Dongeng
ARYN sering berkhayal dia bisa pergi ke tempat-tempat ajaib, seperti di buku dongeng yang dibacanya. Setiap hari yang dilihat Aryn hanya kebun sayur di belakang rumahnya. Ia merasa bosan. Menakjubkan sekali kalau dirinya bisa pergi ke tempat makhluk-makluk ajaib berada. Mengalami musim yang tidak biasa, bahkan memiliki kekuatan ajaib!
Hingga suatu ketika Aryn
menemukan jalan menuju ke sana. Ada pintu tersembunyi di balik semak tak jauh
dari rumahnya. Pintu itu membawa Aryn ke dunia yang sangat berbeda.
Aryn sungguh terpana. Tiba-tiba
saja ia sudah berada di negeri tempat para makhluk mungil tinggal. Mereka
begitu mungil sampai-sampai Aryn bisa meletakkan mereka di telapak tangannya.
“Ajaib apanya?” sahut makhluk
mungil.
“Kamu mirip denganku. Tapi mungil
sekali,” jawab Aryn.
“Menurutku tidak ajaib. Dari
lahir sampai sekarang, ukuranku cuma segini. Sampai dewasa nanti, aku akan
tetap sebesar ini.”
“Benarkah? Seumur hidupmu ukuran
tubuhmu tidak berubah?” tanya Aryn heran. Makhluk mungil menggeleng sedih.
Aryn melanjutkan. “Waktu baru
lahir aku tidak sebesar ini. Dan kalau dewasa nanti, tinggiku bisa tambah 30
senti lagi.”
“Wah, mengagumkan. Dari dulu aku sering
membayangkan ada makhluk yang bisa tumbuh. Seperti tanaman. Mulanya hanya biji
imut, lalu tumbuh jadi pohon yang besar dan kokoh. Hidupmu ajaib sekali,” kata
makhluk mungil.
Aryn sedikit kaget. Selama ini ia
tidak pernah berpikir begitu.
Karena merasa sudah cukup lama
berada di negeri makhluk mungil, Aryn pun bermaksud pulang. Ia melewati kembali
pintu ajaib. Namun rupanya, pintu ajaib tidak membawa Aryn pulang. Anak
perempuan itu malah dibawa ke tempat ajaib lainnya.
“Sepertinya di tempat ini hari
sudah malam,” kata Aryn. Ia sedang berada di sebuah taman yang penuh dengan
tanaman yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
“Wah, unik sekali bunga-bunganya,” gumam Aryn.
“Biasa saja,” sebuah suara
menyeletuk. Aryn terlonjak kaget. Namun Ia tidak menemukan siapa pun di
dekatnya.
“Siapa yang bicara?” tanya Aryn,
melemparkan pandangan ke sekelilingnya.
“Di sini!” suara itu menyahut.
Namun Aryn belum berhasil menemukan sosoknya.
“Di sini! Di atas sini!” kata
suara itu lagi.
Aryn mendongak ke arah tiang
lampu taman di dekatnya. Tidak ada sosok apapun di atas sana. Lagipula, tiang
lampu taman tidak sebesar itu untuk bisa menampung seseorang duduk di atasnya.
Sekalipun anak kecil.
“Mana?”
“Di sini,” kata suara itu, agak
geram.
Aryn terpelongo kaget. Ternyata
yang barusan mengajaknya bicara adalah seekor kumbang. Aryn nyengir gembira.
“Ajaib!” seru Aryn tak sadar.
“Apanya yang ajaib?” tanya si
kumbang.
“Ajaib sekali! Aku belum pernah
mengobrol dengan seekor kumbang sebelum ini,” kata Aryn, tak bisa menutupi rasa
senangnya.
“Menurutku tidak,” kata si
kumbang. “Setiap hari aku berbincang dengan manusia. Juga dengan makhluk hidup
lainnya. Bagiku itu tidak ajaib.”
Wah, Aryn sangat terpukau.
Ternyata semua jenis makhluk hidup di negeri ini bisa saling berbincang.
Menyenangkan sekali.
“Kalau aku, sih, penasaran sekali
bagaimana bisa berbincang tanpa suara,” kata si kumbang.
“Hah?” tanya Aryn tak mengerti.
“Aku pernah dengar sebuah dongeng.
Ada tempat bernama Bumi. Di sana, manusia dan hewan berkomunikasi bukan dengan
bicara seperti ini. Ajaib!”
“Hah?” Aryn betul-betul
tercengang mendengarnya.
“Iya. Mereka bisa saling mengerti
satu sama lain hanya dengan bahasa tubuh. Ajaib, ya?”
Wah, Aryn belum pernah berpikir
sampai ke situ. Kalau dipikir-pikir, si kumbang benar juga. Aryn dan kucing
peliharaannya bisa saling memahami walaupun tidak mengerti bahasa satu sama
lain.
“Dengar-dengar,” si kumbang melanjutkan.
“Bahasa yang digunakan oleh penduduk bumi, adalah bahasa kasih sayang.”
“Bahasa kasih sayang?” ulang
Aryn.
“Benar. Mengesankan, ya?”
Mendengar cerita si kumbang,
membuat Aryn jadi memikirkan tentang dirinya dan bumi tempat tinggalnya.
“Aku ingin sekali berkunjung ke
Bumi yang ajaib,” ujar si kumbang.
Dari dunia ajaib si kumbang, Aryn
terdampar kembali ke negeri asing lainnya. Sepertinya pintu ajaib belum
mengizinkan Aryn pulang.
“Dimana ini? Di sini juga sudah
malam,” gumam Aryn. Ia melangkah pelan di kegelapan malam. Suasananya amat
sunyi. Bahkan Aryn tidak mendengar suara binatang malam. “Sepertinya semua
orang sedang tidur.”
Tidak ada yang bisa Aryn lakukan
di sana. Tidak ada makhluk yang ditemuinya. Dan tidak ada pemandangan yang bisa
dilihat karena malam begitu pekat.
Tak jauh di depannya Aryn melihat
sebuah pintu gerbang terbuat dari kayu berukir. Perlahan ia mendorong daun
pintunya. Aryn kaget. Sebuah cahaya amat terang menelusup di celah pintu yang
baru terbuka sebagian. Hati-hati Aryn melongokkan kepalanya melalui celah di
pintu gerbang.
Serta-merta Aryn menutupi kedua
matanya dari cahaya yang tiba-tiba.
Lho? Kenapa suasana di balik
pintu gerbang sangat terang, seperti siang hari? Aryn menoleh ke belakang. Wah,
aneh sekali. Suasana di belakang Aryn masih gelap gulita. Perlahan Aryn
melangkah melewai pintu gerbang. Ternyata suasana di sana memang siang hari.
Aryn begitu takjub. Ada dua tempat yang
berdekatan, namun perbedaan waktunya amat mencolok!
Aryn lebih terkejut lagi ketika
mendengar penjelasan dari warga di tempat itu. Mereka menjelaskan, di negeri
tersebut, Desa Malam akan terus malam hari sepanjang waktu. Sementara Desa
Siang akan terus siang hari. Maka jika waktunya untuk tidur, para penduduk akan
pulang ke Desa Malam. Dan jika waktunya bekerja, penduduk akan pergi ke Desa
Siang. Tapi untuk binatang malam sebaliknya. Mereka akan pergi ke Desa Siang
untuk tidur dan beristirahat.”
“Unik sekali,” kata Aryn riang.
“Tidak, ah. Malah sangat merepotkan,”
sahut salah seorang penduduk di situ. “Oh, iya. Aku dengar, di bumi waktu akan
berubah-ubah selama dua puluh empat jam. Hebat, ya!”
“Oh,” kata Aryn. Lagi-lagi ia
tidak pernah terpikir tentang bumi tempat tinggalnya.
Pintu ajaib sekali lagi membawa
Aryn menuju dunia yang berbeda. Kali ini ia berada di sebuah negeri dimana
wajah orang-orangnya terlihat sama dan tanpa ekspresi.
Apa yang terjadi pada mereka?
Aryn bertanya-tanya dalam hati.
Saat Aryn berhasil menjalin
percakapan dengan salah satu di antara mereka, jawaban inilah yang Aryn
dapatkan.
“Semua yang ada di sini sama,
sebanding dan setara. Tak ada yang lebih baik, tak ada yang lebih buruk. Tak
ada keanekaragaman.”
“Benarkah?” sahut Aryn keheranan.
Betapa membosankannya, pikirnya.
“Katanya, ada negeri bernama
Bumi. Di sana semuanya serba beraneka ragam. Ada manusia yang berkulit putih,
kuning, merah, coklat, hitam. Ada hewan yang hidup di darat, di sungai dan di
laut. Ada hal yang bisa bikin tertawa, menangis dan marah. Pasti indah sekali
negeri yang bernama Bumi itu.”
Kali ini Aryn tertegun. Bumi.
Tempat manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan hidup. Aryn akui, banyak sekali
pemandangan indah di bumi. Sungai, danau, air terjun, samudera, pegunungan.
Pasti banyak sekali jenis ikan unik yang tinggal di kedalaman lautan. Atau
bunga yang menawan yang tumbuh di salah satu sudut hutan belantara. Langit biru
dan cahaya matahari pagi. Rerumputan hijau yang segar dan wangi. Wajah-wajah
ramah. Orang-orang yang baik hati. Anak-anak yang berlarian. Kijang-kijang yang
berlompatan. Alunan musik para seniman. Tiba-tiba saja Aryn amat rindu dengan
Bumi. Ia ingin segera pulang.
Tanpa berlama-lama, Aryn menuju
pintu ajaib. Dengan penuh semangat, Aryn berharap kali ini pintu ajaib akan
membawanya pulang.
Aryn melangkah melewati pintu
ajaib dan,
“Bumi!” seru Aryn bahagia. Ia pulang.
Ke negeri ajaib yang sesungguhnya. Ke Bumi yang indah nan penuh keajaiban.
Aryn sudah memikirkan petualangannya selanjutnya. Ia teringat tentang kebun sayuran di belakang rumahnya. Aryn jadi tidak sabar untuk segera berpetualang di sana.
“Wah, pasti banyak serangga dan
ulat yang unit di sana,” gumam Aryn dengan mata berbinar-binar.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment