Cerita Anak
Dalam hitungan menit Karin akan
segera tiba di rumah kakek. Karin sudah tidak sabar. Kakek berjanji akan
mengenalkan Karin pada semua peliharaannya. Karin ingin sekali punya
peliharaan. Tetapi ibu belum mengizinkan. Makanya ia sangat antusias melihat
peliharaan kakek. Menurut cerita kakek, ia punya banyak peliharaan. Dari
nama-namanya saja Karin sudah sangat tertarik. Ada yang dinamai Gogo, Cica,
Wawo, Toto, dan lain-lain
“Pasti mereka imut dan lucu,”
batin Karin. Kakek belum memberitahu jenis hewan apa saja peliharaannya. Bikin
Karin jadi penasaran.
Ketika akhirnya Karin tiba di
rumah kakek, langsung saja ia meminta kakek mengenalkan semua peliharaannya.
“Kakek, ayo kenalkan aku pada
semua peliharaan Kakek. Si Gogo, Cica, Wawo… ng… siapa lagi nama-namanya?”
celoteh Karin penuh semangat.
“Iya,” kata kakek sembari
tersenyum. “Ayo, kita ke halaman belakang.”
Sambil menggandeng tangan kakek,
Karin berjingkrak menuju halaman belakang. Karin sungguh terpukau melihat
halaman belakang rumah kakek.
“Wah, indah sekali. Kebun bunga Kakek
sangat asri. Kakek yang menanam semua tanaman di sini?”
“Tentu saja. Lihat pohon yang
besar itu? Itu pohon kayu manis. Kakek beri nama Gogo,” kata kakek. Ia menunjuk
pohon besar yang berdiri kokoh di sudut kebun.
“Gogo?” ulang Karin pelan. Ia
seperti pernah mendengar nama tersebut. “Lho, bukannya itu nama salah satu
peliharaan kakek?” tanya Karin dengan dahi berkerut. Kakek mengangguk sambil
tersenyum pelan.
“Karin lihat tanaman di
sebelahnya? Tanaman kenikir yang sedang berbunga itu?” tanya kakek sambil
menunjuk bunga kenikir berwarna kuning yang tengah bermekaran. “Itu namanya
Cica.”
“Hah? Kok bisa?” tanya Karin
kebingungan.
“Semua tanaman yang tumbuh di
kebun ini, kakek beri nama.”
“Jadi, peliharaan Kakek itu,
tanaman?” Karin membelalakkan kedua matanya tak percaya.
Kakek mengangguk pelan. “Benar,”
ujarnya.
Karin kecewa mendengar jawaban
itu. Bagaimana mungkin peliharaan kakek adalah tanaman? Bukankah peliharaan itu
semestinya seekor anak kucing yang imut? Atau mungkin kura-kura? Atau seekor
hamster? Kalau tanaman, bagaimana bisa diajak bermain kejar-kejaran?
Kekecewaan Karin tampak jelas di
wajahnya. Sekalipun anak perempuan itu tidak ingin kakek mengetahuinya.
“Ayo, Karin. Kakek ingin
menunjukkan sesutu,” kata kakek. Ia membawa Karin ke bagian lain kebun.
Tepatnya ke hadapan rimbun kecil tanaman mawar. Di sana ada sekuntum mawar
merah yang baru saja mekar. “Ini kuntum pertamanya yang berbunga.”
Karin memandangi bunga mawar itu.
Cantik sekali. Sampai-sampai Karin ingin melukisnya atau membuat puisi
tentangnya.
“Kakek sangat lega tanaman ini
akhirnya berbunga. Sebelumnya tanaman ini nyaris mati,” kata kakek.
“Mati? Aduh, kenapa bisa begitu?”
tanya Karin terkejut.
“Tanaman ini terserang penyakit.
Itu karena kakek lalai merawatnya.”
“Tapi sekarang ia baik-baik saja,
kan?” kata Karin prihatin.
“Kakek rasa begitu.”
“Oh, syukurlah,” sahut Karin.
“Ngomong-ngomong, tanaman mawar ini kakek beri nama apa?”
“Karenina.”
“Wah, nama yang cantik sekali.”
“Iya, mirip nama Karin.”
“Kakek benar,” kata Karin
malu-malu.
Kakek mengajak Karin berkeliling
kebun. “Semua tanaman di sini punya kisah sendiri-sendiri,” cerita kakek
sembari mereka melangkah pelan. “Lihat tanaman anggrek itu? Waktu itu
menegangkan sekali. Tanaman anggrek itu Kakek beri nama Tutu. Waktu itu Tutu
diserang oleh segerombolan serangga. Daun dan batangnya nyaris habis
digerogoti. Sungguh pandangan yang menyedihkan melihat kondisi Tutu waktu itu.”
Kakek menghela napas.
“Lalu, apa yang terjadi?” tanya
Karin ingin tahu.
“Untungnya Tutu tanaman yang
kuat. Ia mampu bertahan. Akhirnya Tutu berhasil selamat. Dan sekarang ia tumbuh
semakin sehat.”
Karin tersenyum lega.
“Ada juga kejadian lucu. Waktu
itu Mora, si bunga melati, tanpa sengaja terkena tumpahan cat air. Kakek sedang
mencoba melukisnya. Jadinya malah berantakan. Mora jadi berwarna-warni. Lalu
ada seekor lebah yang mencoba mendekatinya. Tapi si lebah urung melakukannya
karena kaget melihat bunga melati yang warna-warni.”
“Wah, ada-ada saja,” kata Karin,
tersenyum geli. “Tapi, sekarang tidak lagi warna-warni, kan?”
“Tentu saja. Kakek benar-benar
merasa bersalah membuat Mora kecipratan cat air. Tapi sekarang ia sudah putih
bersih kembali,” jawab kakek.
Tiba-tiba datang segerombolan kupu-kupu
yang terbang mengitari kepala Karin. Anak perempuan itu melompat-lompat girang.
“Sepertinya mereka mengira Karin
adalah salah satu tanaman di sini,” kata Kakek.
“Kok bisa?” tanya Karin tak
percaya namun gembira.
“Mungkin karena bando yang Karin
pakai.”
Kakek benar juga. Bando yang
dipakai Karin kan ada hiasan bunganya. Senangnya, batin Karin.
“Sebelumnya halaman belakang ini
kosong. Lalu kakek mulai tanami. Tumbuhan pertama yang kakek tanam adalah bunga
suplir. Kakek kasih nama Juju.”
“Yang mana yang namanya Juju?”
tanya Karin seraya melemparkan pandang ke sekitarnya.
“Juju sudah tidak di sini lagi,”
jawab Kakek. Nada suaranya sedih.
“Memangnya Juju pergi ke mana,
Kek?” tanya Karin hati-hati.
Kakek menggelengkan kepalanya
perlahan. Katanya, “Juju tidak mampu bertahan sewaktu musim kemarau panjang.”
“Kasihan,” kata Karin tak tega.
Angin berembus pelan. Membuat
daun-daun bergemerisik dan dahan-dahan bergoyang.
“Tanaman adalah makhluk hidup. Mereka
hidup, sama seperti Kakek, sama seperti Karin. Mereka juga merasakan bila kita
merawat mereka dengan penuh kasih sayang.”
“Bagaimana mereka bisa tahu,
Kek?”
“Daunnya akan tumbuh hijau dan
segar. Bunganya akan cerah bermekaran. Batangnya akan tumbuh besar dan kokoh.
Sama seperti Karin, akan tumbuh besar dan ceria karena dirawat oleh orangtua
Karin dengan penuh kasih sayang.”
Karin mengangguk paham.
“Sungguh bahagia menyaksikan yang
mulanya dulu hanya sebuah tunas. Lalu tumbuh menjadi sebatang pohon. Tumbuhan
tidak bisa berpindah tempat. Tidak bisa diajak bermain tali. Tidak bisa diajak
berjalan-jalan. Tapi mereka memberi tempat perlindungan bagi hewan-hewan di
hutan. Mereka juga yang menjaga udara tetap bersih. Mereka mengisi kebun-kebun
bunga agar tampak indah dipandang mata.”
Mendengar kata-kata Kakek, hati
Karin jadi tersentuh. Rasanya ingin memiliki tanaman sendiri yang bisa ia rawat
sepenuh hati.
“Apa Karin bisa merawat tumbuhan
seperti Kakek? Karin khawatir, nanti malah tanamannya terbengkalai dan mati.”
Sambil menepuk-nepuk pelan puncak
kepala Karin, Kakek berkata, “Kakek yakin Karin pasti bisa. Asal Karin
merawatnya dengan kasih sayang yang tulus. Mau mencoba menanam sesuatu?”
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment