bisa tidur. Makanya ketika siang hari dan matahari bersinar, bulan baru pergi tidur. Karena suasana cukup hangat pada siang hari,” karang Pak Mowel.

Miwol menimbang-nimbang dalam hati. Sebelum sempat dia mengutarakan keraguannya, Wimol sudah lebih dulu mengajukan pertanyaan lain.

“Ayah, kenapa angin tidak bisa dilihat?”

Pak Mowel melepas topi sabut kelapanya, menggaruk-garuk kulit kepalanya, lalu mengenakan kembali topi kehormatannya itu.

“Ng… “ Pak Mowel menautkan kedua alisnya yang hitam. “Angin itu makhluk yang pemalu. Dia merasa tidak nyaman kalau makhluk lain melihat dirinya.”

“Bukankah kita harus bergaul?” tanya Wimol.

“Angin punya caranya sendiri. Dia cukup bertiup sepoi-sepoi kalau ia sedang ramah, atau bertiup kencang kalau ia sedang marah. Kita harus menghormati keputusannya untuk tidak terlihat,” kata Pak Mowel. “Seperti kita menghormati orang yang tidak suka memakai topi sabut kelapa, atau orang yang suka memelihara janggut.”

Ketika itu terdengar bunyi ombak menghantam batu karang. Miwol menatap dengan kagum dan seketika berseru, “Wah, dahsyat! Ayah, aku ingin sekuat batu karang! Meskipun diserang ombak, tetap kokoh dan tidak pernah marah! Bagaimana caranya?”

“Oh, itu, sih, mudah,” jawab Pak Mowel santai. “Caranya adalah melakukan ritual menyantap tumbuhan hijau dari kebun dan protein dari ikan di sungai, sebanyak tiga kali sehari. Ditambah rajin menenggak air putih—maksud ayah benar-benar air berwarna putih, bukan bening.”

“Di mana bisa mendapatkan air berwarna putih?” tanya Miwol.

“Ternak sapi atau kambing bisa membantumu mendapatkannya,” jawab Pak Mowel.

“Apa cara itu bisa berhasil membuatku kokoh seperti batu karang?” tanya Miwol lagi.

“Kalau tak percaya tanyakan sendiri pada batu karang.”

“Bagaimana caranya?” Miwol sangsi.

“Tinggal kau datangi dan ucapkan pertanyaanmu.”

“Apa batu karang akan menjawab?” Miwol makin sangsi.

“Kau kan belum mencobanya. Bagaimana bisa tahu?” Pak Mowel balik bertanya. Miwol pun manggut-manggut paham. Jika ada kesempatan, kelak akan ia tanyakan perkara ini kepada batu karang.

Karena hari sudah siang dan sudah waktunya makan siang, Pak Mowel membawa anak-anaknya pulang ke rumah.

Bu Wimel (dia istri Pak Mowel) telah menanti di depan pintu sambil tersenyum. Dia memang wanita yang suka tersenyum. Makanya wajahnya cantik dan tubuhnya sehat.

Wimol dan Miwol dengan riang menceritakan kegiatan mereka selama di pantai tadi. Kata Miwol,

“Ibu, kata ayah, bulan terkena penyakit insomnia.”

“Ayahmu hanya mengarang saja,” jawab Bu Wimel.

Miwol kecewa mendengarnya.

“Lalu, bagaimana tentang angin yang pemalu?” sahut Wimol.

“Itu juga hanya karangan ayahmu.”

Wimol juga kecewa mendengarnya. Dengan amat berat Wimol berkata, “Apa ayah membohongi kami?”

Bu Wimel tersenyum dan menjawab, “Oh, ayahmu membuat cerita yang luar biasa tentang bulan dan angin. Juga tentang batu karang. Apa kalian tidak menyukainya?”

Sebetulnya Wimol dan Miwol menyukainya. Namun, bagaimana kalau Wimol benar-benar ingin tahu mengapa angin tak terlihat? Bagaimana caranya Miwol bisa tahu kenapa bulan hanya muncul di malam hari?

“Hmmm…” Bu Wimel menggumam dan kepalanya manggut-manggut memikirkan hal ini. “Mungkin sudah waktunya kalian menyelidiki sendiri hal tersebut.”

“Menyelidiki?” ulang Miwol.

“Apa yang mesti kami lakukan untuk menyelidiki?” tanya Wimol.

“Oh, mudah sekali. Yang pertama, tubuh kalian harus kuat dulu. Tapi… caranya bagaimana, ya?”

“Aku tahu! Aku tahu!” seru Miwol bersemangat. Teringat kata-kata ayahnya tentang batu karang. “Kata ayah, aku harus melakukan ritual menyantap tumbuhan hijau dari kebun dan protein dari ikan di sungai. Ditambah menenggak air putih—ini benar-benar air yang berwarna putih, bukan bening. Ternak sapi dan kambing bisa membantu mendapatkan air putih ini.”

“Wah, ide ayah sungguh luar biasa. Ibu setuju sekali dengan ritual itu,” ucap Bu Wimel.

Miwol tersenyum senang. Dia sungguh bangga pada ayahnya. Apalagi kalau mengingat topi sabut kelapa. Ia ingin segera tumbuh besar agar dapat mengenakan topi tersebut seperti ayahnya, dan menjadi seorang pria Hualo sejati.

“Sebenarnya, ada satu hal lagi yang bisa kalian lakukan untuk memulai penyelidikan. Bahkan kalian sudah mulai melakukannya!” seru Bu Wimel. Matanya berbinar-binar sehingga ia kelihatan semakin tampak cantik.

Wimol dan Miwol sungguh terperangah. Benarkah? Wah, hebat sekali! Bagaimana bisa mereka tidak menyadarinya?

“Selain melakukan ritual itu, kalian juga harus melakukan ritual lain, yaitu berenang!” kata Bu Wimel. Wimol dan saudaranya Miwol langsung saling pandang. Kemudian terdengar Pak Mowel berkata malu-malu,

“Soal itu… sebetulnya… kami tadi... maksudnya… ng… kami belum sempat belajar berenang…”

Lalu Pak Mowel bercerita karena sibuknya Wimol dan Miwol memainkan permainan ini-itu, Pak Mowel jadi lupa tujuan awalnya mengajak anak-anaknya ke pantai.

“Kenapa berenang?” tanya Wimol pada ibunya yang cantik dan sehat.

“Karena untuk bisa melakukan penyelidikan tentang apapun di dunia ini, kalian harus gesit dan lincah. Berenang bisa melatih kalian menjadi gesit dan lincah,” jawab Bu Wimel.

“Nah, anak-anak, jika nanti ayah mengajak kalian lagi latihan berenang, kalian tidak akan mengecoh ayah lagi dengan permainan ini-itu, kan?” tanya Pak Mowel.

“Tentu saja, Ayah,” jawab Mowel.

“Kami akan patuh,” tambah Wimel. Kendatipun demikian, ia agak berat hati karena ia sangat suka permainan ini-itu. Sebetulnya Miwol juga merasa begitu.

“Kalian tenang saja. Selama berlatih berenang, kalian masih bisa melakukan permainan ini-itu,” kata Bu Wimel pengertian.

“Benar juga. Wah, ibu sungguh luar biasa!” seru Mowel. Wimel sependapat sekali. Ia jadi tidak sabar ingin segera menjadi dewasa agar bisa cantik dan bijak seperti ibunya.


Permainan ini-itu Wimol dan Miwol berakhir di hari itu. Mereka sudah tidak sabar menunggu esok hari untuk melakukannya lagi. Sambil berenang mungkin. Wimol dan Miwol sangat penasaran tentang segala sesuatu. Makanya, mereka harus menyiapkan diri untuk melakukan penyelidikan tentang dunia yang luas ini. 

cerita & ilustrasi oleh: Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment