Cerita Anak
Pulang sekolah hari itu, mata Rara
basah dan hidungnya mampet karena sebelumnya ia menangis tersedu-sedu.
Sebetulnya Rara tidak ingin ibunya tahu. Tetapi sulit menyembunyikan matanya
yang merah dan suaranya yang jadi sengau akibat menangis. Belum lagi seragam
sekolahnya yang basah dan kotor.
Dengan suaranya yang lembut ibu
berkata,
“Rara, ibu buatkan masakan
kesukaanmu siang ini. Ayo kita makan siang.”
Sambil menyantap makan siangnya,
mengalirlah cerita dari Rara.
Sewaktu pulang sekolah, seperti
biasa Rara pulang berjalan kaki. Sekolahnya tidak terletak jauh sehingga bisa
ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Hari itu sahabatnya, Ema, yang rumahnya
berdekatan dengan Rara, tidak masuk sekolah. Karenanya Rara pulang sendirian.
Walaupun sudah hati-hati, masih
saja Rara berpapasan dengan Gilang. Rara mencoba menghindar. Tetapi, melihat Rara
sendirian, Gilang langsung saja menjailinya.
Rara sebal sekali sama Gilang.
Meskipun mereka teman sekolah, Gilang bandel sekali dan sangat suka
mengganggunya. Kadang-kadang Gilang mencoreti buku Rara. Menyembunyikan
pensilnya. Menarik kuncir ekor kuda Rara. Atau menjulurkan lidahnya sambil
mengatai Rara jelek.
Dan hari ini, Gilang benar-benar
keterlaluan. Biasanya Rara hanya sebatas cemberut dan mengomel sendirian. Namun
hari ini, Rara sampai menangis dibuatnya.
Dengan meniru suara gonggongan
anjing yang meyakinkan, Gilang mengejutkan Rara. Karena kaget, Rara pun
terlonjak. Sayangnya Rara terlalu dekat berdiri dengan parit. Alhasil ia
terjatuh ke sana. Mulanya hanya kakinya yang terendam di parit. Namun Gilang
belum selesai sampai di situ saja. Ia melempari Rara dengan dedaunan kering.
Karena kalang kabut, Rara terpeleset. Dan ia pun tercebur sepenuhnya di parit.
Tas sekolah dan buku di dalamnya tak dapat diselamatkan.
Ibu mendengarkan cerita Rara
dengan penuh perhatian. Setelah Rara selesai bercerita, selesai pula santapan
siang Rara. Dengan lembut ibu bertanya apakah Rara ingin tambah lagi.
“Terima kasih, sudah cukup, Bu,”
jawab Rara. Setelah menyantap masakan ibu yang dimasak dengan kasih sayang,
perasaan Rara menjadi lebih baik.
Ibu mengacak pelan rambut Rara.
Lalu ia bertanya,
“Rara jengkel, ya, sama kelakuan
Gilang?”
Rara mengangguk pelan.
“Rara tahu kenapa Gilang suka berbuat
begitu?” tanya ibu lagi.
“Karena Gilang nakal. Dia senang
kalau melihat Rara susah,” jawab Rara sambil merengut.
“Maksudnya, Gilang sering
mengganggu Rara, karena Gilang tidak suka sama Rara?”
Rara mengangguk lagi.
Pertanyaan ibu berikutnya membuat
Rara sedikit terperanjat. “Apa Rara punya salah sama Gilang?”
“Ng… rasa-rasanya tidak pernah,”
jawab Rara. Rasanya Rara tidak pernah nakal sama Gilang. Tetapi, siapa tahu
saja secara tak sengaja ia pernah menyakiti Gilang.
Dan ucapan ibu selanjutnya,
betul-betul membuat Rara terperangah.
“Barangkali, alasan Gilang suka
mengganggu Rara, karena sebetulnya Gilang suka sama Rara. Gilang ingin jadi
sahabat Rara.”
Mata Rara terbelalak. Menjadi
sahabat? Dengan cara membuat Rara kecemplung di parit? Rasanya tidak masuk
akal.
“Itu mungkin saja,” kata ibu
lagi. “Rara kan juara kelas. Sudah itu Rara juga pandai membuat origami.”
Rara tidak menyahut.
“Ibu punya ide,” kata ibu akhirnya.
Matanya berbinar-binar jenaka.
Rara mendengarkan dengan cermat
penjelasan ibu. Setelah selesai, Rara tidak tahu apakah cara yang ibu berikan
akan berhasil. Namun ibu tersenyum lebar sambil mengangguk mantap.
“Tidak ada salahnya mencoba,”
kata ibu.
Keesokan harinya sepulang sekolah,
Rara mengumpulkan keberaniannya. Sebelum keluar kelas, Rara menghampiri Gilang.
Karena hal ini belum pernah terjadi, Gilang kaget tiba-tiba Rara mendekatinya
lalu menyapanya.
“Gilang,” panggil Rara.
Gilang teringat kenakalannya
kemarin pada Rara. Karena merasa bersalah, dia langsung memasang wajah galak
dan sikap menantang.
“Apa?!” ujar Gilang ketus.
Masa sih, yang begini ini mau
bersahabat denganku? Rara bertanya-tanya dalam hati. Namun, benar atau tidaknya
hal itu, ia tetap harus melakukan sesuatu. Ia tidak boleh membiarkan Gilang
mengganggunya terus.
“Nanti sore aku sama Ema mau
belajar bikin origami bentuk baru di rumahku. Kamu mau ikut?”
Gilang terpelongo mendengar
kata-kata Rara barusan. Ia kurang mengerti, apakah ia salah dengar atau tidak.
“Nanti sore jam empat ke rumahku,
ya,” lanjut Rara tanpa menunggu jawaban Gilang. “Jangan lupa bawa kertas
origaminya.”
Rara merasa lega setelah berhasil
mengucapkan kata-kata itu. Ia tidak lagi merasa takut pada Gilang. Ia juga
tidak merasa benci pada Gilang. Rara berharap, ide ibu agar Rara yang memulai
persahabatan dengan Gilang, dapat berjalan dengan lancar.
Sore harinya, Rara dan Ema sedang
bersenang-senang dengan kertas origami mereka. Gilang belum juga datang. Jam
sudah menunjukkan pukul empat lewat dua puluh lima menit.
“Sepertinya Gilang tidak bakalan
datang,” kata Ema.
Rara juga merasa begitu. Ia agak
sedih. Nampaknya usahanya tidak berjalan sesuai rencana.
Hingga akhirnya Ema pulang,
Gilang tidak juga muncul. Rara jadi agak sebal. Padahal dia berniat baik pada
Gilang. Dan selama ini Gilang yang selalu berbuat nakal padanya.
Ibu melihat raut muka Rara yang
cemberut. Katanya,
“Mungkin Gilang malu. Selama ini
dia suka mengganggu Rara. Dia jadi tersentuh dengan kebaikan Rara.”
Rara tidak terlalu mengerti
dengan ucapan ibu.
“Besok apa yang harus Rara
lakukan?” tanya Rara kemudian.
Sambil tersenyun ibu menjawab, “Bersikap
sebagaimana seorang teman.”
Keesokan harinya di sekolah, tidak
ada hal istimewa yang terjadi. Dan hari-hari berikutnya juga tidak berbeda.
Hanya saja, sekarang Gilang tidak pernah mengganggu Rara lagi. Rencana untuk
berteman dengan Gilang nampaknya tidak berhasil. Tetapi Rara senang karena
Gilang juga tidak pernah menjailinya lagi.
Suatu malam ketika Rara sedang
santai membaca buku cerita favoritnya, ibu mendekatinya. Dan tanpa terencana,
mereka akhirnya mengobrol tentang kejadian Rara dan kenakalan Gilang.
“Rara tidak berhasil berteman
dengan Gilang. Tapi setidaknya ia tidak lagi suka mengganggu Rara,” kata Rara.
“Tidak berteman? Ibu rasa, Rara
dan Gilang sudah berteman baik,” sahut ibu.
“Benarkah?” tanya Rara tak
percaya. Mengobrol dengan Gilang pun tidak pernah. Bagaimana bisa disebut
berteman baik?
“Berteman baik bukan berarti
harus bermain bersama-sama. Atau kemana-mana selalu bersama. Berteman baik bisa
berarti tidak mengganggu atau menyakiti satu sama lain, memaafkan bila ada yang
berbuat salah, tidak saling iri hati, menghormati perbedaan. Dan yang sangat
penting, mendoakan satu sama lain,” kata ibu.
Rara merenungkan kata-kata ibu
barusan.
Ibu melanjutkan kembali. “Walaupun
Rara dan Gilang tidak lantas menjadi kawan sepermainan, tapi coba lihat Gilang
sekarang. Dia tidak mau mengganggu Rara lagi. Coba tebak kenapa?”
“Kenapa?” Rara balik bertanya.
“Karena Rara sekarang adalah
sahabatnya. Gilang tidak mau menyakiti sahabatnya sendiri,” jawab ibu.
Rara tersenyum mendengarnya. Ia
lalu merangkul ibu erat dan berbisik, “Terima kasih, Bu.”
Cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment