Sunday, 27 March 2016

ALIF DAN SEPASANG BURUNG HANTU - BAGIAN 2


ilustrasi-alif-dan-sepasang-burung-hantu

Dongeng

Sejak bertemu dengan Bubu dan Pupu, sepasang burung hantu, hidup Alif jadi berubah. Benar-benar berubah! Karena sekarang Alif telah berubah menjadi seekor burung hantu.

Sementara Alif belum pulih dari rasa kagetnya, Bubu dan Pupu memandangnya penasaran.

“Alif, kamu baik-baik saja?” tanya Pupu.


“A-ak-aku… aku berubah jadi seekor burung hantu,” jawab Alif terbata.

“Lalu kenapa?” tanya Bubu.

“Bagaimana kalau aku tidak bisa berubah jadi manusia selamanya?”

“Ah, kawanku. Tak usah risaukan hal itu,” kata Bubu. Pupu mengiyakan sepakat.

Namun Alif sangatlah risau. “Bagaimana kalau aku tidak bisa bertemu dengan ibuku lagi?”

“Hmmm… makanya itu janganlah risau. Belum tentu kamu tidak bisa bertemu ibumu lagi,” kata Pupu.

“Maafkan aku. Aku menyesal tidak bilang dari awal kalau aku bukan burung hantu sungguhan,” kata Alif dengan wajah memelas.

“Ah, sudahlah. Semuanya sudah terjadi. Nikmati saja apa yang terjadi sekarang,” kata Pupu.

Alif tahu Bubu dan Pupu benar. Dirinya sudah terlanjur jadi burung hantu. Alif juga tidak tahu apakah ia akan selamanya begitu. Lebih baik nikmati saja. Kapan lagi ia bisa punya sayap dan mengobrol bersama dua ekor burung hantu? Lagian, malam ini langit tampak sangat indah.

Di tengah renungannya, tiba-tiba terdengar suara kerucuk yang mengagetkan.

“Bunyi apa barusan?” Alif bertanya-tanya.

“Maaf,” jawab Bubu malu-malu. “Aku lapar.”

Mendengarnya Alif dan Pupu terkikik geli.

“Dasar Bubu,” kata Pupu disela tawanya. “Kalau begitu, kita cari makan, yuk! Ayo, Alif, ikut bersama kami.”

“Iya, Alif! Kita pergi berburu! Kalau kamu tidak tahu caranya, nanti kami ajarin!” kata Bubu penuh semangat.

Berburu? Alif membatin ragu. “Kalian berburu apa?”

“Biasanya sih, serangga, tikus—”

“Tikus?” potong Alif ngeri.

“Iya. Kenapa? Kamu tidak suka?” tanya Pupu.

“Ayo, kita pergi sekarang. Nanti keburu pagi,” ajak Bubu.

“Tapi… tapi aku sudah makan malam,” jawab Alif, mencoba sebisa mungkin untuk tidak ikut berburu makanan.

“Tidak apa-apa. Kamu ikut saja,” desak Bubu.

“Ayo, kita terbang sekarang. Mumpung cuaca malam ini cerah,” kata Pupu.

Terbang? Mendadak jantung Alif jadi berdebar-debar. Ia senang bercampur cemas.

Bubu dan Pupu pun melesat meninggalkan dahan tenggeran. Alif sedikit kaget, dan langsung menyusul. Bubu dan Pupu sudah melayang di udara dilatari langit malam yang indah. Sementara Alif meluncur dengan sempurna…. ke bawah.

“Tolooooong! Bubu! Pupu! Tolong akuuuuuuu! Aku tidak bisa terbang!” teriak Alif panik.

“Alif, sayapmu! Rentangkan sayapmu!” balas Pupu.

Untunglah Alif bisa mengendalikan sayapnya di saat yang tepat. Kalau tidak, bisa-bisa ia beradu dengan tanah.

Syukurlah, Alif membatin lega.

Karena ini adalah pertama kalinya Alif terbang, ia belum terbiasa. Bubu dan Pupu sebisa mungkin menahan kikik melihat Alif yang tampak kikuk mengepakkan sayapnya.

“Santai saja, Alif,” kata Pupu, mencoba menenangkan sahabat barunya itu.

Bubu dan Pupu terbang dengan amat terampil. Alif berusaha mengimbangi mereka. Sayangnya ia tetap saja tertinggal jauh di belakang.

Lalu terdengar Pupu berteriak, “Alif, awaaas! Dahan pohon!”

Alif tidak sempat menghindar. Alhasil, ketika ia berhasil melewati rimbun dahan pohon itu, tubuh Alif dipenuhi dedaunan. Bubu dan Pupu sudah tidak bisa lagi menahan rasa geli. Keduanya pun tertawa. Alif jadi ikut tertular geli. Ia pun ikut tertawa bersama sahabat burung hantunya.

“Eh, lihat! Ada jembatan!” seru Alif. “Ke sana, yuk!” ajaknya. Alif ingin melihat sungai dari atas jembatan.

Ketiganya terbang dan mendarat di puncak jembatan. Suasana di sana tidak terlalu terang. Lampu jalan hanya sedikit mampu menerangi sungai di bawah. Namun burung hantu memiliki penglihatan tiga kali lebih baik dari manusia. Alif menatap terpukau aliran tenang sungai yang berkilauan di bawahnya.

Ketiga burung hantu itu seperti tersihir oleh keindahan alam. Mereka duduk khidmat tanpa berkata apa-apa. Alif hanya mampu mendesah bahagia. Kalau ia masih seorang anak laki-laki, belum tentu ia punya kesempatan berdiri di puncak jembatan seperti ini.

Hingga akhirnya, bunyi kerucuk mengagetkan mereka sekali lagi.

“Bubu, kamu benar-benar lapar, ya?” tanya Pupu sambil tertawa.

“Maaf,” kata Bubu malu.

Dan akhirnya Alif mesti mengikuti Bubu dan Pupu berburu. Mungkin terbaca jelas di wajahnya kalau Alif ketakutan. Pupu yang pengertian pun berkata,

“Tidak apa-apa Alif, kalau kamu tidak ikut berburu. Kami mengerti kamu belum terbiasa. Sedangkan kami harus melakukannya. Karena itulah cara kami mencari makan.”

“Kamu tunggu saja di pepohonan sementara kami berburu,”kata Bubu.

Alif mengangguk penuh rasa terima kasih.

Acara berburu selesai. Pupu dan Bubu mengajak Alif pulang. Alif teringat kepada orangtuanya saat ketiganya melintas di atas rumahnya.

“Aku mau mampir ke rumahku sebentar,” kata Alif. Bubu dan Pupu mengangguk.

Hari masih malam. Ayah dan ibu tentunya masih tertidur pulas. Alif terbang mendekat ke arah jendela kamar tidur orangtuanya. Ia tidak bisa mengintip ke dalam karena terhalang gorden. Tanpa sadar Alif mengetuk-ngetuk pelan jendela dengan paruhnya.

Ia sangat kaget karena tiba-tiba gorden tersibak. Dan wajah ibunya muncul.

“Ibu!” seru Alif gembira. Namun ibunya tidak membalas. Ia hanya menelengkan sedikit kepalanya.

“Ini Alif, Bu.”

Pupu yang mengerti situasi ini berkata lembut,” Alif, ibumu tidak mengeri ucapanmu. Kamu berbicara dengan bahasa burung hantu.”

Alif menjadi sedih dengan kenyataan ini.

Lalu Alif melihat ibu membuka jendela. Alif segera mendekatinya, duduk di ambang jendela. Ibu mengelus-elus puncak kepala Alif sambil tersenyum. Ibu mengatakan sesuatu. Namun Alif tidak mengerti ucapannya. Hati Alif bertambah sedih. Bertambah sedih lagi saat ibu mendorongnya menjauh lalu menutup jendela dan gordennya.

“Alif, ayo kita pulang ke sarang,” ajak Bubu. Dengan lesu Alif mengikuti kedua sahabatnya.

Sesampai di dahan pohon tenggeran mereka, Pupu berkata dengan lembut, “Kalau kamu sedih dan ingin menangis, tidak apa-apa.”

Alif pun menangis tersedu-sedu.

Kata Pupu, “Sesudah menangis kamu akan baik-baik saja.”

“Tapi aku tidak bisa bertemu orangtuaku lagi,” isak Alif.

“Kamu masih bisa mengunjungi mereka sebagai burung hantu,” jawab Bubu.

“Tapi ibu tidak mengerti ucapanku.”

“Tapi ia mengelus-elus kepalamu sambil tersenyum.”

“Tapi aku tidak akan bisa bermain bola dengan teman-temanku lagi.”

“Tapi sekarang kamu punya teman baru yang mengajakmu bermain di angkasa.”

Alif terdiam. Hanya sedu sedannya yang terdengar.

“Alif sahabatku,” kata Pupu. “Saat jari kelingkingmu terluka, janganlah kamu sibuk bersedih meratapinya. Kamu masih punya sembilan jari lain yang sehat yang siap melakukan apapun untukmu.”

“Ng…... maksudnya?” tanya Alif.

“Maksudnya, malam ini kamu boleh menangis, karena kamu bukan lagi seorang anak laki-laki yang bisa bermain bola. Tapi besok pagi, kamu harus ceria kembali, karena kamu sekarang adalah seekor burung hantu yang punya sayap dan bisa terbang.”

Alif mengerti. Semua kesedihan adalah anugerah. Kalau ia mau melihatnya dari sisi yang berbeda. Lagipula ini masih malam hari. Siapa tahu besok pagi ia sudah berubah menjadi seorang anak laki-laki kembali? Atau barangkali, menjadi sesuatu yang lain lagi?

 ~selesai~



cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid


No comments:

Post a Comment