Wednesday 21 September 2016

DUNIA AJAIB ARYN

ilustrasi-dunia-ajaib-aryn

Dongeng

ARYN sering berkhayal dia bisa pergi ke tempat-tempat ajaib, seperti di buku dongeng yang dibacanya. Setiap hari yang dilihat Aryn hanya kebun sayur di belakang rumahnya. Ia merasa bosan. Menakjubkan sekali kalau dirinya bisa pergi ke tempat makhluk-makluk ajaib berada. Mengalami musim yang tidak biasa, bahkan memiliki kekuatan ajaib!

Hingga suatu ketika Aryn menemukan jalan menuju ke sana. Ada pintu tersembunyi di balik semak tak jauh dari rumahnya. Pintu itu membawa Aryn ke dunia yang sangat berbeda.

Aryn sungguh terpana. Tiba-tiba saja ia sudah berada di negeri tempat para makhluk mungil tinggal. Mereka begitu mungil sampai-sampai Aryn bisa meletakkan mereka di telapak tangannya.
“Wah, ajaib sekali,” kata Aryn.

“Ajaib apanya?” sahut makhluk mungil.

“Kamu mirip denganku. Tapi mungil sekali,” jawab Aryn.

“Menurutku tidak ajaib. Dari lahir sampai sekarang, ukuranku cuma segini. Sampai dewasa nanti, aku akan tetap sebesar ini.”

“Benarkah? Seumur hidupmu ukuran tubuhmu tidak berubah?” tanya Aryn heran. Makhluk mungil menggeleng sedih. 

Aryn melanjutkan. “Waktu baru lahir aku tidak sebesar ini. Dan kalau dewasa nanti, tinggiku bisa tambah 30 senti lagi.” 

 “Wah, mengagumkan. Dari dulu aku sering membayangkan ada makhluk yang bisa tumbuh. Seperti tanaman. Mulanya hanya biji imut, lalu tumbuh jadi pohon yang besar dan kokoh. Hidupmu ajaib sekali,” kata makhluk mungil.

Aryn sedikit kaget. Selama ini ia tidak pernah berpikir begitu.

Karena merasa sudah cukup lama berada di negeri makhluk mungil, Aryn pun bermaksud pulang. Ia melewati kembali pintu ajaib. Namun rupanya, pintu ajaib tidak membawa Aryn pulang. Anak perempuan itu malah dibawa ke tempat ajaib lainnya.

“Sepertinya di tempat ini hari sudah malam,” kata Aryn. Ia sedang berada di sebuah taman yang penuh dengan tanaman yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

 “Wah, unik sekali bunga-bunganya,” gumam Aryn.

“Biasa saja,” sebuah suara menyeletuk. Aryn terlonjak kaget. Namun Ia tidak menemukan siapa pun di dekatnya.

“Siapa yang bicara?” tanya Aryn, melemparkan pandangan ke sekelilingnya.

“Di sini!” suara itu menyahut. Namun Aryn belum berhasil menemukan sosoknya. 

“Di sini! Di atas sini!” kata suara itu lagi.

Aryn mendongak ke arah tiang lampu taman di dekatnya. Tidak ada sosok apapun di atas sana. Lagipula, tiang lampu taman tidak sebesar itu untuk bisa menampung seseorang duduk di atasnya. Sekalipun anak kecil.

“Mana?”

“Di sini,” kata suara itu, agak geram.

Aryn terpelongo kaget. Ternyata yang barusan mengajaknya bicara adalah seekor kumbang. Aryn nyengir gembira. “Ajaib!” seru Aryn tak sadar.

“Apanya yang ajaib?” tanya si kumbang.

“Ajaib sekali! Aku belum pernah mengobrol dengan seekor kumbang sebelum ini,” kata Aryn, tak bisa menutupi rasa senangnya.

“Menurutku tidak,” kata si kumbang. “Setiap hari aku berbincang dengan manusia. Juga dengan makhluk hidup lainnya. Bagiku itu tidak ajaib.”

Wah, Aryn sangat terpukau. Ternyata semua jenis makhluk hidup di negeri ini bisa saling berbincang. Menyenangkan sekali.

“Kalau aku, sih, penasaran sekali bagaimana bisa berbincang tanpa suara,” kata si kumbang.

“Hah?” tanya Aryn tak mengerti.

“Aku pernah dengar sebuah dongeng. Ada tempat bernama Bumi. Di sana, manusia dan hewan berkomunikasi bukan dengan bicara seperti ini. Ajaib!”

“Hah?” Aryn betul-betul tercengang mendengarnya.

“Iya. Mereka bisa saling mengerti satu sama lain hanya dengan bahasa tubuh. Ajaib, ya?”

Wah, Aryn belum pernah berpikir sampai ke situ. Kalau dipikir-pikir, si kumbang benar juga. Aryn dan kucing peliharaannya bisa saling memahami walaupun tidak mengerti bahasa satu sama lain.

“Dengar-dengar,” si kumbang melanjutkan. “Bahasa yang digunakan oleh penduduk bumi, adalah bahasa kasih sayang.”

“Bahasa kasih sayang?” ulang Aryn.

“Benar. Mengesankan, ya?”

Mendengar cerita si kumbang, membuat Aryn jadi memikirkan tentang dirinya dan bumi tempat tinggalnya.

“Aku ingin sekali berkunjung ke Bumi yang ajaib,” ujar si kumbang.

Dari dunia ajaib si kumbang, Aryn terdampar kembali ke negeri asing lainnya. Sepertinya pintu ajaib belum mengizinkan Aryn pulang.

“Dimana ini? Di sini juga sudah malam,” gumam Aryn. Ia melangkah pelan di kegelapan malam. Suasananya amat sunyi. Bahkan Aryn tidak mendengar suara binatang malam. “Sepertinya semua orang sedang tidur.”

Tidak ada yang bisa Aryn lakukan di sana. Tidak ada makhluk yang ditemuinya. Dan tidak ada pemandangan yang bisa dilihat karena malam begitu pekat.

Tak jauh di depannya Aryn melihat sebuah pintu gerbang terbuat dari kayu berukir. Perlahan ia mendorong daun pintunya. Aryn kaget. Sebuah cahaya amat terang menelusup di celah pintu yang baru terbuka sebagian. Hati-hati Aryn melongokkan kepalanya melalui celah di pintu gerbang.

Serta-merta Aryn menutupi kedua matanya dari cahaya yang tiba-tiba.

Lho? Kenapa suasana di balik pintu gerbang sangat terang, seperti siang hari? Aryn menoleh ke belakang. Wah, aneh sekali. Suasana di belakang Aryn masih gelap gulita. Perlahan Aryn melangkah melewai pintu gerbang. Ternyata suasana di sana memang siang hari. Aryn begitu takjub.  Ada dua tempat yang berdekatan, namun perbedaan waktunya amat mencolok!

Aryn lebih terkejut lagi ketika mendengar penjelasan dari warga di tempat itu. Mereka menjelaskan, di negeri tersebut, Desa Malam akan terus malam hari sepanjang waktu. Sementara Desa Siang akan terus siang hari. Maka jika waktunya untuk tidur, para penduduk akan pulang ke Desa Malam. Dan jika waktunya bekerja, penduduk akan pergi ke Desa Siang. Tapi untuk binatang malam sebaliknya. Mereka akan pergi ke Desa Siang untuk tidur dan beristirahat.”

“Unik sekali,” kata Aryn riang.

“Tidak, ah. Malah sangat merepotkan,” sahut salah seorang penduduk di situ. “Oh, iya. Aku dengar, di bumi waktu akan berubah-ubah selama dua puluh empat jam. Hebat, ya!”

“Oh,” kata Aryn. Lagi-lagi ia tidak pernah terpikir tentang bumi tempat tinggalnya.

Pintu ajaib sekali lagi membawa Aryn menuju dunia yang berbeda. Kali ini ia berada di sebuah negeri dimana wajah orang-orangnya terlihat sama dan tanpa ekspresi.

Apa yang terjadi pada mereka? Aryn bertanya-tanya dalam hati.

Saat Aryn berhasil menjalin percakapan dengan salah satu di antara mereka, jawaban inilah yang Aryn dapatkan.

“Semua yang ada di sini sama, sebanding dan setara. Tak ada yang lebih baik, tak ada yang lebih buruk. Tak ada keanekaragaman.”

“Benarkah?” sahut Aryn keheranan. Betapa membosankannya, pikirnya.

“Katanya, ada negeri bernama Bumi. Di sana semuanya serba beraneka ragam. Ada manusia yang berkulit putih, kuning, merah, coklat, hitam. Ada hewan yang hidup di darat, di sungai dan di laut. Ada hal yang bisa bikin tertawa, menangis dan marah. Pasti indah sekali negeri yang bernama Bumi itu.”

Kali ini Aryn tertegun. Bumi. Tempat manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan hidup. Aryn akui, banyak sekali pemandangan indah di bumi. Sungai, danau, air terjun, samudera, pegunungan. Pasti banyak sekali jenis ikan unik yang tinggal di kedalaman lautan. Atau bunga yang menawan yang tumbuh di salah satu sudut hutan belantara. Langit biru dan cahaya matahari pagi. Rerumputan hijau yang segar dan wangi. Wajah-wajah ramah. Orang-orang yang baik hati. Anak-anak yang berlarian. Kijang-kijang yang berlompatan. Alunan musik para seniman. Tiba-tiba saja Aryn amat rindu dengan Bumi. Ia ingin segera pulang.

Tanpa berlama-lama, Aryn menuju pintu ajaib. Dengan penuh semangat, Aryn berharap kali ini pintu ajaib akan membawanya pulang.

Aryn melangkah melewati pintu ajaib dan,

“Bumi!” seru Aryn bahagia. Ia pulang. Ke negeri ajaib yang sesungguhnya. Ke Bumi yang indah nan penuh keajaiban.

Aryn sudah memikirkan petualangannya selanjutnya. Ia teringat tentang kebun sayuran di belakang rumahnya. Aryn jadi tidak sabar untuk segera berpetualang di sana.

“Wah, pasti banyak serangga dan ulat yang unit di sana,” gumam Aryn dengan mata berbinar-binar.


cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment