Sunday, 22 February 2015

BERMAIN PERANG-PERANGAN

ilustrasi-cerita-anak

Cerita Anak

“Katanya Pak Ustadz tidak mengajar hari ini,” kata Maman. Mukanya terlihat ceria.

“Bukan. Pak Ustadz terlambat datang. Beliau ada urusan dulu,” sahut Dika.

“Tapi kita sudah lumayan lama menunggu. Sudah lima menit,” kata Lino. Maman manggut-manggut sependapat.




“Iya, aku jadi bosan,” kata Yayan.

“Jadi, sekarang kita ngapain?” tanya Maman.

Seharusnya sementara menunggu Pak Ustadz, mereka bisa memperbaiki bacaan Al-Quran. Atau mengulang hapalan yang masih tersendat-sendat. Atau merapikan sajadah-sajadah untuk sholat magrib nanti. Tetapi, anak-anak itu tidak berpikir hingga ke situ. Malah Yayan tengah membayangkan asyiknya kalau ia sekarang sedang main sepak bola di lapangan. Maman membuyarkan khayalan itu. Karena menurut Maman yang paling asyik saat itu adalah bermain layang-layang.

“Makin bosan, nih,” ujar Lino, jari-jarinya mulai mengetuk meja panjang tempat ia dan teman-temannya belajar mengaji.

Mushola tempat mereka belajar mengkaji Al-Quran dari Pak Ustadz, hanyalah bangunan kecil. Tidak seluas itu untuk bisa dipakai bermain perang-perangan—tetapi, anak-anak itu melakukannya! Maman, Yayan, Lino, Dika dan beberapa anak lainnya membagi diri menjadi dua kelompok. Meja panjang mereka jadikan benteng, dan mulai saling menembaki dengan ujung jari mereka.

“Aku ingin jadi dokter saja,” kata Dika. Jadi, kalau ada anak yang terluka karena tertembak, ia harus mendatangi Dika untuk mendapat pertolongan. Namun, tidak ada anak yang merasa kena tembak. Sehingga tidak ada yang mendatangi Dika. Dika jadi bengong sendiri dan menyesal mengapa memilih peran menjadi dokter.

Saking serunya bermain, anak-anak itu tidak sadar kalau teriakan dan seruan mereka terdengar sampai ke luar mushola. Apalagi sewaktu Maman sedang mencoba menghubungi pasukan garis depan. Ia menekan tombol pada amplifier yang biasa dipakai untuk mengeraskan suara mic. Ia berpura-pura sedang menggunakan alat komunikasi ala militer. Maman tidak memperhatikan kalau mic dan megafon—yang diletakkan di atas atap mushola—tersambung dengan amplifier tersebut. Akibatnya suara teriakan mereka kian membahana ke seluruh penjuru kampung.

“Dor! Dor! Dor!” suara Lino menembaki dua orang anak sekaligus.

Mereka tidak mendengar ada suara seseorang mengucap salam.  Baru sewaktu si pemilik suara masuk ke mushola, anak-anak itu mematung.

“Pak Ustadz,” gumam Maman lirih.

 Begitu, tuh, kalau tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Maman dan teman-temannya bersiap-siap dimarahi sama Pak Ustadz.

“Assalamu’alaikum,” kata Pak Ustadz, mengulang salamnya yang belum dijawab.

“Wa’alaikumsalam,” jawab anak-anak itu nyaris tak bersuara.

“Kalian sedang apa?” tanya Pak Ustadz. Karena ia tersenyum dan wajanya tampak ramah, anak-anak itu makin ketakutan. Jadi mereka hanya bisa menggumam, tak jelas apa yang diucapkan.

Karena Pak Ustadz masih menunggu, akhirnya Maman memberanikan diri menjawab.

“Maaf, Pak Ustadz. Kami baru saja berbuat nakal.”

“Memangnya kenakalan seperti apa?” tanya Pak Ustadz lagi.

“Kami bermain perang-perangan,” jawab Maman.

Pak Ustadz menatap sekeliling mushola. Meja panjang yang dijadikan benteng tampak miring, tidak lagi berdiri di atas kakinya. Ia juga melihat telunjuk dan jempol Lino masih memeragakan pistol yang diarahkan ke seorang anak.

Terdengar Pak Ustadz berdeham. Anak-anak itu langsung mengkeret. Nampaknya tak lama lagi mereka bakal kena hukuman. Mungkin berdiri dengan sebelah kaki sambil menjewer telinga sendiri. Belum sempat Pak Ustadz berbicara, Dika sudah mendahului.

“Pak Ustadz. Aku tidak ikut bermain perang-perangan. Cuma duduk di pojokan,” kata Dika. merasa beruntung karena tadi memilih peran jadi dokter. Sehingga ia tidak ikut ribut dan berlarian ke sana kemari seperti yang lain. Anak-anak lain langsung merengutinya.

Pak Ustadz berdeham sekali lagi. Lalu katanya, “Maaf, ya, anak-anak,” kata Pak Ustadz.

“Iya, Pak Us—lho…” Maman kaget. “Kok Pak Ustadz yang minta maaf? Harusnya kan kami.” Anak-anak lain mengangguk sependapat.

“Pak Ustadz minta maaf karena sudah buat kalian menunggu,” jawab laki-laki baik hati itu.

Mendengarnya Maman dan yang lain merasa semakin bersalah. Karenanya, dengan terbata-bata Maman berkata, “Ka-kami juga min-minta maaf.”

“Iya, Pak Ustadz,” sahut yang lain.

“Minta maaf karena apa?” tanya Pak Ustadz.

“Karena bermain perang-perangan,” jawab Yayan.

“Lho, apanya yang salah dengan bermain? Waktu seusia kalian dulu, Pak Ustadz sangat senang bermain perang-perangan.”

Semua anak menatap dengan mata terbelalak. Pak Ustadz tersenyum dan menjelaskan maksudnya.

“Anak-anak yang baik,” mulainya. “Tidak ada yang salah dengan bermain. Hanya saja, cara dan tempatnya saja yang kurang tepat. Mushola ini kan tempat sholat dan mengaji. Misalnya, kan tidak mungkin kalau kita tidur di kamar mandi dan mandi di atas genteng.”

Anak-anak mengangguk setuju.

“Karena Pak Ustadz sudah buat kalian bosan menunggu, sebagai permintaan maaf, hari libur nanti Pak Ustadz punya rencana mengajak kalian ke hutan. Tak jauh dari sini. Hutannya tidak lebat, dan insya Allah aman. Kalau bermain perang-perangan di sana akan lebih seru. Bisa sembunyi di balik semak dan pohon. Kalau kalian mau, muka kalian bisa dicoreng-coreng, seperti tentara sungguhan.”

Anak-anak sungguh terpukau mendengar ide ini.

“Benar, Pak Ustadz, kami mau diajak ke hutan?” tanya Lino dengan mata berbinar-binar senang. Pak Ustadz tersenyum dan mengangguk.

Ini, sih, hebat sekali. Berbuat nakal, bukannya dihukum, tetapi malah diajak jalan-jalan!

“Tapi, sebelum kita bermain di hutan, kalian harus mengerjakan kewajiban dulu.”

“Kewajiban?”

“Iya. Pertama, bereskan mushola. Susun kembali meja-mejanya, lalu bersihkan karpetnya,” kata Pak Ustadz. Semua anak mengangguk dan dengan sigap mengerjakan apa yang disuruh Pak Ustadz.

“Dika,” panggil Pak Ustadz. “Kalau kamu tadi tidak ikut bermain, tidak usah ikut membereskan. Itu kewajiban buat yang sudah membuatnya berantakan.”

Dika tertegun mendengarnya. Lalu dengan perasaan menyesal ia berkata, “Maafin saya, Pak Ustadz. Sebenarnya… sebenarnya tadi saya ikut bermain. Saya jadi dokter. Makaya cuma duduk di pojokan menunggu pasien.” Dika tertunduk malu.

“Kamu memang anak yang berjiwa besar. Berani mengakui kesalahan. Kalau begitu, ayo segera bantu teman-temanmu,” kata Pak Ustadz. Dika mengangguk dan langsung membantu teman-temannya yang lain.

Karena ruangan dalam mushola tidak luas, dengan cepat anak-anak itu berhasil membereskannya.

“Sudah ini, apalagi kewajiban yang harus kami lakukan, Pak Ustadz?” tanya Maman bersemangat.

“Karena ini adalah tempat sholat dan mengaji, kewajiban kedua adalah belajar Al Quran dengan tekun. Jadi, sekarang, ayo kita mengaji,” kata Pak Ustadz.

Tidak seperti biasanya, anak-anak itu belajar mengaji dengan lebih perhatian dan sungguh-sungguh.

Kata Pak Ustadz, hari-hari manusia harus dipenuhi dengan banyak aktivitas. Seperti sholat, mengaji, sekolah, bermain sepak bola, melukis, makan, tidur, berkebun, membaca, berenang di sungai, atau apa saja yang disukai. Tetapi cara, waktu dan tempatnya harus benar. Kalau waktunya minum obat karena sedang pilek, ya harus minum obat, bukannya jajan es. Caranya juga harus benar. Obatnya ditelan, bukan dimasukkan lewat hidung.

Maman dan yang lainnya berjanji pada Pak Ustadz, tidak akan salah tempat dan salah waktu lagi. Kalau sedang berada di mushola, mereka akan mengaji dengan tekun, dan sholat dengan khusyuk.

Ketika hari Minggu datang, Pak Ustadz pun memenuhi janjinya. Ia mengajak anak-anak pergi ke hutan. Dan kali ini, anak-anak merasa sangat bangga karena bisa bermain di waktu dan tempat yang tepat!

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment