Tuesday, 6 August 2013

ORIS SI KUMBANG BERAS

ilustrasi-dongeng-cerita-anak-bergambar



Dongeng

INI adalah kisah tentang seekor kumbang beras bernama Oris yang terlahir cacat namun tak pernah menyerah. Ia tinggal di dalam sebuah stoples beras di laboratorium Medan Elektromagnetik Biologi Efek suatu universitas. Meski cacat, Oris sangat bangga pada dirinya karena ia memiliki antena yang luar biasa dibanding kumbang beras-kumbang beras lainnya. Tetapi ia paling benci pada manusia karena  sering menyebutnya kutu.

“Aku ini kumbang. Dan kumbang kedengarannya lebih jantan.”

Kumbang beras lain yang betina menatap mencemooh mendengarnya.

“Kau itu hama,” Zae temannya menimpali.

“Aku ini memang hama. Hampir setiap lubang di bulir beras, aku yang membuatnya. Meski antenaku cuma satu, tapi kau tahu bagaimana ia berfungsi.”

“Ya, ya,” sahut Zae tak peduli.

Oris dan Zae juga teman-teman mereka yang lain tinggal di dalam stoples yang diisi satu kilo beras di dalam sebuah laboratorium. Di dalam ruangan itu ada sembilan stoples lain tempat tinggal kumbang beras lainnya. Apabila pagi menjelang, seorang manusia akan mengeluarkan mereka dari stoples dan memindahkan mereka satu per satu ke dalam tabung kosong sambil mencatat: Jantan Dewasa; Betina Dewasa, Anak Jantan, Anak Betina. Oris paling tidak suka sementara mereka didata, mereka dipindahkan ke dalam tabung. Disana tidak ada beras untuk dilubangi. Dan disana mereka jadi bertumpuk dan saling tindih-menindih karena tabungnya kecil. Seperti pagi itu, ketika Oris, Zae dan Arthro bertumpuk jadi satu dengan Oris paling bawah dan Arthro paling atas.“Dia sebenarnya ngapain, sih?” tanya Zae, menatap si manusia dengan ekspresi tolol. “Apa yang ingin dilakukannya pada beras sampai kita harus dikeluarkan dari stoples?”

“Zae, kamu kan tinggal lihat, lalu cerna,” timpal Oris. “Yang sedang ia lakukan bukan terhadap beras, tapi terhadap kita, kumbang beras.”

“Si peneliti,” gumam Arthro. “Lihat-lihat!” serunya tiba-tiba. “Dia menggoyangkan alat itu lagi ke stoples kita!”

Antena Oris berdenging menandakan si peneliti adalah musuh. Sementara Zae memelototkan mata memandang si peneliti, lalu mencoba mencerna seperti kata Oris tadi.

“Aku masih nggak ngerti apa yang dilakukannya. Dia mengeluarkan kita dari stoples. Lalu berasnya dikeluarkan juga. Dan sekarang, mereka memasukkan benda itu ke dalam stoples. Apa benda itu semacam binatang kaku pengganti kita? Apa sih artinya? Bahkan... aku tadi bertanya apa, ya? Sepertinya sesuatu yang panjang dan lebar dan aku sendiri nggak ngerti?” oceh Zae. Oris mendengus jengkel.

“Kita ini objek penelitian,” katanya, mencoba bersabar.

“Lalu, apa hubungannya dengan stoples? Dan benda itu siapa?” tanya Zae, masih tak paham.

“Bukan siapa, tapi apa. Itu alat ukur. Manusia itu sedang mengukur seberapa kuat sengatan yang ia berikan pada kita,” jawab Oris.

“Sengatan? Kamu ini bicara apa, sih? Kok aku makin nggak ngerti. Coba Arthro saja yang jelasin,” kata Zae. Oris mendengus marah.

“Kita ini memang sedang disengat dengan suatu gelombang yang tidak bisa dilihat mata,” kata Arthro, tatapannya kosong. Jika begitu, biasanya ia sedang merenungkan sesuatu.

“Seperti antena transparan?” tanya Zae.

Kan nggak kelihatan, mana tahu!” timpal Oris ketus.

“Si peneliti itu sedang meneliti bagaimana cara terbaik membasmi kita dengan gelombang tak kasat mata,” gumam Arthro.

“Membasmi?” ulang Zae terkejut.

“Kamu sendiri yang bilang, kita ini hama,” sindir Oris. “Kalau aku, tetap pada pendirianku. Kumbang, kumbang beras! Dan aku kumbang beras pekerja keras. Lihat seberapa banyak kerusakan beras yang aku—““Ya, ya,” potong Zae tak acuh.

“Si peneliti ingin melindungi beras mereka dari kerusakan,” kata Arthro.

“Dan aku ingin melindungi larva-larva dari kerusakan gelombang tak kasat mata,” kata Oris geram.

“Kamu kan nggak tahu caranya,” ejek Zae. Oris tidak menjawab. Dengan tiba-tiba ia bergerak sehingga Zae dan Arthro yang berada di atasnya terjatuh.

“Aku nggak mau larva itu jadi kumbang beras yang cacat,” kata Oris kaku. Mendengarnya Zae terenyak dan langsung menyusul Oris untuk minta maaf dan menghiburnya. Sementara Arthro tidak sadar kalau Oris dan Zae sudah tidak lagi di bawahnya. Ia tenggelam dalam renungannya.

Seperti kata Zae, Oris memang tidak tahu bagaimana caranya menyelamatkan populasi mereka dari ancaman gelombang tak kasat mata. Tetapi ia tetap berusaha. Ia mengajari kumbang beras lain untuk melarikan diri saat proses pemindahan dari stoples ke tabung. Ia ingin agar semua kumbang beras mengosongkan stoples berbahaya itu.

“Lompat dari tangan si peneliti, lalu buru-buru cari tempat yang sempit dan tak terjangkau jari si peneliti yang besar.”

Dan suatu ketika, Zae pun berhasil melakukannya. Teman karib Oris sekarang tinggal Arthro. Meski Arthro sangat baik dan tidak nakal seperti Zae, Oris tetap merindukan Zae. Kalau bersama Arthro, yang mereka lakukan kebanyakan merenung. Kalau ada Zae, akan lebih banyak tawa dan ejekan.

Banyak kumbang yang berhasil melarikan diri dan populasi kumbang terus meningkat.

“Populasi kita makin banyak. Aku senang sekali percobaan si peneliti banyak sekali mengalami kegagalan,” kata Oris pada Arthro.

“Kurasa kalau kita tidak disengat gelombang tak kasat mata, jumlah kita akan jauh lebih banyak. Dan aku merasakan sesuatu yang lain hari ini. Si peneliti menambah sengatannya.”

Mungkin Arthro benar, pikir Oris. Memang banyak yang berhasil pergi, tetapi banyak juga yang tertangkap lagi Dan anak kumbang beras yang cacat juga makin banyak, atau bahkan mati. Namun Oris yang ulet dan tabah tidak berputus asa. Di malam hari ia melubangi bulir beras sebanyak mungkin, dan di siang hari saat proses pemindahan ke tabung, ia membantu kumbang-kumbang lain, terutama yang cacat, untuk melarikan diri.

Suatu hari yang mengejutkan Oris. Zae kembali! Bukan karena ia tertangkap dan dikembalikan ke stoples lagi oleh peneliti. Tetapi Zae yang memutuskan untuk kembali. Oris jengkel sekaligus senang.

“Yah, aku nggak bisa meninggalkan kalian berdua disini,” ujar Zae pada Oris dan Arthro. “Kenapa kamu belum melarikan diri? Kamu kan yang mengajari kami caranya.”

Oris tidak bisa melakukannya. Ia takkan meninggalkan stoples sebelum ia menjadi penghuni terakhir semua stoples. Maka Zae memutuskan untuk tinggal menemani Oris dan Arthro. Bersama mereka berjuang membantu kumbang beras lain melarikan diri.

“Aku senang, si peneliti tak pernah tahu kalau setiap saat aku mengatainya,” kata Oris, suatu malam saat ia kelelahan sehabis melubangi seratus bulir beras.

“Ya, mungkin karena kaki mereka bukan di dada,” sahut Zae.

“Bukan begitu,” kata Arthro. “Itu karena badan mereka vertikal.” Oris dan Zae sontak menatapnya bingung.

“Kita ini panjang mendatar, seperti serangga-serangga atau binatang lainnya. Cuma manusia yang berjalan dengan kepala di atas.”

“Dan si peneliti ini,” saumbung Zae, “ia pasti cacat, kakinya cuma dua.”

“Kamu menyindirku?” desis Oris, antenanya mulai bergerak-gerak marah.

“Tapi antenamu keren,” kata Zae lalu terkekeh-kekeh. Mau tak mau Oris ikut tertawa. Bahkan kali ini Arthro tidak sedang dalam renungannya.

Waktu terus bergulir. Walaupun si peneliti terus-menerus menyengat mereka dengan gelombang tak kasat mata, Oris dan kedua sahabatnya tetap ulet melubangi beras dan membantu pelarian kumbang beras lain. Hingga Oris berusia empat puluh tiga hari, dan ia dikeluarkan dari dalam stoples oleh si peneliti. Si peneliti mencoretkan sesuatu pada buku catatannya—satu lagi kumbang jantan dewasa mati.

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

2 comments:

  1. Mengingatkan masa2 si kumbang beras dulunya. Nice story, surprise for my friend's art sense...^_^

    ReplyDelete