Thursday, 14 January 2016

BERKUNJUNG KE RUMAH MANUSIA

fabel-berkunjung-ke-rumah-manusia

Fabel

Bukan main senangnya Dudu. Betapa tidak! Hari ini, untuk pertama kalinya, ayahnya akan mengajaknya berpetualang! Sebagai anak kecoa yang selalu bersemangat, kesempatan ini akan dimanfaatkannya sebaik-baiknya.

Ayahnya mengatakan, bahwa mereka akan mengunjungi sebuah rumah yang amaaaaaaat besar. Penghuninya juga amaaaaaat besar. Dudu bertanya,


“Apa kita akan berkunjung ke rumah kecoa raksasa?”

“Bukan,” jawab ayahnya misterius.

“Kita mau ke mana, sih, Ayah?” tanya Dudu dengan wajah berseri-seri. Ayahnya masih saja senyum-senyum penuh rahasia.

Jangan-jangan… ayah mau mengajakku ke sana…Dudu membatin.

“Ki-kita… mau ke rumah manusia, ya?” tanya Dudu seraya menahan napas.

Rumah manusia! Sudah lama sekali Dudu memimpikan ingin berkunjung ke rumah manusia. Selama ini ia hanya mendengar ceritanya saja dari ayahnya. Dia belum pernah melihat manusia sekali pun. Dari cerita yang didengarnya, Dudu bisa membayangkan kalau manusia itu makhluk yang sangat jenius.

Ketika akhirnya mereka sampai, Dudu amat terpana melihatnya. “Wah, tempat tinggal manusia besar sekali,” gumam Dudu dengan mata membelalak. Kemudian katanya, “Ayah, Ayah, lihat!” seru Dudu. “I-i-it-itu… manusia, kan?” Dudu sampai tergagap saking senangnya.

“Kamu ingin berkenalan?” tanya Ayah. Dudu mengangguk yakin.

“Halo,”sapa Dudu, tidak berlama-lama.

Manusia itu tampak memperhatikan Dudu dan ayahnya. Sedetik kemudian ia menjerit. Dudu sampai kaget mendengarnya. “Mamaaaa, ada kecoaaaaaaa!”

Tiba-tiba datang manusia lain. Yang ini ukurannya jauh lebih besar. Ia memegang sesuatu di tangannya. Dudu tidak sempat mengatakan apa-apa, ketika manusia yang lebih besar itu mengayunkan benda yang ada di tangannya. Lalu Dudu mendengar ayahnya berteriak,

“Serangan sapu! Lariiiii!”

Dan tiba-tiba saja Dudu dan ayahnya sudah berlari tunggang langgang. Benda yang bernama sapu itu mengentak keras ke arah mereka.

Ayah membawa Dudu ke tempat yang aman. Dimana manusia dengan sapunya tidak bisa menjangkau mereka.

Napas Dudu terengah-engah. Dengan suara nyaris menangis ia berkata,” Ayah, mengapa manusia tadi menyerang kita?”

Ayah Dudu tersenyum sembari menjawab, “Dia tidak suka pada kita.”

“Hah? Kenapa? Dia kan tidak kenal dengan kita.”

“Dudu anakku, manusia tidak suka dengan kita karena kita datang dari tempat yang kotor dan lembab.”

“Apakah kalau Dudu berasal dari tempat yang kotor dan lembab itu salah?” Dudu jadi bertanya-tanya.

“Dudu tidak salah,” kata Ayah. “Kecoa dan manusia memang memiliki cara hidup yang satu sama lain sangat berbeda.”

“Aneh sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa tinggal di tempat yang bersih dan kering?” kata Dudu tak habis pikir.

Ayah hanya tersenyum.

“Kita hampir gepeng karena sapu tadi. Jahat sekali!” sambung Dudu.

“Dudu yang baik, ayo kita pulang. Besok Ayah akan tunjukkan sesuatu yang lain padamu.”

Dudu tidak terlalu bersemangat lagi. Pengalaman pertamanya bertemu manusia amatlah mengerikan.

Keesokan harinya, sesuai janjinya, Ayah mengajak Dudu berpetualang kembali. Ketika menyadari kemana Ayah membawanya, Dudu jadi cemas.

“Apa Ayah tidak salah? Tempat itu mirip tempat tinggal manusia.”

“Tidak salah. Ayo, kita masuk.”

“Tapi…”

Protes Dudu tidak dihiraukan Ayah. Walaupun ketakutan, Dudu terpaksa tetap mengikuti ayahnya.

Setelah memasuki ruangan tertentu dari rumah tersebut, Dudu pun melihat sesosok manusia. Dudu tidak bisa membedakan apakah ini manusia yang sama dengan yang ditemuinya kemarin atau bukan. Karena baru-baru ini melihat manusia, bagi Dudu semuanya kelihatan mirip.

Ketika menyadari kehadiran Dudu dan ayahnya, manusia itu tampak terkejut. Dan yang membuat Dudu takut bukan kepalang, manusia itu bergerak cepat dan tahu-tahu saja ia sudah memegang sapu di tangannya.

“Serangan sapu! Lariiiiiiiiiii!” teriak Dudu.

Anehnya, ayah menahan Dudu. Membuat kecoa kecil itu tak habis pikir.

“Ayah, kenapa kita tidak lari? Ini kan berbahaya!”

Tanpa bisa mengelak, Dudu dan ayahnya merasakan sapu tersebut mendorong mereka—eh, mendorong? Benar! Manusia itu tidak mengentakkan sapunya. Melainkan hanya menggunakannya untuk mendorong Dudu dan ayahnya keluar dari rumahnya.

Setelah yakin Dudu dan ayahnya sudah berada jauh dari rumahnya, si manusia pun membebaskan kedua kecoa tersebut dari sapunya.

Dudu yang malang. Ia kebingungan. Apa yang baru saja terjadi?

Melihat keheranan terpancar dari wajah Dudu, Ayah pun tersenyum lalu berkata,

“Dudu heran, ya, mengapa manusia yang barusan tadi tidak memukuli kita dengan sapunya?”

“Iya. Tapi bagaimanapun juga, manusia tadi juga mengusir kita dengan sapunya,” jawab Dudu, sedikit bersungut.

“Karena kita berasal dari tempat kotor dan lembab yang tidak disukai manusia, makanya setiap kali melihat kita berada di dalam rumah mereka, manusia merasa jijik. Lalu bermacam-macamlah caranya untuk mengusir kita,” kata Ayah sambil tersenyum.

“Bukan cuma mengusir. Ada yang coba membuat kita gepeng,” sahut Dudu cemberut.

Ayah kembali tersenyum. “Apakah menurut Dudu manusia salah karena merasa jijik pada kecoa?”

“Tentu saja,” jawab Dudu dengan muka makin cemberut.

“Apakah Dudu juga jijik pada manusia?”

“Tentu saja,”jawab Dudu sambil mengernyit.

“Berarti, Dudu juga salah karena merasa jijik pada manusia. Begitu, kan?”

“Ng…” Kali ini Dudu diam tidak menjawab.

Ayah menunggu beberapa saat agar Dudu bisa berpikir lebih jernih. Kemudian ia berkata,

“Tidak salah kalau manusia jijik pada kecoa yang hidupnya di tempat kotor dan lembab. Juga tidak salah kalau kecoa merasa jijik pada manusia yang hidupnya di tempat bersih dankering. Sebab cara hidup manusia dan kecoa memang bertolak belakang. Memang sudah begitu adanya,” Ayah berhenti di situ. Dilihatnya Dudu tampak mencoba mencerna kata-katanya. Ayah pun melanjutkan,

“Kita memang berbeda. Tapi kita bisa hidup berdampingan tanpa mengganggu satu sama lain.”

“Tapi, manusia itu jahat! Buktinya kemarin dia mencoba memusnahkan kita. Padahal kita tidak berbuat salah padanya.”

“Lalu, bagaimana dengan manusia yang tadi? Dia tidak mencoba memusnahkan kita. Ya, kan?” tanya Ayah.
“Ng…” Dudu tidak tahu harus menjawab apa.

“Jika ada makhluk lain yang melakukan sesuatu yang tidak kita sukai, mungkin mereka hanya tidak mengerti,” kata Ayah.

“Berarti, kita yang harus mengerti mereka? Bukankah itu tidak adil?” sahut Dudu.

“Oh, Dudu anakku. Tak usahlah kau risau memikirkan itu. Bukankah penyebab utama kita hampir gepeng kena sapu, itu karena kita sendiri yang masuk ke rumah manusia tanpa diundang?”

Dudu mengangguk.

“Kalau Dudu tak suka dikejar dengan sapu, Dudu tinggal jauhi saja manusia beserta rumahnya itu.”

“Ayah benar,” kata Dudu.

“Baiklah. Bagaimana kalau besok kita berpetualang ke tempat yang baru?” tawar Ayah dengan suara penuh semangat.

“Apakah tempat baru ini berbahaya?”

“Oh, Dudu. Kau takkan tahu kalau belum mencoba.”

Melihat ayahnya yang begitu ceria dan bersemangat, mau tak mau Dudu pun jadi ketularan.

“Baiklah, Ayah.”

Senangnya hati Dudu. Walaupun petualangan yang ia alami ada yang indah ada pula yang menyeramkan, tetapi ia dapat melaluinya bersama-sama dengan ayah yang sangat disayanginya.


Cerita & ilustrasi oleh: Angewid
@ange_wid

4 comments:

  1. kreatif, saya yang sudah bukan anak2 bisa menikmati ceritanya
    thanks sudah menghibur

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete