Dongeng
Sejak bertemu dengan Bubu dan
Pupu, sepasang burung hantu, hidup Alif jadi berubah. Benar-benar berubah!
Karena sekarang Alif telah berubah menjadi seekor burung hantu.
Sementara Alif belum pulih dari
rasa kagetnya, Bubu dan Pupu memandangnya penasaran.
“Alif, kamu baik-baik saja?”
tanya Pupu.
“A-ak-aku… aku berubah jadi
seekor burung hantu,” jawab Alif terbata.
“Lalu kenapa?” tanya Bubu.
“Bagaimana kalau aku tidak bisa
berubah jadi manusia selamanya?”
“Ah, kawanku. Tak usah risaukan
hal itu,” kata Bubu. Pupu mengiyakan sepakat.
Namun Alif sangatlah risau.
“Bagaimana kalau aku tidak bisa bertemu dengan ibuku lagi?”
“Hmmm… makanya itu janganlah
risau. Belum tentu kamu tidak bisa bertemu ibumu lagi,” kata Pupu.
“Maafkan aku. Aku menyesal tidak
bilang dari awal kalau aku bukan burung hantu sungguhan,” kata Alif dengan
wajah memelas.
“Ah, sudahlah. Semuanya sudah
terjadi. Nikmati saja apa yang terjadi sekarang,” kata Pupu.
Alif tahu Bubu dan Pupu benar.
Dirinya sudah terlanjur jadi burung hantu. Alif juga tidak tahu apakah ia akan
selamanya begitu. Lebih baik nikmati saja. Kapan lagi ia bisa punya sayap dan
mengobrol bersama dua ekor burung hantu? Lagian, malam ini langit tampak sangat
indah.
Di tengah renungannya, tiba-tiba
terdengar suara kerucuk yang mengagetkan.
“Bunyi apa barusan?” Alif
bertanya-tanya.
“Maaf,” jawab Bubu malu-malu.
“Aku lapar.”
Mendengarnya Alif dan Pupu
terkikik geli.
“Dasar Bubu,” kata Pupu disela
tawanya. “Kalau begitu, kita cari makan, yuk! Ayo, Alif, ikut bersama kami.”
“Iya, Alif! Kita pergi berburu!
Kalau kamu tidak tahu caranya, nanti kami ajarin!” kata Bubu penuh semangat.
Berburu? Alif membatin ragu.
“Kalian berburu apa?”
“Biasanya sih, serangga, tikus—”
“Tikus?” potong Alif ngeri.
“Iya. Kenapa? Kamu tidak suka?”
tanya Pupu.
“Ayo, kita pergi sekarang. Nanti
keburu pagi,” ajak Bubu.
“Tapi… tapi aku sudah makan
malam,” jawab Alif, mencoba sebisa mungkin untuk tidak ikut berburu makanan.
“Tidak apa-apa. Kamu ikut saja,”
desak Bubu.
“Ayo, kita terbang sekarang.
Mumpung cuaca malam ini cerah,” kata Pupu.
Terbang? Mendadak jantung Alif
jadi berdebar-debar. Ia senang bercampur cemas.
Bubu dan Pupu pun melesat
meninggalkan dahan tenggeran. Alif sedikit kaget, dan langsung menyusul. Bubu
dan Pupu sudah melayang di udara dilatari langit malam yang indah. Sementara
Alif meluncur dengan sempurna…. ke bawah.
“Tolooooong! Bubu! Pupu! Tolong
akuuuuuuu! Aku tidak bisa terbang!” teriak Alif panik.
“Alif, sayapmu! Rentangkan
sayapmu!” balas Pupu.
Untunglah Alif bisa mengendalikan
sayapnya di saat yang tepat. Kalau tidak, bisa-bisa ia beradu dengan tanah.
Syukurlah, Alif membatin lega.
Karena ini adalah pertama kalinya
Alif terbang, ia belum terbiasa. Bubu dan Pupu sebisa mungkin menahan kikik
melihat Alif yang tampak kikuk mengepakkan sayapnya.
“Santai saja, Alif,” kata Pupu,
mencoba menenangkan sahabat barunya itu.
Bubu dan Pupu terbang dengan amat
terampil. Alif berusaha mengimbangi mereka. Sayangnya ia tetap saja tertinggal
jauh di belakang.
Lalu terdengar Pupu berteriak,
“Alif, awaaas! Dahan pohon!”
Alif tidak sempat menghindar.
Alhasil, ketika ia berhasil melewati rimbun dahan pohon itu, tubuh Alif
dipenuhi dedaunan. Bubu dan Pupu sudah tidak bisa lagi menahan rasa geli.
Keduanya pun tertawa. Alif jadi ikut tertular geli. Ia pun ikut tertawa bersama
sahabat burung hantunya.
“Eh, lihat! Ada jembatan!” seru
Alif. “Ke sana, yuk!” ajaknya. Alif ingin melihat sungai dari atas jembatan.
Ketiganya terbang dan mendarat di
puncak jembatan. Suasana di sana tidak terlalu terang. Lampu jalan hanya
sedikit mampu menerangi sungai di bawah. Namun burung hantu memiliki
penglihatan tiga kali lebih baik dari manusia. Alif menatap terpukau aliran
tenang sungai yang berkilauan di bawahnya.
Ketiga burung hantu itu seperti
tersihir oleh keindahan alam. Mereka duduk khidmat tanpa berkata apa-apa. Alif
hanya mampu mendesah bahagia. Kalau ia masih seorang anak laki-laki, belum
tentu ia punya kesempatan berdiri di puncak jembatan seperti ini.
Hingga akhirnya, bunyi kerucuk
mengagetkan mereka sekali lagi.
“Bubu, kamu benar-benar lapar,
ya?” tanya Pupu sambil tertawa.
“Maaf,” kata Bubu malu.
Dan akhirnya Alif mesti mengikuti
Bubu dan Pupu berburu. Mungkin terbaca jelas di wajahnya kalau Alif ketakutan.
Pupu yang pengertian pun berkata,
“Tidak apa-apa Alif, kalau kamu
tidak ikut berburu. Kami mengerti kamu belum terbiasa. Sedangkan kami harus
melakukannya. Karena itulah cara kami mencari makan.”
“Kamu tunggu saja di pepohonan
sementara kami berburu,”kata Bubu.
Alif mengangguk penuh rasa terima
kasih.
Acara berburu selesai. Pupu dan
Bubu mengajak Alif pulang. Alif teringat kepada orangtuanya saat ketiganya
melintas di atas rumahnya.
“Aku mau mampir ke rumahku
sebentar,” kata Alif. Bubu dan Pupu mengangguk.
Hari masih malam. Ayah dan ibu tentunya
masih tertidur pulas. Alif terbang mendekat ke arah jendela kamar tidur
orangtuanya. Ia tidak bisa mengintip ke dalam karena terhalang gorden. Tanpa sadar
Alif mengetuk-ngetuk pelan jendela dengan paruhnya.
Ia sangat kaget karena tiba-tiba
gorden tersibak. Dan wajah ibunya muncul.
“Ibu!” seru Alif gembira. Namun
ibunya tidak membalas. Ia hanya menelengkan sedikit kepalanya.
“Ini Alif, Bu.”
Pupu yang mengerti situasi ini
berkata lembut,” Alif, ibumu tidak mengeri ucapanmu. Kamu berbicara dengan
bahasa burung hantu.”
Alif menjadi sedih dengan
kenyataan ini.
Lalu Alif melihat ibu membuka
jendela. Alif segera mendekatinya, duduk di ambang jendela. Ibu mengelus-elus
puncak kepala Alif sambil tersenyum. Ibu mengatakan sesuatu. Namun Alif tidak
mengerti ucapannya. Hati Alif bertambah sedih. Bertambah sedih lagi saat ibu
mendorongnya menjauh lalu menutup jendela dan gordennya.
“Alif, ayo kita pulang ke
sarang,” ajak Bubu. Dengan lesu Alif mengikuti kedua sahabatnya.
Sesampai di dahan pohon tenggeran
mereka, Pupu berkata dengan lembut, “Kalau kamu sedih dan ingin menangis, tidak
apa-apa.”
Alif pun menangis tersedu-sedu.
Kata Pupu, “Sesudah menangis kamu
akan baik-baik saja.”
“Tapi aku tidak bisa bertemu
orangtuaku lagi,” isak Alif.
“Kamu masih bisa mengunjungi
mereka sebagai burung hantu,” jawab Bubu.
“Tapi ibu tidak mengerti
ucapanku.”
“Tapi ia mengelus-elus kepalamu
sambil tersenyum.”
“Tapi aku tidak akan bisa bermain
bola dengan teman-temanku lagi.”
“Tapi sekarang kamu punya teman
baru yang mengajakmu bermain di angkasa.”
Alif terdiam. Hanya sedu sedannya
yang terdengar.
“Alif sahabatku,” kata Pupu. “Saat
jari kelingkingmu terluka, janganlah kamu sibuk bersedih meratapinya. Kamu
masih punya sembilan jari lain yang sehat yang siap melakukan apapun untukmu.”
“Ng…... maksudnya?” tanya Alif.
“Maksudnya, malam ini kamu boleh
menangis, karena kamu bukan lagi seorang anak laki-laki yang bisa bermain bola.
Tapi besok pagi, kamu harus ceria kembali, karena kamu sekarang adalah seekor
burung hantu yang punya sayap dan bisa terbang.”
Alif mengerti. Semua kesedihan
adalah anugerah. Kalau ia mau melihatnya dari sisi yang berbeda. Lagipula ini
masih malam hari. Siapa tahu besok pagi ia sudah berubah menjadi seorang anak
laki-laki kembali? Atau barangkali, menjadi sesuatu yang lain lagi?
~selesai~
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment