Tuesday, 31 January 2017

PUISI DIDIK

ilustrasi-cerita-anak-puisi-didik

Cerita Anak

Sudah beberapa hari ini Didik terlihat sedang memikirkan sesuatu. Akhirnya ibu pun menanyai anak laki-lakinya itu.

“Didik, kamu lagi mikirin apa? Kok kelihatannya bingung? Jangan-jangan, kamu mikirin sepatu bolamu yang rusak, ya?”

“Tidak, Bu. Sepatunya memang sedikit rusak. Tapi masih bisa diperbaiki, kok. Nanti akan Didik bawa ke tukang sepatu.”

“Tidak mau sepatu baru?” tanya ibu.

“Itu sepatu favorit Didik,” jawab Didik.

“Hmmm… ya sudah. Jadi, kalau bukan mikirin sepatu bola, Didik lagi mikirin apa?”

“Ng… begini, Bu. Pak Guru memberi PR membuat puisi. Didik bingung harus menulis apa. Didik kan tidak pandai menulis puisi,” jawab Didik.

“Kamu tulis saja semua yang terlintas di kepalamu. Nanti kalau sudah selesai, kamu baca dan perbaiki kalau perlu,” saran ibu.

Didik manggut-manggut. Namun ia masih bingung. Akhirnya ibu berkata,

“Coba tanya pada Pak Guru. Mungkin ia punya saran cara membuat puisi yang baik.”

“Baiklah, Bu,” jawab Didik.

Sesuai saran ibu, keesokannya di sekolah Didik pun menemui Pak Guru. Mendengar kebingungan Didik, Pak Guru malah tersenyum geli.

“Sudah tiga hari dan kamu masih belum dapat ide mau membuat puisi tentang apa?” tanya Pak Guru.

Dengan malang Didik mengangguk. Ia masih belum berhasil menuliskan bahkan satu kata pun. Padahal tugas membuat puisi harus dikumpulkan besok.

Pak Guru menelengkan kepalanya sedikit. Ia menggaruk-garuk dagunya sambil berpikir. Setelah beberapa detik yang menggelisahkan bagi Didik, Pak Guru pun berseru,

“Aha! Bapak punya ide!”

Senyum Didik sontak terkembang lebar. Pak Guru memang guru yang kompeten!

Dengan penuh perhatian Didik pun mendengarkan saran dari Pak Guru. Setelah mendengarkan, muncul kerutan di dahi Didik. Keraguan terbayang jelas di wajahnya. Dengan tak yakin ia menatap Pak Guru. Namun wajah Pak Guru tampak berseri-seri. Dengan yakin, Pak Guru mengangguk mantap.

“Ng… baiklah, Pak,” kata Didik akhirnya.

Sekali lagi Pak Guru mengangguk mantap.

“Oh, ya,” kata Pak Guru seperti baru teringat sesuatu. “Bapak akan bantu membuatkan judul untuk puisimu, oke?”

“Ng… oke, Pak,” jawab Didik ragu-ragu.

Meski tidak yakin saran dari Pak Guru akan berhasil, Didik tetap mencobanya. Bagaimana lagi, besok tugas membuat puisi sudah harus dikumpulkan.

Malam harinya, Didik pun selesai membuat PR puisinya. Walau sudah dibaca berulang kali, Didik tetap saja merasa kalau puisinya aneh.

“Seharusnya puisi itu indah. Tapi puisiku kok tidak,” gumam Didik lesu. “Ah, sudahlah. Mungkin aku memang tidak berbakat,” desah Didik dan memutuskan untuk menutup buku PR-nya dan segera pergi tidur.

Sewaktu mengumpulkan puisinya keesokan hari di sekolah, Didik jadi gugup. Ia merasa malu. Pak Guru sudah berusaha membantunya. Tetapi Didik merasa tidak berhasil menuliskan puisi yang indah dan penuh makna. Hanya deretan kata-kata biasa.

Ketika akhirnya Didik menyerahkan buku PR-nya, Pak Guru berkata,

“Sekarang giliran Bapak.”

Sesuai kesepakatan mereka, Pak Guru yang akan memberi judul untuk puisi Didik. Didik pasrah saja tentang pendapat Pak Guru akan puisinya.

Sekolah hari itu pun berakhir. Buku PR puisi sudah dikembalikan ke setiap murid. Didik tidak berani membuka bukunya. Khawatir akan melihat ponten merah di sana. Namun yang membuat Didik resah bukan itu saja. Tadi sebelum bel pulang berbunyi, Pak Guru berpesan agar semua murid menyerahkan hasil puisi mereka kepada orangtua masing-masing. Pak Guru meminta semua murid untuk mendiskusikan puisi mereka dengan orang tua masing-masing.

Dengan pasrah, setibanya di rumah, Didik pun menyerahkan buku PR-nya kepada ibu. Didik menjelaskan pesan Pak Guru untuk mendiskusikan puisi tersebut.

Saat ibu membaca puisi itu dalam hati, Didik hampir-hampir tidak bernapas saking gugupnya.

“Hmmm…” gumam ibu sambil menimbang-nimbang. “Ibu tidak punya pengetahuan tentang puisi. Tapi, setelah membaca puisi yang Didik tulis, rasanya ibu jadi terharu.”

Didik membelalakkan matanya. Terharu? Tunggu dulu, apa karena ibu merasa kasihan puisi Didik terlampau jelek?

Sekali lagi ibu membaca puisi itu. Namun kali ini dengan suara yang terdengar oleh Didik. Begini bunyinya:

Aku sudah tua dan lusuh
Namun aku sudah menemanimu
Dari sedikit banyak kekalahanmu
Hingga sedikit banyak kemenanganmu

Bila suatu hari nanti
Aku sudah tak mampu berlari
Engkau dapat menggantiku
Dengan yang baru

Engkau tidak perlu bersedih
Aku juga begitu
Tak perlu disayangkan
Semua memang berakhir jadi kenangan

Sahabat
Karya: Didik

Sahabat? Jadi Pak Guru memberi judul “Sahabat” untuk puisiku, kata Didik dalam hati.

“Sepertinya, Didik memang seorang sahabat sejati,” komentar ibu sambil tersenyum.

“Ah, tidak begitu, Bu,” kata Didik. Ragu-ragu akhirnya Didik pun menjelaskan. “Ibu tahu tidak, puisi yang Didik tulis, sebetulnya tidak bermakna apa-apa. Puisi itu sebetulnya, ng…. cuma… puisi tentang sepatu bola.”

“Sepatu bola?” ulang ibu tak yakin.

Didik pun menceritakan bagaimana puisi tentang sepatu bola itu bermula.

Sewaktu Didik meminta saran dari Pak Guru tentang menulis puisi, Pak Guru berkata,

“Coba pikirkan sesuatu yang kamu sukai.”

Yang paling disukai Didik saat ini adalah bermain bola. Namun rasanya Didik tak akan bisa membuat puisi yang indah yang isinya tentang bermain bola.

“Benda apa yang paling kamu sukai dari permainan bola?” tanya Pak Guru.

“Benda yang paling disukai? Saya punya sepatu bola favorit,” jawab Didik ragu.

“Aha!” seru Pak Guru, mengejutkan Didik. “Andai kamu adalah sepatu bola, terutama sepatu bola favorit, apa yang ingin kamu sampaikan pada pemilikmu?”

Ditanya begitu, Didik kebingungan menjawabnya. Andaikan dirinya sepatu bola?

“Ya, tulislah sesuatu. Tentang dirimu atau sesuatu yang ingin kamu sampaikan pada dirimu, tapi dari sudut pandang sepatu bola favoritmu,” kata Pak Guru yakin.

Dan akhirnya, jadilah puisi Didik. Dan sesuai dengan kesepakatan, Pak Guru yang memberi judul puisi tersebut.

Setelah mendengar cerita ini, senyuman terkembang lebar di wajah Ibu.

“Pak Guru memang orang yang luar biasa, ya?” kata ibu. “Dan soal sepatu bola itu, rasanya tidak salah memanggilnya sahabat. Ia kan sudah menemani Didik dalam banyak permainan dan pertandingan. Mau makhluk hidup ataupun benda mati, semuanya memang harus diperlakukan dengan baik.”

“Ibu benar,” kata Didik, balas tersenyum.

“Ibu rasa, hal yang membuat sebuah puisi menjadi indah, karena ditulis dengan perasaan tulus dan jujur.”

Didik merenungkan kata-kata ibu. Mungkin saja benar. Didik tidak terlalu paham maksud ibu. Namun yang jelas, Didik sangat bersyukur memiliki guru seperti Pak Guru, memiliki ibu seperti ibu. Oh, ya, Didik juga bersyukur ia punya sepatu bola seperti sepatu bola favoritnya.


Cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment