Cerita Anak
Sudah beberapa hari ini Didik terlihat sedang memikirkan sesuatu. Akhirnya ibu pun menanyai anak laki-lakinya itu.
“Didik, kamu lagi mikirin apa?
Kok kelihatannya bingung? Jangan-jangan, kamu mikirin sepatu bolamu yang rusak,
ya?”
“Tidak, Bu. Sepatunya memang
sedikit rusak. Tapi masih bisa diperbaiki, kok. Nanti akan Didik bawa ke tukang
sepatu.”
“Tidak mau sepatu baru?” tanya
ibu.
“Itu sepatu favorit Didik,” jawab
Didik.
“Hmmm… ya sudah. Jadi, kalau
bukan mikirin sepatu bola, Didik lagi mikirin apa?”
“Ng… begini, Bu. Pak Guru memberi PR membuat puisi. Didik bingung harus menulis apa. Didik kan tidak pandai menulis puisi,” jawab Didik.
“Kamu tulis saja semua yang terlintas di kepalamu. Nanti kalau sudah selesai, kamu baca dan perbaiki kalau perlu,” saran ibu.
Didik manggut-manggut. Namun ia masih bingung. Akhirnya ibu berkata,
“Coba tanya pada Pak Guru. Mungkin ia punya saran cara membuat puisi yang baik.”
“Baiklah, Bu,” jawab Didik.
Sesuai saran ibu, keesokannya di sekolah Didik pun menemui Pak Guru. Mendengar kebingungan Didik, Pak Guru malah tersenyum geli.
“Sudah tiga hari dan kamu masih belum dapat ide mau membuat puisi tentang apa?” tanya Pak Guru.
Dengan malang Didik mengangguk.
Ia masih belum berhasil menuliskan bahkan satu kata pun. Padahal tugas membuat
puisi harus dikumpulkan besok.
Pak Guru menelengkan kepalanya
sedikit. Ia menggaruk-garuk dagunya sambil berpikir. Setelah beberapa detik
yang menggelisahkan bagi Didik, Pak Guru pun berseru,
“Aha! Bapak punya ide!”
Senyum Didik sontak terkembang
lebar. Pak Guru memang guru yang kompeten!
Dengan penuh perhatian Didik pun
mendengarkan saran dari Pak Guru. Setelah mendengarkan, muncul kerutan di dahi
Didik. Keraguan terbayang jelas di wajahnya. Dengan tak yakin ia menatap Pak
Guru. Namun wajah Pak Guru tampak berseri-seri. Dengan yakin, Pak Guru
mengangguk mantap.
“Ng… baiklah, Pak,” kata Didik
akhirnya.
Sekali lagi Pak Guru mengangguk
mantap.
“Oh, ya,” kata Pak Guru seperti
baru teringat sesuatu. “Bapak akan bantu membuatkan judul untuk puisimu, oke?”
“Ng… oke, Pak,” jawab Didik
ragu-ragu.
Meski tidak yakin saran dari Pak
Guru akan berhasil, Didik tetap mencobanya. Bagaimana lagi, besok tugas membuat
puisi sudah harus dikumpulkan.
Malam harinya, Didik pun selesai
membuat PR puisinya. Walau sudah dibaca berulang kali, Didik tetap saja merasa
kalau puisinya aneh.
“Seharusnya puisi itu indah. Tapi
puisiku kok tidak,” gumam Didik lesu. “Ah, sudahlah. Mungkin aku memang tidak
berbakat,” desah Didik dan memutuskan untuk menutup buku PR-nya dan segera
pergi tidur.
Sewaktu mengumpulkan puisinya
keesokan hari di sekolah, Didik jadi gugup. Ia merasa malu. Pak Guru sudah
berusaha membantunya. Tetapi Didik merasa tidak berhasil menuliskan puisi yang
indah dan penuh makna. Hanya deretan kata-kata biasa.
Ketika akhirnya Didik menyerahkan
buku PR-nya, Pak Guru berkata,
“Sekarang giliran Bapak.”
Sesuai kesepakatan mereka, Pak
Guru yang akan memberi judul untuk puisi Didik. Didik pasrah saja tentang
pendapat Pak Guru akan puisinya.
Sekolah hari itu pun berakhir.
Buku PR puisi sudah dikembalikan ke setiap murid. Didik tidak berani membuka
bukunya. Khawatir akan melihat ponten merah di sana. Namun yang membuat Didik
resah bukan itu saja. Tadi sebelum bel pulang berbunyi, Pak Guru berpesan agar
semua murid menyerahkan hasil puisi mereka kepada orangtua masing-masing. Pak
Guru meminta semua murid untuk mendiskusikan puisi mereka dengan orang tua
masing-masing.
Dengan pasrah, setibanya di
rumah, Didik pun menyerahkan buku PR-nya kepada ibu. Didik menjelaskan pesan
Pak Guru untuk mendiskusikan puisi tersebut.
Saat ibu membaca puisi itu dalam
hati, Didik hampir-hampir tidak bernapas saking gugupnya.
“Hmmm…” gumam ibu sambil menimbang-nimbang.
“Ibu tidak punya pengetahuan tentang puisi. Tapi, setelah membaca puisi yang
Didik tulis, rasanya ibu jadi terharu.”
Didik membelalakkan matanya.
Terharu? Tunggu dulu, apa karena ibu merasa kasihan puisi Didik terlampau
jelek?
Sekali lagi ibu membaca puisi
itu. Namun kali ini dengan suara yang terdengar oleh Didik. Begini bunyinya:
Aku sudah tua dan lusuh
Namun aku sudah menemanimu
Dari sedikit banyak kekalahanmu
Hingga sedikit banyak kemenanganmu
Bila suatu hari nanti
Aku sudah tak mampu berlari
Engkau dapat menggantiku
Dengan yang baru
Engkau tidak perlu bersedih
Aku juga begitu
Tak perlu disayangkan
Semua memang berakhir jadi kenangan
Sahabat
Karya: Didik
Sahabat? Jadi Pak Guru memberi
judul “Sahabat” untuk puisiku, kata Didik dalam hati.
“Sepertinya, Didik memang seorang
sahabat sejati,” komentar ibu sambil tersenyum.
“Ah, tidak begitu, Bu,” kata
Didik. Ragu-ragu akhirnya Didik pun menjelaskan. “Ibu tahu tidak, puisi yang
Didik tulis, sebetulnya tidak bermakna apa-apa. Puisi itu sebetulnya, ng….
cuma… puisi tentang sepatu bola.”
“Sepatu bola?” ulang ibu tak
yakin.
Didik pun menceritakan bagaimana
puisi tentang sepatu bola itu
bermula.
Sewaktu Didik meminta saran dari
Pak Guru tentang menulis puisi, Pak Guru berkata,
“Coba pikirkan sesuatu yang kamu
sukai.”
Yang paling disukai Didik saat
ini adalah bermain bola. Namun rasanya Didik tak akan bisa membuat puisi yang
indah yang isinya tentang bermain bola.
“Benda apa yang paling kamu sukai
dari permainan bola?” tanya Pak Guru.
“Benda yang paling disukai? Saya
punya sepatu bola favorit,” jawab Didik ragu.
“Aha!” seru Pak Guru, mengejutkan
Didik. “Andai kamu adalah sepatu bola, terutama sepatu bola favorit, apa yang
ingin kamu sampaikan pada pemilikmu?”
Ditanya begitu, Didik kebingungan
menjawabnya. Andaikan dirinya sepatu bola?
“Ya, tulislah sesuatu. Tentang
dirimu atau sesuatu yang ingin kamu sampaikan pada dirimu, tapi dari sudut
pandang sepatu bola favoritmu,” kata Pak Guru yakin.
Dan akhirnya, jadilah puisi
Didik. Dan sesuai dengan kesepakatan, Pak Guru yang memberi judul puisi
tersebut.
Setelah mendengar cerita ini,
senyuman terkembang lebar di wajah Ibu.
“Pak Guru memang orang yang luar
biasa, ya?” kata ibu. “Dan soal sepatu bola itu, rasanya tidak salah
memanggilnya sahabat. Ia kan sudah menemani Didik dalam banyak permainan dan
pertandingan. Mau makhluk hidup ataupun benda mati, semuanya memang harus
diperlakukan dengan baik.”
“Ibu benar,” kata Didik, balas
tersenyum.
“Ibu rasa, hal yang membuat
sebuah puisi menjadi indah, karena ditulis dengan perasaan tulus dan jujur.”
Didik merenungkan kata-kata ibu.
Mungkin saja benar. Didik tidak terlalu paham maksud ibu. Namun yang jelas, Didik
sangat bersyukur memiliki guru seperti Pak Guru, memiliki ibu seperti ibu. Oh,
ya, Didik juga bersyukur ia punya sepatu bola seperti sepatu bola favoritnya.
Cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
Cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment