Cerita Anak
SUDAH beberapa hari ini Muthia tidak bertemu dengan sahabat
karibnya, Aisyah.
“Mungkin Aisyah masih marah
padaku,” pikir Muthia sedih.
Beberapa hari yang lalu Muthia
meminjam sepeda Aisyah. Sebelumnya Aisyah sudah berpesan agar Muthia tidak
bermain sampai ujung desa. Sebab di sana jalannya banyak yang berlubang. Muthia
kan belum pandai betul bermain sepeda. Namun karena keasyikan, Muthia lupa
pesan tersebut. Akibatnya ia terjatuh karena tidak bisa menghindari lubang
besar di depannya.
Muthia baik-baik saja. Hanya
sedikit lecet di lutut dan kerudung biru kesayangannya jadi robek. Namun
sayangnya sepeda yang dinaikinya jadi rusak. Stangnya miring dan roda depannya
sedikit bengkok.
Muthia sangat menyesal karenanya.
Ia takut Aisyah dimarahi orangtuanya karena sepedanya rusak. Tetapi Muthia juga
takut kalau dia bicara kepada orangtuanya, dia akan dimarahi. Lagipula,
orangtuanya lagi banyak keperluan. Kemungkinan besar mereka tidak punya uang
untuk mengganti kerusakan sepeda tersebut. Oleh karenanya Muthia merasa sangat
bersalah.
Sore itu sembunyi-sembunyi Muthia
mengamati rumah Aisyah. Berharap bisa melihat keadaan sahabatnya itu. Tetapi
rumah Aisyah tampak sepi. Aisyah tidak nampak batang hidungnya. Padahal
biasanya mereka selalu bermain bersama setiap hari. Muthia tidak bisa menemui
Aisyah di sekolah, karena mereka beda sekolah.
“Aisyah mana, ya?” gumam Muthia.
Ia ingin sekali bertemu Aisyah. Namun ia juga takut.
Dengan lesu Muthia melangkahkan
kakinya. Ia berjalan menuju lapangan bola. Di sana biasanya anak-anak berkumpul
untuk bermain. Namun Muthia tidak bersemangat main apa pun.
Andaikan aku bisa mengganti
sepeda Aisyah yang rusak, Muthia membatin.
Muthia mendengar seseorang
memanggil namanya. Ia menoleh dan menemukan seorang anak dengan kerudung bunga-bunga
sedang melambai padanya.
“Aisyah!” seru Muthia tertahan.
Dia sangat kaget. Lebih kaget lagi ketika dilihatnya Aisyah berdiri di sebelah
sepeda yang sebelumnya sering Muthia pinjam.
“Muthia! Ke sini!” seru Aisyah.
Jantung Muthia jadi
berdebar-debar. Ia akan berjanji pada Aisyah. Kalau tabungannya sudah cukup, ia
akan mengganti kerusakan sepeda itu.
“Aisyah. Maafkan aku. Aku tidak
akan meminjam sepedamu lagi. Aku juga akan mengganti sepedamu, kalau uang
tabunganku sudah cukup,” kata Muthia dalam satu tarikan napas.
Aisyah sedikit memiringkan
kepalanya. Ia tidak dapat langsung mencerna perkataan Muthia karena sahabatnya
itu bicara terlampau cepat.
“Kamu tidak akan meminjam
sepedaku lagi?” ulang Aisyah. Muthia mengangguk. “Kenapa?” tanya Aisyah, tampak
bingung. Muthia diam saja. Ia merasa tidak enak.
“Apa karena kamu takut jatuh
lagi?” tanya Aisyah. “Jangan khawatir. Nanti aku bantuin,” kata Aisyah ceria.
Muthia semakin merasa tidak enak. Aisyah begitu baik dan manis. Takut-takut
Muthia melirik sepeda Aisyah. Sepeda itu tidak lagi bengkok. Nampaknya sudah
diperbaiki.
“Apa… apa kamu dimarahi karena
sepedanya rusak?” tanya Muthia, agak terbata.
Sambil tersenyum Aisyah berkata,
“Jangan khawatir, Mut. Sewaktu aku pulang membawa sepeda yang kemarin bengkok,
Papa memang sangat khawatir. Lalu Papa membelikanku helm. Supaya lebih aman
mengendarai sepeda. Kalau sepedanya tidak bengkok, belum tentu aku dibelikan
perlengkapan keamanan ini.”
“Maafkan aku, ya, Ais,” kata
Muthia.
“Sudahlah. Jangan dipikirkan
lagi,” kata Aisyah. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik di keranjang
sepeda. “Ini, helm buat kamu. Kemarin Papa beli dua. Jadi kita bisa sama-sama
pakai helm sambil boncengan,” kata Aisyah.
Muthia benar-benar terpana.
Bukankah dirinya yang merusak sepeda Aisyah? Tetapi kenapa malah ia juga
dibelikan helm untuk bersepeda?
“Aisyah, kamu baik hati sekali.”
“Kamu juga teman yang baik, Mut,”
balas Aisyah.
“Jadi, kamu masih mau berteman
denganku?” tanya Muthia.
“Ya, ampun, Muthia. Tentu saja! Masa
cuma gara-gara sepeda kita jadi tidak bersahabat lagi?” jawab Aisyah dengan
mata terbelalak. “Kita kan sahabat. Sahabat sejati!” sambungnya penuh semangat. Muthia
mengangguk paham.
“Terima kasih ya, Ais. Bilangin
juga ke Papamu, terima kasih,” kata Muthia tulus. Aisyah mengangguk.
“Eh, lihat! Ada kupu-kupu!” seru
Aisyah.
“Di sana! Kupu-kupunya berkumpul
di sana!” sahut Muthia, sambil menunjuk seberang lapangan yang dipenuhi bunga kacapiring yang tengah bermekaran.
“Yuk, ke sana!” ajak Aisyah
bersemangat, mengambil posisi di sadel sepedanya. Tak menunggu lama Muthia
langsung duduk di boncengan.
“Let’s go!”` seru keduanya
serentak, lalu terkikik geli.
***
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
Nice story Kak Ange. Izin share yaa kak, untuk tugas kuliah.
ReplyDeleteIya, silakan. Terima kasih sudah baca :)
Delete