Dongeng
Sigit dan adiknya Arka sudah lama merasa ada sesuatu yang janggal dengan perpustakaan ini. Hari ini keanehan itu semakin terasa. Tiba-tiba saja penjaga perpustakaan mendekati mereka. Lalu dengan berbisik ia berkata,
“Perkebunan buku sedang masa sulit.
Panen buku gagal musim ini,” kata Bu Wedya si penjaga perpustakaan. Ia
tersenyum misterius.
“Perkebunan buku? Panen? Buku kan
dicetak di percetakan,” kata Sigit tak mengerti.
“Bukan begitu prosesnya,” protes Sigit.
Arka mengangguk sependapat.
“Benarkah? Kalian pernah lihat
sendiri prosesnya?” tantang Bu Wedya.
Sigit dan Arka terdiam. Mereka
tidak pernah melihat sendiri proses pencetakan buku. Tetapi tentu saja buku
tidak dipanen.
“Kalian tidak percaya? Tunggu
saja,” kata Bu Wedya makin misterius. Ia pun meninggalkan kakak beradik itu.
Keduanya bengong.
“Ah, sudahlah. Yuk, pulang saja.
Sudah sore,” ajak Sigit akhirnya. Arka menyetujui. Lagipula ia juga sudah
mendapatkan buku sejarah Samudra Pasai yang ia perlukan untuk PR-nya.
Mereka ke luar perpustakaan. Sigit
merogoh saku celananya mencari kunci sepedanya. Lalu ia merasa rusuknya
disikut Arka.
“Kenapa?”
Dan saat itulah ia menyadari
sesuatu.
“Kita di mana?” kata Arka dengan
suara tercekat.
Tiba-tiba saja mereka berada di
tempat lain. Ketika menoleh ke belakang, perpustakaan sudah tidak ada lagi.
Sekeliling mereka adalah hutan dengan pepohonan yang tidak biasa. Ada sesuatu
yang berbeda dengan hutan ini.
“Lihat!” tunjuk Arka.
Sigit dan Arka memandang penuh
takjub ke sekeliling mereka. Sungguh luar biasa! Sigit hendak mengatakan
sesuatu. Namun tak ada suara yang keluar. Dia begitu terpana dengan apa yang dilihatnya
saat ini.
“Pohonnya… pohonnya…” kata Arka
terbata.
“Pohonnya berbuah buku,” kata
Sigit akhirnya.
Memang benar. Di ujung tangkai
pepohonan itu tumbuh berbagai macam buku. Dengan bentuk dan warna yang
berbeda-beda. Sigit dan Arka penasaran. Mereka mendekati salah satu pohon untuk
melihat lebih dekat dan memastikan.
“Betul. Bukunya keluar dari
tangkainya,” kata Sigit.
“Seperti kata Bu Wedya,” kata
Arka. Dia dan kakaknya saling pandang.
Sigit membuka buku tersebut.
Ternyata isinya adalah buku dongeng. Mereka beralih ke pohon lain. Kali ini
mereka mendapati buku matematika sebagai buahnya. Di setiap pohon yang berbeda,
mereka juga menemukan buku yang berbeda pula. Bahkan mereka juga menemukan
pohon berbuah buku tulis.
“Asyik sekali kalau kita bisa tinggal
di sini. Kalau mau sebuah buku, tinggal petik saja dari pohon,” kata Arka.
“Pohon-pohon ini tentu ada yang punya,”
kata Sigit, tiba-tiba waspada. Mereka tidak tahu siapa yang membawa mereka
masuk ke sini. Tidak tahu pula apa tujuannya.
Keduanya pun bergerak perlahan.
Hutan ini sangat sunyi. Mereka tak menemui seekor binatang pun. Suara serangga
pun tak terdengar.
“Jangan-jangan, makhluk di sini
pun makhluk ajaib…” kata Sigit pelan.
“Ajaib bagaimana?” tanya Arka,
mendadak cemas.
“Entahlah.”
Hutan yang mereka lewati semakin
renggang. Pohon-pohon mulai berjarak jarang. Bahkan ada beberapa yang tampak
kering. Ada juga beberapa pohon kecil yang tumbang. Sedikit sekali pohon yang
berbuah buku di sini. Bahkan ada beberapa pohon yang bukunya terlihat kusut dan
kering.
“Kenapa di area sini hutannya tidak subur?” tanya
Arka. Sigit hanya mengangkat bahu. Ia juga tidak tahu.
Hutan terasa semakin sunyi.
Rasanya aneh sekali tidak mendengar suara binatang di dalam hutan. Apa mungkin
hutan ini tidak berpenghuni? Sigit dan Arka bertanya-tanya dalam hati.
Namun tiba-tiba telinga Sigit
menangkap sesuatu. Dia berhenti berjalan dan menahan Arka agar turut berhenti.
Ia ingin mendengar lebih saksama.
“Kamu dengar?” tanya sigit.
“Dengar apa?” balas Arka. Dia
agak ragu.
Ada sebuah suara yang terdengar
jauh. Mungkin teredam oleh semak dan pohon. Sigit mencoba mencari sumber suara.
Begitu juga Arka. Tak lama kemudian mereka sepakat. Suara itu berasal dari
balik semak di dekat pepohonan yang kering itu. Tak jauh dari mereka berada.
“Suaranya dari sana,” bisik Sigit. Pelan-pelan Dia dan Arka mendekati suara
itu.
“Sssst!” desis Sigit ketika Arka menginjak ranting kering.
Benar, suara itu berasal dari balik semak.
“Sekarang bagaimana?” bisik Arka. Rasanya tidak mungkin kalau mereka harus
menyibak semak. Namun kalau tidak begitu, mereka tidak akan tahu siapa yang
membuat suara tersebut. Belum sempat keduanya memutuskan, semak sudah lebih
dulu tersibak. Sigit dan Arka terpekik kaget. Untunglah keduanya dapat langsung
menguasai diri.
Yang muncul di hadapan mereka bukanlah binatang buas. Bukan pula makhluk menyeramkan.
Yang mereka lihat tak lain adalah tanaman kecil. Tingginya hanya sekitar satu
meter. Tangkainya kecil dan berdaun jarang. Di bagian puncaknya muncul sebuah
buku tebal. Terlihat seperti tanaman bunga. Hanya saja mahkota bunganya
berbentuk buku.
Buku tersebut terlihat sangat kusam. Begitu juga daun-daunnya. Sangat
kering.
“Namaku Sri. Salah satu penghuni di sini. Ini adalah kebun buku Alamaea. Tempat segala macam buku ditanam.
Aku adalah tanaman berbunga buku
sejarah,” kata Sri. Suaranya mengisak.
“Maaf. Tapi kenapa kamu sangat kering? Bukumu juga terlihat sangat... sangat...”
Sigit tak sanggup menyebut kata usang. Takut menyinggung perasaan Sri.
“Di sini sedang terjadi musim kemarau. Sudah lama tidak hujan. Kalau begini
terus, hutan ini bisa mati,” jelas Sri. “Karena alasan itulah kalian berdua
dibawa ke mari.”
“Hah?” kata Sigit dan Arka terperangah.
“Ng... apa hubungannya dengan kami?” tanya Arka tak mengerti.
“Penyebab musim kemarau di sini, adalah kalian.”
“Apa?!” Sigit dan Arka semakin terperanjat. Bagaimana mungkin mereka bisa
menjadi penyebab kemarau di negeri ajaib seperti ini? Apa yang telah mereka
perbuat?
“Maksudku bukan kalian berdua. Tetapi manusia. Hujan di negeri ini berasal
dari negeri kalian. Hujan itu dihasilkan dari buku-buku yang kalian baca,” kata
Sri.
“Apa maksudmu, Sri?” tanya Sigit tak mengerti.
“Setiap kata yang kalian baca dari sebuah buku, akan menjadi titik air
hujan di sini. Namun karena semakin sedikit anak-anak yang membaca buku, hujan
di sini menjadi semakin jarang. Akibatnya terjadi kemarau.”
“Lalu, apa yang bisa kami lakukan?” tanya Sigit.
“Aku tahu, kalian berdua rajin membaca buku. Kami semua di sini sangat
berterima kasih. Tetapi kami butuh pertolongan kalian.”
“Tentu saja,” kata Arka. Sigit mengangguk membenarkan.
“Tolong lebih rajinlah membaca. Selain itu, bagilah ilmu yang kalian
dapatkan dari membaca dengan teman-teman kalian. Hal itu juga dapat menciptakan
titik hujan di negeri ini. Sesungguhnya sangat berjasa orang-orang yang pandai.
Kami sungguh menghargai orang-orang yang pandai karena gemar membaca.
Orang-orang seperti itu sangat bermanfaat. Baik di kebun buku Alamaea ini, maupun di negeri kalian sendiri.”
“Baiklah. Kami dengan senang hati menolong,” kata Sigit.
“Terima kasih. Untung saja di dunia ini masih ada anak-anak yang senang
membaca buku seperti kalian. Kami sangat tertolong,” kata Sri dengan suara
terharu.
Sri pun membukakan jalan bagi Sigit dan Arka untuk pulang. Kedua kakak
beradik tersebut diminta Sri untuk melewati sebuah batang pohon dengan salah
satu dahannya yang melengkung. Membentuk seperti sebuah gerbang. Mereka pun
melewatinya dan tiba-tiba saja keduanya sudah kembali. Ketika menoleh ke
belakang, tak ada lagi kebun
buku.
Sekembalinya dari kebun
buku Alamaea, Sigit dan Arka
menjadi semakin bersemangat untuk membaca. Keduanya sudah berada di atas sepeda
ketika tiba-tiba terdengar suara,
“Bagaimana petualangan kalian? Menyenangkan?” Itu Bu Wedya. Ia tersenyum
berseri. “Kalian bisa mendapatkan pengalaman seru, bahkan tak terbayangkan
sebelumnya, melalui buku. Seperti yang baru saja kalian alami.”
“Bu Wedya... bagaimana... bagaimana ibu tahu tentang kebun buku itu?” tanya Arka agak terbata.
“Seperti ibu bilang, pengalaman yang tak terbayangkan, bahkan ilmu yang
luar biasa, bisa kalian dapatkan dari sebuah buku. Karena itu, rajinlah
membaca. Kita harus berterima kasih kepada orang-orang yang rajin membaca.
Karena merekalah bumi kita selamat dari serangan monster.”
“Monster?” ulang Sigit dan Arka terperangah.
“Ya. Monster Kebodohan,” jawab Bu Wedya. Ia pun meninggalkan kedua anak
laki-laki itu.
“Kalau begitu,” kata Sigit, “ayo kita selamatkan bumi. Juga kebun buku Alamaea.”
“Siapa takut!” sahut Arka.
Kedua kakak beradik tersebut tak sabar ingin segera sampai di rumah. Mereka
ingin segera membuka buku yang baru saja mereka pinjam dari perpustakaan.
by Angewid
(@ange_wid)
No comments:
Post a Comment