Monday 22 December 2014

TEMAN UNTUK CHOKO

ilustrasi-cerita-dongeng-anak-bergambar-kambing-hujan-goatling-rain-cartoon

Fabel

Choko adalah seekor kambing. Salah satu kaki belakangnya pincang. Dia sudah begitu sejak lahir. Selain pincang, tubuh Choko juga lebih kecil dibanding kambing seusianya.

Tempat tinggal Choko adalah sebuah kandang besar beraroma rumput. Di sana ia tinggal bersama sembilan ekor kambing lainnya. Sayangnya, Choko tidak berteman dengan kambing-kambing itu. Choko juga tidak mengerti, mengapa mereka tidak pernah mengajaknya bermain. Setiap hari ketika pemilik mereka menggembalakan mereka ke padang rumput, Choko selalu ditinggal di belakang. Mereka juga selalu bergerombol dan tidak mengajak Choko berbincang. Choko jadi berpikir,
“Mungkin karena kakiku pincang dan tubuhku kecil.”

Kalau malam tiba, Choko seringkali masih terjaga sementara kambing-kambing lain telah tertidur pulas. Kadang ia merasa kesepian dan sedih karena tidak punya teman. Dari sela-sela kandangnya, Choko mendongak menatap langit malam. Jika langit penuh bintang, perasaan Choko menjadi lebih baik. Ia senang sekali melihat bintang-bintang di atas sana. Choko sering bergumam,

“Engkau bintang, dan aku binatang.” Lalu ia terkikik sendirian. Choko terus memandangi langit dan mengagumi keindahannya. Dan jika langit dipenuhi cahaya halilintar dan suara guntur, Choko akan memejamkan mata dan mendengarkan dengan damai suara alunan hujan. Semakin larut malam, Choko tertidur dengan sendirinya.

Hari-hari Choko berlalu, nyaris sama setiap harinya. Dia sering memperhatikan kambing-kambing lainnya yang saling bercanda. Kadang-kadang bertengkar. Atau meliriknya diam-diam lalu saling berbisik. Choko sungguh tidak mengerti mengapa mereka berbuat begitu padanya. Dan sekali lagi Choko pun berpikir,

“Mungkin karena kakiku pincang dan tubuhku kecil.”

Ketika itu sore hari dan langit mendung. Choko memandangi kandangnya. Sesungguhnya itu adalah kandang yang hangat dan nyaman. Choko tahu itu. Tetapi ia tidak berbahagia di dalamnya. Pikir Choko, mungkin lebih baik jika ia pergi mencari kandang lain. Di mana kambing-kambingnya bersikap ramah dan baik padanya.

Tetapi Choko tidak tahu bagaimana caranya menemukan kandang baru. Tanpa sadar ia mulai melangkah keluar kandang. Kambing-kambing lain memandanginya penuh rasa ingin tahu. Choko berjalan pelan. Ia menghitung tiap langkah keempat kakinya.

Ketika terdengar suara guntur, Choko tersadar kalau ia sudah terlalu jauh berjalan. Ia melemparkan pandang ke sekelilingnya.

“Di mana ini?” gumam Choko, agak cemas. Ia tidak mengenali tempat sekarang ia berada. Jelas ini bukan padang rumput tempat ia biasa digembalakan.

Air setetes demi setetes mulai berjatuhan dari atas langit. Dan kemudian dengan deras mengguyur bumi. Choko berlari secepat ia bisa untuk mencari tempat berteduh.

Malam sudah jatuh. Hujan masih turun dengan amat deras. Choko mendongak menatap langit malam nan pekat. Tiada bintang yang berkerlap-kerlip di sana. Choko menyesal pernah berpikir untuk pergi. Sekarang ia rindu kandangnya yang nyaman dan hangat. Perasaannya jadi sedih.

Tetapi sebenarnya yang paling membuat Choko sedih bukanlah karena ia tersesat. Ia sedih karena ia merasa sendirian. Apalagi di langit tidak ada bintang. Satu-satunya teman yang dimiliki Choko yang tidak pernah mengejeknya. Yang tidak sombong meski ia tinggi dan berkilau dan semua orang mengaguminya, hanyalah bintang. Dan sekarang, ketika Choko sendirian dan kehujanan, bintang-bintang itu tidak ada. Ia tidak pernah sesedih itu. Di gelap dan dinginnya malam hari itu, Choko tertidur hanya ditemani gerujuk hujan.

Keseokan harinya, Choko dibangunkan oleh sinar matahari dan aroma rumput basah. Suasana sehabis hujan tampak begitu damai. Choko menarik napas dalam-dalam. Rumput basah membuatnya merasa segar. Langit biru yang terbentang luas di atas sana meneduhkan perasaannya.

“Aku harus pulang,” gumam Choko. Ia sudah bisa berpikir jernih sekarang. Pergi dari kandang bukanlah keputusan yang bijaksana.

Choko berjalan pincang mencari kandangnya. Di hari yang lebih terang begini, Choko dapat lebih mudah menemukan jalan pulang. Ketika kandangnya sudah terlihat, perasaan Choko campur aduk. Antara gembira dan cemas. Namun ia merasa lega ketika melihat pemiliknya berlari menyongsongnya penuh rasa khawatir.

“Choko, kamu dari mana saja?”

Choko digiring masuk ke kandangnya. Ketika dua kaki depan Choko melangkah masuk ke kandang, tanpa sengaja ia bertemu pandang dengan seekor kambing. Perasaan Choko kembali galau. Ia kembali ke kehidupannya yang lama. Tak punya teman. Tak ada kambing yang mau berbincang dengannya… Choko jadi bertanya-tanya, benarkah keputusannya untuk kembali ke kandang?

Karena merasa canggung, malu-malu Choko tersenyum pada kambing itu.

Choko pun terperangah. Kambing itu membalas senyumnya!

Dengan sedikit terbata Choko berkata,

“Se-selamat pagi.”

Tiba-tiba saja kambing tersebut berjalan mendekatinya. “Choko, kamu semalam menginap di mana?” tanya kambing itu.

Choko sungguh terpana. Bagaimana mungkin kambing itu mengajaknya bicara? Selama ini tidak ada seekor kambing pun yang melibatkan Choko dalam percakapan apa pun. Apakah karena barusan tadi Choko tesenyum padanya? Benarkah karena itu? Untuk memastikan, Choko pun mencoba tersenyum dan menyapa kambing lainnya.

Choko benar-benar tak percaya! Sekarang semua kambing berebut saling mengajukan pertanyaan perihal kepergiannya semalam. Ragu-ragu Choko berkata,

“Kukira, kalian tidak suka bicara denganku.”

“Yah, kalau selama ini memang betul. Karena kamu selalu bermuka murung. Makanya kami jadi tidak berani mengajakmu bicara. Kami pikir, kamu yang tidak mau berteman dengan kami.”
Oh, ternyata Choko sudah salah sangka. Selama ini, apa yang dirasakannya hanyalah sebatas perasaan saja. Pikiran bahwa karena ia pincang dan kecil sehingga tidak ada yang mau berteman dengannya, hanyalah sebuah pikiran saja.

Suasana menjadi begitu hangat. Perasaan Choko jadi haru. Ia juga merasa lega dan berjanji tidak akan berpikir yang macam-macam lagi. Karena sekarang ia sudah tahu. Yang perlu ia lakukan hanyalah tersenyum dan menyapa.

cerita & ilustrasi oleh: Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment