Cerita Anak
Benda hitam apa itu? Pandu membatin.
Benda kecil segi empat berwarna
hitam itu tergeletak di tepi parit. Jalanan sepi. Hanya ada Pandu sendiri.
Pandu berjalan mendekat untuk melihat lebih jelas. Dipungutnya benda hitam itu.
Ternyata sebuah dompet!
Ragu-ragu Pandu mengintip isi
dompet itu. Rupanya isi dompet itu lumayan banyak. Melihat lembaran rupiah di
dalamnya, Pandu langsung teringat buku pelajaran yang dibutuhkannya.
Apa yang harus kulakukan dengan
dompet ini? Pandu membatin kembali.
Tanpa terlalu menyadari Pandu
mulai membuat beberapa pilihan dalam pikirannya.
Apa sebaikanya ia tinggalkan saja
dompet itu di situ, siapa tahu pemiliknya sedang mencarinya sekarang. Tapi
kalau tidak ada yang menemukan, dan dompetnya malah tak sengaja masuk ke parit?
Pandu mengintip kembali ke dalam
isi dompet. Dan sekali lagi teringat buku pelajaran yang tidak sanggup
dibelinya. Uang dalam dompet itu, lebih dari cukup untuk membeli bukunya. Tapi…
Atau ia serahkan ke kantor polisi
saja?
Pandu menimbang-nimbang. Ia kemudian
melihat kartu pengenal dalam dompet tersebut.
Hmmm… alamatnya sih aku bisa
cari. Apa kukembalikan langsung saja, ya?
Akhirnya Pandu memutuskan untuk
mencari alamat tersebut dan mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya.
Ternyata alamat itu cukup jauh.
Pandu sampai berpeluh. Matahari siang semakin terik. Kaki Pandu juga sudah
terasa pegal. Niatnya untuk mengantarkan dompet itu kepada pemiliknya, mulai
memudar.
“Uuuh… aku haus,” keluh Pandu.
Saat melewati pedagang es serut, Pandu tergoda untuk membelanjakan sedikit uang
di dalam dompet.
“Boleh tidak ya…” gumamnya
bimbang.
Lalu Pandu melihat nama jalan tak
jauh di hadapannya.
“Eh, sudah sampai!” seru Pandu
gembira. “Ini jalan rumahnya!”
Dengan segera Pandu mencari nomor
rumah yang dituju. Ternyata cukup sulit karena rumah-rumah di sana padat dan
tidak teratur.
Akhirnya Pandu menemukan rumah
tersebut. Rumahnya kecil beratap seng.
Pandu mengetuk pindu depannya.
Setelah ketukan kedua, seorang lelaki membuka pintu dari dalam.
“Assalamu’alaikum. Permisi, apa
benar ini rumah Pak Surya?”
“Wa’alaikumsalam. Ya, benar, saya
sendiri,” jawab laki-laki itu.
“Maaf, Pak. Saya mau
mengembalikan dompet Bapak. Saya tidak sengaja menemukannya tergeletak di
jalan,” kata Pandu seraya menyodorkan dompet berwarna hitam.
Pak Surya sesaat mengamati dompet
tersebut. Lalu ia memeriksa isinya. Tiba-tiba binar kebahagiaan terpancar di
wajahnya.
“Alhamdulillah. Benar ini dompet
saya. Saya kira sudah hilang.”
Seperti halnya binar kebahagiaan
yang muncul tiba-tiba di wajahnya, begitu juga dengan air mata Pak Surya.
Tiba-tiba saja sudah meleleh di pipinya yang keriput. Pandu sedikit kaget
melihat perubahan yang mendadak itu.
“Kenapa, Pak, kok jadi menangis?”
tanya Pandu cemas.
“Maaf. Bapak tidak apa-apa, kok. Cuma
merasa amat bersyukur. Bapak kira dompet ini sudah hilang. Padahal uangnya
untuk biaya pengobatan istri Bapak. Terima kasih, ya, Nak. Kamu sudah
susah-payah mengantarkan dompet ini ke sini.”
Mendengarnya Pandu jadi tertegun.
Hatinya merasa tersentuh. Ia jadi bersyukur karena mengembalikan dompet itu.
Ternyata pemiliknya sangat membutuhkannya.
“Ayo, masuk ke dalam dulu. Kamu
pasti haus berjalan siang-siang begini sampai ke sini,” ajak Pak Surya.
Pandu mengangguk sambil tersenyum
bahagia. Lega rasanya. Pandu jadi memahami, kesenangan karena mendapatkan uang,
tidak akan bisa melampaui kebahagiaan karena membantu sesama.
No comments:
Post a Comment