Dongeng
INI adalah kisah tentang seekor kumbang beras bernama Oris yang terlahir cacat namun tak pernah menyerah. Ia tinggal di dalam sebuah stoples beras di laboratorium Medan Elektromagnetik Biologi Efek suatu universitas. Meski cacat, Oris sangat bangga pada dirinya karena ia memiliki antena yang luar biasa dibanding kumbang beras-kumbang beras lainnya. Tetapi ia paling benci pada manusia karena sering menyebutnya kutu.“Aku ini kumbang. Dan kumbang kedengarannya lebih jantan.”
Kumbang beras lain yang betina menatap mencemooh mendengarnya.
“Kau itu hama ,”
Zae temannya menimpali.
“Aku ini memang hama .
Hampir setiap lubang di bulir beras, aku yang membuatnya. Meski antenaku cuma
satu, tapi kau tahu bagaimana ia berfungsi.”
“Ya, ya,” sahut Zae tak peduli.
Oris dan Zae juga teman-teman mereka yang lain tinggal di dalam stoples
yang diisi satu kilo beras di dalam sebuah laboratorium. Di dalam ruangan itu
ada sembilan stoples lain tempat tinggal kumbang beras lainnya. Apabila pagi
menjelang, seorang manusia akan mengeluarkan mereka dari stoples dan
memindahkan mereka satu per satu ke dalam tabung kosong sambil mencatat: Jantan
Dewasa; Betina Dewasa, Anak Jantan, Anak Betina. Oris paling tidak suka
sementara mereka didata, mereka dipindahkan ke dalam tabung. Disana tidak ada
beras untuk dilubangi. Dan disana mereka jadi bertumpuk dan saling
tindih-menindih karena tabungnya kecil. Seperti pagi itu, ketika Oris, Zae dan
Arthro bertumpuk jadi satu dengan Oris paling bawah dan Arthro paling atas.“Dia sebenarnya ngapain, sih?” tanya Zae, menatap si manusia dengan
ekspresi tolol. “Apa yang ingin dilakukannya pada beras sampai kita harus dikeluarkan
dari stoples?”
“Zae, kamu kan
tinggal lihat, lalu cerna,” timpal Oris. “Yang sedang ia lakukan bukan terhadap
beras, tapi terhadap kita, kumbang beras.”
“Si peneliti,” gumam Arthro. “Lihat-lihat!” serunya tiba-tiba. “Dia
menggoyangkan alat itu lagi ke stoples kita!”
Antena Oris berdenging menandakan si peneliti adalah musuh. Sementara Zae
memelototkan mata memandang si peneliti, lalu mencoba mencerna seperti kata Oris
tadi.
“Aku masih nggak ngerti apa yang dilakukannya. Dia mengeluarkan kita dari
stoples. Lalu berasnya dikeluarkan juga. Dan sekarang, mereka memasukkan benda
itu ke dalam stoples. Apa benda itu semacam binatang kaku pengganti kita? Apa
sih artinya? Bahkan... aku tadi bertanya apa, ya? Sepertinya sesuatu yang
panjang dan lebar dan aku sendiri nggak ngerti?” oceh Zae. Oris mendengus
jengkel.
“Kita ini objek penelitian,” katanya, mencoba bersabar.
“Lalu, apa hubungannya dengan stoples? Dan benda itu siapa?” tanya Zae,
masih tak paham.
“Bukan siapa, tapi apa. Itu alat ukur. Manusia itu sedang mengukur
seberapa kuat sengatan yang ia berikan pada kita,” jawab Oris.
“Sengatan? Kamu ini bicara apa, sih? Kok aku makin nggak ngerti. Coba
Arthro saja yang jelasin,” kata Zae. Oris mendengus marah.
“Kita ini memang sedang disengat dengan suatu gelombang yang tidak bisa
dilihat mata,” kata Arthro, tatapannya kosong. Jika begitu, biasanya ia sedang
merenungkan sesuatu.
“Seperti antena transparan?” tanya Zae.
“Kan
nggak kelihatan, mana tahu!” timpal Oris ketus.
“Si peneliti itu sedang meneliti bagaimana cara terbaik membasmi kita
dengan gelombang tak kasat mata,” gumam Arthro.
“Membasmi?” ulang Zae terkejut.
“Kamu sendiri yang bilang, kita ini hama ,”
sindir Oris. “Kalau aku, tetap pada pendirianku. Kumbang, kumbang beras! Dan
aku kumbang beras pekerja keras. Lihat seberapa banyak kerusakan beras yang
aku—““Ya, ya,” potong Zae tak acuh.
“Si peneliti ingin melindungi beras mereka dari kerusakan,” kata Arthro.
“Dan aku ingin melindungi larva-larva dari kerusakan gelombang tak kasat
mata,” kata Oris geram.
“Kamu kan
nggak tahu caranya,” ejek Zae. Oris tidak menjawab. Dengan tiba-tiba ia
bergerak sehingga Zae dan Arthro yang berada di atasnya terjatuh.
“Aku nggak mau larva itu jadi kumbang beras yang cacat,” kata Oris kaku.
Mendengarnya Zae terenyak dan langsung menyusul Oris untuk minta maaf dan
menghiburnya. Sementara Arthro tidak sadar kalau Oris dan Zae sudah tidak lagi
di bawahnya. Ia tenggelam dalam renungannya.
Seperti kata Zae, Oris memang tidak tahu bagaimana caranya menyelamatkan populasi
mereka dari ancaman gelombang tak kasat mata. Tetapi ia tetap berusaha. Ia
mengajari kumbang beras lain untuk melarikan diri saat proses pemindahan dari
stoples ke tabung. Ia ingin agar semua kumbang beras mengosongkan stoples
berbahaya itu.
“Lompat dari tangan si peneliti, lalu buru-buru cari tempat yang sempit
dan tak terjangkau jari si peneliti yang besar.”
Dan suatu ketika, Zae pun berhasil melakukannya. Teman karib Oris sekarang
tinggal Arthro. Meski Arthro sangat baik dan tidak nakal seperti Zae, Oris tetap
merindukan Zae. Kalau bersama Arthro, yang mereka lakukan kebanyakan merenung.
Kalau ada Zae, akan lebih banyak tawa dan ejekan.
Banyak kumbang yang berhasil melarikan diri dan populasi kumbang terus
meningkat.
“Populasi kita makin banyak. Aku senang sekali percobaan si peneliti
banyak sekali mengalami kegagalan,” kata Oris pada Arthro.
“Kurasa kalau kita tidak disengat gelombang tak kasat mata, jumlah kita
akan jauh lebih banyak. Dan aku merasakan sesuatu yang lain hari ini. Si
peneliti menambah sengatannya.”
Mungkin Arthro benar, pikir Oris. Memang banyak yang berhasil pergi,
tetapi banyak juga yang tertangkap lagi Dan anak kumbang beras yang cacat juga
makin banyak, atau bahkan mati. Namun Oris yang ulet dan tabah tidak berputus
asa. Di malam hari ia melubangi bulir beras sebanyak mungkin, dan di siang hari
saat proses pemindahan ke tabung, ia membantu kumbang-kumbang lain, terutama
yang cacat, untuk melarikan diri.
Suatu hari yang mengejutkan Oris. Zae kembali! Bukan karena ia tertangkap
dan dikembalikan ke stoples lagi oleh peneliti. Tetapi Zae yang memutuskan
untuk kembali. Oris jengkel sekaligus senang.
“Yah, aku nggak bisa meninggalkan kalian berdua disini,” ujar Zae pada Oris
dan Arthro. “Kenapa kamu belum melarikan diri? Kamu kan yang mengajari kami caranya.”
Oris tidak bisa melakukannya. Ia takkan meninggalkan stoples sebelum ia
menjadi penghuni terakhir semua stoples. Maka Zae memutuskan untuk tinggal
menemani Oris dan Arthro. Bersama mereka berjuang membantu kumbang beras lain
melarikan diri.
“Aku senang, si peneliti tak pernah tahu kalau setiap saat aku
mengatainya,” kata Oris, suatu malam saat ia kelelahan sehabis melubangi
seratus bulir beras.
“Ya, mungkin karena kaki mereka bukan di dada,” sahut Zae.
“Bukan begitu,” kata Arthro. “Itu karena badan mereka vertikal.” Oris dan
Zae sontak menatapnya bingung.
“Kita ini panjang mendatar, seperti serangga-serangga atau binatang
lainnya. Cuma manusia yang berjalan dengan kepala di atas.”
“Dan si peneliti ini,” saumbung Zae, “ia pasti cacat, kakinya cuma dua.”
“Kamu menyindirku?” desis Oris, antenanya mulai bergerak-gerak marah.
“Tapi antenamu keren,” kata Zae lalu terkekeh-kekeh. Mau tak mau Oris ikut
tertawa. Bahkan kali ini Arthro tidak sedang dalam renungannya.
Waktu terus bergulir. Walaupun si peneliti terus-menerus menyengat mereka
dengan gelombang tak kasat mata, Oris dan kedua sahabatnya tetap ulet melubangi
beras dan membantu pelarian kumbang beras lain. Hingga Oris berusia empat puluh
tiga hari, dan ia dikeluarkan dari dalam stoples oleh si peneliti. Si peneliti
mencoretkan sesuatu pada buku catatannya—satu lagi kumbang jantan dewasa mati.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
cerita & ilustrasi oleh Angewid
Mengingatkan masa2 si kumbang beras dulunya. Nice story, surprise for my friend's art sense...^_^
ReplyDeleteTrims :D
Delete