Sunday, 3 May 2015

KITA KAN SAHABAT

sepeda-kartun

Cerita Anak

SUDAH beberapa hari ini Muthia tidak bertemu dengan sahabat karibnya, Aisyah.

“Mungkin Aisyah masih marah padaku,” pikir Muthia sedih.

Beberapa hari yang lalu Muthia meminjam sepeda Aisyah. Sebelumnya Aisyah sudah berpesan agar Muthia tidak bermain sampai ujung desa. Sebab di sana jalannya banyak yang berlubang. Muthia kan belum pandai betul bermain sepeda. Namun karena keasyikan, Muthia lupa pesan tersebut. Akibatnya ia terjatuh karena tidak bisa menghindari lubang besar di depannya.

Muthia baik-baik saja. Hanya sedikit lecet di lutut dan kerudung biru kesayangannya jadi robek. Namun sayangnya sepeda yang dinaikinya jadi rusak. Stangnya miring dan roda depannya sedikit bengkok.

Muthia sangat menyesal karenanya. Ia takut Aisyah dimarahi orangtuanya karena sepedanya rusak. Tetapi Muthia juga takut kalau dia bicara kepada orangtuanya, dia akan dimarahi. Lagipula, orangtuanya lagi banyak keperluan. Kemungkinan besar mereka tidak punya uang untuk mengganti kerusakan sepeda tersebut. Oleh karenanya Muthia merasa sangat bersalah.

Sore itu sembunyi-sembunyi Muthia mengamati rumah Aisyah. Berharap bisa melihat keadaan sahabatnya itu. Tetapi rumah Aisyah tampak sepi. Aisyah tidak nampak batang hidungnya. Padahal biasanya mereka selalu bermain bersama setiap hari. Muthia tidak bisa menemui Aisyah di sekolah, karena mereka beda sekolah.

“Aisyah mana, ya?” gumam Muthia. Ia ingin sekali bertemu Aisyah. Namun ia juga takut.

Dengan lesu Muthia melangkahkan kakinya. Ia berjalan menuju lapangan bola. Di sana biasanya anak-anak berkumpul untuk bermain. Namun Muthia tidak bersemangat main apa pun.

Andaikan aku bisa mengganti sepeda Aisyah yang rusak, Muthia membatin.

Muthia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh dan menemukan seorang anak dengan kerudung bunga-bunga sedang melambai padanya.

“Aisyah!” seru Muthia tertahan. Dia sangat kaget. Lebih kaget lagi ketika dilihatnya Aisyah berdiri di sebelah sepeda yang sebelumnya sering Muthia pinjam.

“Muthia! Ke sini!” seru Aisyah.

Jantung Muthia jadi berdebar-debar. Ia akan berjanji pada Aisyah. Kalau tabungannya sudah cukup, ia akan mengganti kerusakan sepeda itu.

“Aisyah. Maafkan aku. Aku tidak akan meminjam sepedamu lagi. Aku juga akan mengganti sepedamu, kalau uang tabunganku sudah cukup,” kata Muthia dalam satu tarikan napas.

Aisyah sedikit memiringkan kepalanya. Ia tidak dapat langsung mencerna perkataan Muthia karena sahabatnya itu bicara terlampau cepat.

“Kamu tidak akan meminjam sepedaku lagi?” ulang Aisyah. Muthia mengangguk. “Kenapa?” tanya Aisyah, tampak bingung. Muthia diam saja. Ia merasa tidak enak.

“Apa karena kamu takut jatuh lagi?” tanya Aisyah. “Jangan khawatir. Nanti aku bantuin,” kata Aisyah ceria. Muthia semakin merasa tidak enak. Aisyah begitu baik dan manis. Takut-takut Muthia melirik sepeda Aisyah. Sepeda itu tidak lagi bengkok. Nampaknya sudah diperbaiki.

“Apa… apa kamu dimarahi karena sepedanya rusak?” tanya Muthia, agak terbata.

Sambil tersenyum Aisyah berkata, “Jangan khawatir, Mut. Sewaktu aku pulang membawa sepeda yang kemarin bengkok, Papa memang sangat khawatir. Lalu Papa membelikanku helm. Supaya lebih aman mengendarai sepeda. Kalau sepedanya tidak bengkok, belum tentu aku dibelikan perlengkapan keamanan ini.”

“Maafkan aku, ya, Ais,” kata Muthia.

“Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Aisyah. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik di keranjang sepeda. “Ini, helm buat kamu. Kemarin Papa beli dua. Jadi kita bisa sama-sama pakai helm sambil boncengan,” kata Aisyah.

Muthia benar-benar terpana. Bukankah dirinya yang merusak sepeda Aisyah? Tetapi kenapa malah ia juga dibelikan helm untuk bersepeda?

“Aisyah, kamu baik hati sekali.”

“Kamu juga teman yang baik, Mut,” balas Aisyah.

“Jadi, kamu masih mau berteman denganku?” tanya Muthia.

“Ya, ampun, Muthia. Tentu saja! Masa cuma gara-gara sepeda kita jadi tidak bersahabat lagi?” jawab Aisyah dengan mata terbelalak. “Kita kan sahabat. Sahabat sejati!” sambungnya penuh semangat. Muthia mengangguk paham.

“Terima kasih ya, Ais. Bilangin juga ke Papamu, terima kasih,” kata Muthia tulus. Aisyah mengangguk.

“Eh, lihat! Ada kupu-kupu!” seru Aisyah.

“Di sana! Kupu-kupunya berkumpul di sana!” sahut Muthia, sambil menunjuk seberang lapangan yang dipenuhi bunga kacapiring yang tengah bermekaran.

“Yuk, ke sana!” ajak Aisyah bersemangat, mengambil posisi di sadel sepedanya. Tak menunggu lama Muthia langsung duduk di boncengan.

“Let’s go!”` seru keduanya serentak, lalu terkikik geli.

***
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

2 comments:

  1. Nice story Kak Ange. Izin share yaa kak, untuk tugas kuliah.

    ReplyDelete