Dongeng
Panas udara begitu menyengat. Dengan kepala yang
terasa sedikit pening karena panas yang menyentak, Kumo melompat turun dari
tempat tidur. Mengambil tikar yang disimpan di gudang, lalu menggelarnya di
lantai.
Sambil merebahkan diri di atas tikar tersebut, Kumo
menatap langit-langit di atasnya. Sedetik saja. Kumo langsung bangkit.
Ditariknya tikar di bawahnya, dan ia pun merebahkan tubuh di atas lantai, tak
beralaskan apapun.
Ini bukan siang hari, kenapa panasnya begitu
menyengat? Kumo
membatin. Sementara keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya.
Tidur di lantai pun tidak membuatnya merasa lebih
baik. Udara panas dari lantai seperti mengigit-gigit punggungnya.
"Ini tidak wajar!" desah Kumo. Ia bangkit
berdiri. Sesuatu tentu sedang terjadi. Adakah manusia sudah begitu dahsyat
merusak alam? Agak tergesa-gesa Kumo membuka jendela kamar tidurnya. Dan
seketika Kumo ternganga keheranan.
"Matahari!" jeritnya tertahan. Eh, tunggu
dulu. Matahari tidak pernah seperti itu...
Sesuatu yang bersinar yang sekarang berada
berhadap-hadapan dengan Kumo, cahayanya seperti matahari. Namun itu jelas bukan
matahari. Matahari tidak pernah sekecil dan sedekat itu. Dengan jantung yang
tiba-tiba berdetak lebih cepat, Kumo perlahan menjulurkan tangannya yang agak
gemetar. Rasa panas terasa semakin menyengat. Kumo cemas kulitnya terbakar.
Namun rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.
Sebelum tangan Kumo mencapai cahaya itu, ia dikejutkan
oleh sebuah suara. Kumo tersentak kaget dan spontan menarik kembali tangannya.
"Aku memang matahari," cahaya itu berbicara.
"Jangan menatapku dengan mulut terbuka begitu, bikin tersinggung saja. Aku
ini memang matahari, meski aku sangat kecil."
"T-t-t-t-t-t-tapi...." Kumo terbata.
"Jangan khawatir."
'B-b-bukannya matahari itu seharusnya--"
"Menerangi dunia," potong Matahari cepat.
Kumo masih saja ternganga. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan."
"Lalu...." Kumo berusaha keras menjadikan
apa yang sedang dihadapinya saat ini masuk akal.
"Lalu apa?" tanya Matahari. Kemudian
sambungnya, "Sebetulnya maksud kedatanganku kemari, aku hanya ingin
menyampaikan keluh-kesahku."
"K-k-k-k-kkeluh-kesah?" ulang Kumo, ragu
dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Iya. Meskipun aku ini matahari, besar dan
menerangi dunia, tetapi aku punya... sedikit kegalauan," kata Matahari,
suaranya terdengar malu-malu.
Ini sungguh aneh. Kumo sampai berpikir bahwa dia sudah
gila. Bagaimana bisa matahari saat ini sedang curhat dengannya?
"Aku... aku hanya ingin disayangi."
Tenggorokan Kumo tiba-tiba tercekat. Apa-apaan ini?
"Tidak! Jangan berprasangka buruk padaku.
Sebetulnya bukan aku saja. Teman-temanku juga begitu."
"Teman-teman?" ulang Kumo tak yakin.
"Iya. Teman-temanku. Laut, tanah, pohon, awan...
kami semua ingin disayangi."
"Maksudmu?" tanya Kumo lambat-lambat. Dia
belum menangkap maksud perkataan Matahari.
"Kami semua hanya ingin disayangi. Jangan
bermusuhan dengan kami. Aku tahu kamu manusia yang baik. Aku mohon, sebarkanlah
kebaikanmu pada manusia yang lain. Agar kalian semua sama-sama dapat menyayangi
kami"
"Kenapa kamu sampai berkata begitu?"
"Aku hanya ingin kebaikan. Aku sedih melihat
temanku Laut, sampai meluap marah pada kalian. Aku juga sedih ketika melihat
Gunung meletuskan amarahnya. Sayangilah kami. Seperti kami menyayangi
kalian."
Kali ini Kumo tidak bisa berbicara sama sekali.
Pikirannya campur aduk.
"Besok pagi aku akan bersinar kembali.
Bersahabatlah dengan kami."
Perlahan Matahari memudarkan cahayanya, dan akhirnya
menghilang sama sekali. Tinggallah kegelapan yang selayaknya sedang menyelimuti
malam.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment