Fabel
Choko adalah seekor kambing. Salah satu kaki belakangnya pincang. Dia sudah begitu
sejak lahir. Selain pincang, tubuh Choko juga lebih kecil dibanding kambing
seusianya.
Tempat tinggal Choko adalah sebuah kandang besar beraroma rumput.
Di sana ia tinggal bersama sembilan ekor kambing lainnya. Sayangnya, Choko
tidak berteman dengan kambing-kambing itu. Choko juga tidak mengerti, mengapa
mereka tidak pernah mengajaknya bermain. Setiap hari ketika pemilik mereka
menggembalakan mereka ke padang rumput, Choko selalu ditinggal di belakang.
Mereka juga selalu bergerombol dan tidak mengajak Choko berbincang. Choko jadi
berpikir,
“Mungkin karena kakiku pincang dan tubuhku
kecil.”
Kalau malam tiba, Choko seringkali masih
terjaga sementara kambing-kambing lain telah tertidur pulas. Kadang ia merasa
kesepian dan sedih karena tidak punya teman. Dari sela-sela kandangnya, Choko
mendongak menatap langit malam. Jika langit penuh bintang, perasaan Choko
menjadi lebih baik. Ia senang sekali melihat bintang-bintang di atas sana . Choko sering
bergumam,
“Engkau bintang, dan aku binatang.” Lalu ia
terkikik sendirian. Choko terus memandangi langit dan mengagumi keindahannya. Dan
jika langit dipenuhi cahaya halilintar dan suara guntur, Choko akan memejamkan
mata dan mendengarkan dengan damai suara alunan hujan. Semakin larut malam, Choko
tertidur dengan sendirinya.
Hari-hari Choko berlalu, nyaris sama setiap
harinya. Dia sering memperhatikan kambing-kambing lainnya yang saling bercanda.
Kadang-kadang bertengkar. Atau meliriknya diam-diam lalu saling berbisik. Choko
sungguh tidak mengerti mengapa mereka berbuat begitu padanya. Dan sekali lagi Choko
pun berpikir,
“Mungkin karena kakiku pincang dan tubuhku
kecil.”
Ketika itu sore hari dan langit mendung. Choko
memandangi kandangnya. Sesungguhnya itu adalah kandang yang hangat dan nyaman. Choko
tahu itu. Tetapi ia tidak berbahagia di dalamnya. Pikir Choko, mungkin lebih
baik jika ia pergi mencari kandang lain. Di mana kambing-kambingnya bersikap
ramah dan baik padanya.
Tetapi Choko tidak tahu bagaimana caranya
menemukan kandang baru. Tanpa sadar ia mulai melangkah keluar kandang.
Kambing-kambing lain memandanginya penuh rasa ingin tahu. Choko berjalan pelan.
Ia menghitung tiap langkah keempat kakinya.
Ketika terdengar suara guntur, Choko tersadar
kalau ia sudah terlalu jauh berjalan. Ia melemparkan pandang ke sekelilingnya.
“Di mana ini?” gumam Choko, agak cemas. Ia
tidak mengenali tempat sekarang ia berada. Jelas ini bukan padang rumput tempat
ia biasa digembalakan.
Air setetes demi setetes mulai berjatuhan
dari atas langit. Dan kemudian dengan deras mengguyur bumi. Choko berlari
secepat ia bisa untuk mencari tempat berteduh.
Malam sudah jatuh. Hujan masih turun dengan
amat deras. Choko mendongak menatap langit malam nan pekat. Tiada bintang yang
berkerlap-kerlip di sana. Choko menyesal pernah berpikir untuk pergi. Sekarang
ia rindu kandangnya yang nyaman dan hangat. Perasaannya jadi sedih.
Tetapi sebenarnya yang paling membuat Choko
sedih bukanlah karena ia tersesat. Ia sedih karena ia merasa sendirian. Apalagi
di langit tidak ada bintang. Satu-satunya teman yang dimiliki Choko yang tidak
pernah mengejeknya. Yang tidak sombong meski ia tinggi dan berkilau dan semua
orang mengaguminya, hanyalah bintang. Dan sekarang, ketika Choko sendirian dan kehujanan,
bintang-bintang itu tidak ada. Ia tidak pernah sesedih itu. Di gelap dan
dinginnya malam hari itu, Choko tertidur hanya ditemani gerujuk hujan.
Keseokan harinya, Choko dibangunkan oleh sinar
matahari dan aroma rumput basah. Suasana sehabis hujan tampak begitu damai. Choko
menarik napas dalam-dalam. Rumput basah membuatnya merasa segar. Langit biru
yang terbentang luas di atas sana
meneduhkan perasaannya.
“Aku harus pulang,” gumam Choko. Ia sudah
bisa berpikir jernih sekarang. Pergi dari kandang bukanlah keputusan yang
bijaksana.
Choko berjalan pincang mencari kan dangnya. Di hari yang
lebih terang begini, Choko dapat lebih mudah menemukan jalan pulang. Ketika
kandangnya sudah terlihat, perasaan Choko campur aduk. Antara gembira dan
cemas. Namun ia merasa lega ketika melihat pemiliknya berlari menyongsongnya
penuh rasa khawatir.
“Choko, kamu dari mana saja?”
Choko digiring masuk ke kandangnya. Ketika dua kaki depan Choko
melangkah masuk ke kandang, tanpa sengaja ia bertemu pandang dengan seekor
kambing. Perasaan Choko kembali galau. Ia kembali ke kehidupannya yang lama.
Tak punya teman. Tak ada kambing yang mau berbincang dengannya… Choko jadi
bertanya-tanya, benarkah keputusannya untuk kembali ke kandang?
Karena merasa canggung, malu-malu Choko tersenyum pada
kambing itu.
Choko pun terperangah. Kambing itu membalas senyumnya!
Dengan sedikit terbata Choko berkata,
“Se-selamat pagi.”
Tiba-tiba saja kambing tersebut berjalan mendekatinya. “Choko,
kamu semalam menginap di mana?” tanya kambing itu.
Choko sungguh terpana. Bagaimana mungkin kambing itu
mengajaknya bicara? Selama ini tidak ada seekor kambing pun yang melibatkan Choko
dalam percakapan apa pun. Apakah karena barusan tadi Choko tesenyum padanya?
Benarkah karena itu? Untuk memastikan, Choko pun mencoba tersenyum dan menyapa
kambing lainnya.
Choko benar-benar tak percaya! Sekarang semua kambing berebut
saling mengajukan pertanyaan perihal kepergiannya semalam. Ragu-ragu Choko berkata,
“Kukira, kalian tidak suka bicara denganku.”
“Yah, kalau selama ini memang betul. Karena kamu selalu
bermuka murung. Makanya kami jadi tidak berani mengajakmu bicara. Kami pikir,
kamu yang tidak mau berteman dengan kami.”
Oh, ternyata Choko sudah salah sangka. Selama ini, apa yang
dirasakannya hanyalah sebatas perasaan saja. Pikiran bahwa karena ia pincang
dan kecil sehingga tidak ada yang mau berteman dengannya, hanyalah sebuah
pikiran saja.
Suasana
menjadi begitu hangat. Perasaan Choko jadi haru. Ia juga merasa lega dan
berjanji tidak akan berpikir yang macam-macam lagi. Karena sekarang ia sudah
tahu. Yang perlu ia lakukan hanyalah tersenyum dan menyapa.
cerita & ilustrasi oleh: Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment