Sunday 30 March 2014

KEBUN BUKU ALAMAEA

ilustrasi-dongeng-cerita-anak-bergambar

Dongeng

Sigit dan adiknya Arka sudah lama merasa ada sesuatu yang janggal dengan perpustakaan ini. Hari ini keanehan itu semakin terasa. Tiba-tiba saja penjaga perpustakaan mendekati mereka. Lalu dengan berbisik ia berkata,

“Perkebunan buku sedang masa sulit. Panen buku gagal musim ini,” kata Bu Wedya si penjaga perpustakaan. Ia tersenyum misterius.

“Perkebunan buku? Panen? Buku kan dicetak di percetakan,” kata Sigit tak mengerti.
“Tidak! Buku ditanam di perkebunan. Kalau sudah waktunya, buku-buku akan dipanen dan dikirim ke perpustakaan atau toko buku,” kata Bu Wedya.

“Bukan begitu prosesnya,” protes Sigit. Arka mengangguk sependapat.

“Benarkah? Kalian pernah lihat sendiri prosesnya?” tantang Bu Wedya.

Sigit dan Arka terdiam. Mereka tidak pernah melihat sendiri proses pencetakan buku. Tetapi tentu saja buku tidak dipanen.

“Kalian tidak percaya? Tunggu saja,” kata Bu Wedya makin misterius. Ia pun meninggalkan kakak beradik itu. Keduanya bengong.

“Ah, sudahlah. Yuk, pulang saja. Sudah sore,” ajak Sigit akhirnya. Arka menyetujui. Lagipula ia juga sudah mendapatkan buku sejarah Samudra Pasai yang ia perlukan untuk PR-nya.

Mereka ke luar perpustakaan. Sigit merogoh saku celananya mencari kunci sepedanya. Lalu ia merasa rusuknya disikut Arka.

“Kenapa?”

Dan saat itulah ia menyadari sesuatu.

“Kita di mana?” kata Arka dengan suara tercekat.

Tiba-tiba saja mereka berada di tempat lain. Ketika menoleh ke belakang, perpustakaan sudah tidak ada lagi. Sekeliling mereka adalah hutan dengan pepohonan yang tidak biasa. Ada sesuatu yang berbeda dengan hutan ini.

“Lihat!” tunjuk Arka.

Sigit dan Arka memandang penuh takjub ke sekeliling mereka. Sungguh luar biasa! Sigit hendak mengatakan sesuatu. Namun tak ada suara yang keluar. Dia begitu terpana dengan apa yang dilihatnya saat ini.

“Pohonnya… pohonnya…” kata Arka terbata.

“Pohonnya berbuah buku,” kata Sigit akhirnya.

Memang benar. Di ujung tangkai pepohonan itu tumbuh berbagai macam buku. Dengan bentuk dan warna yang berbeda-beda. Sigit dan Arka penasaran. Mereka mendekati salah satu pohon untuk melihat lebih dekat dan memastikan.

“Betul. Bukunya keluar dari tangkainya,” kata Sigit.

“Seperti kata Bu Wedya,” kata Arka. Dia dan kakaknya saling pandang.

Sigit membuka buku tersebut. Ternyata isinya adalah buku dongeng. Mereka beralih ke pohon lain. Kali ini mereka mendapati buku matematika sebagai buahnya. Di setiap pohon yang berbeda, mereka juga menemukan buku yang berbeda pula. Bahkan mereka juga menemukan pohon berbuah buku tulis.

“Asyik sekali kalau kita bisa tinggal di sini. Kalau mau sebuah buku, tinggal petik saja dari pohon,” kata Arka.

“Pohon-pohon ini tentu ada yang punya,” kata Sigit, tiba-tiba waspada. Mereka tidak tahu siapa yang membawa mereka masuk ke sini. Tidak tahu pula apa tujuannya.

Keduanya pun bergerak perlahan. Hutan ini sangat sunyi. Mereka tak menemui seekor binatang pun. Suara serangga pun tak terdengar.

“Jangan-jangan, makhluk di sini pun makhluk ajaib…” kata Sigit pelan.

“Ajaib bagaimana?” tanya Arka, mendadak cemas.

“Entahlah.”

Hutan yang mereka lewati semakin renggang. Pohon-pohon mulai berjarak jarang. Bahkan ada beberapa yang tampak kering. Ada juga beberapa pohon kecil yang tumbang. Sedikit sekali pohon yang berbuah buku di sini. Bahkan ada beberapa pohon yang bukunya terlihat kusut dan kering.

“Kenapa di area sini hutannya tidak subur?” tanya Arka. Sigit hanya mengangkat bahu. Ia juga tidak tahu.

Hutan terasa semakin sunyi. Rasanya aneh sekali tidak mendengar suara binatang di dalam hutan. Apa mungkin hutan ini tidak berpenghuni? Sigit dan Arka bertanya-tanya dalam hati.

Namun tiba-tiba telinga Sigit menangkap sesuatu. Dia berhenti berjalan dan menahan Arka agar turut berhenti. Ia ingin mendengar lebih saksama.

“Kamu dengar?” tanya sigit.

“Dengar apa?” balas Arka. Dia agak ragu.

Ada sebuah suara yang terdengar jauh. Mungkin teredam oleh semak dan pohon. Sigit mencoba mencari sumber suara. Begitu juga Arka. Tak lama kemudian mereka sepakat. Suara itu berasal dari balik semak di dekat pepohonan yang kering itu. Tak jauh dari mereka berada.

“Suaranya dari sana,” bisik Sigit. Pelan-pelan Dia dan Arka mendekati suara itu.

“Sssst!” desis Sigit ketika Arka menginjak ranting kering.

Benar, suara itu berasal dari balik semak.

“Sekarang bagaimana?” bisik Arka. Rasanya tidak mungkin kalau mereka harus menyibak semak. Namun kalau tidak begitu, mereka tidak akan tahu siapa yang membuat suara tersebut. Belum sempat keduanya memutuskan, semak sudah lebih dulu tersibak. Sigit dan Arka terpekik kaget. Untunglah keduanya dapat langsung menguasai diri.

Yang muncul di hadapan mereka bukanlah binatang buas. Bukan pula makhluk menyeramkan. Yang mereka lihat tak lain adalah tanaman kecil. Tingginya hanya sekitar satu meter. Tangkainya kecil dan berdaun jarang. Di bagian puncaknya muncul sebuah buku tebal. Terlihat seperti tanaman bunga. Hanya saja mahkota bunganya berbentuk buku.

Buku tersebut terlihat sangat kusam. Begitu juga daun-daunnya. Sangat kering.

“Namaku Sri. Salah satu penghuni di sini. Ini adalah kebun buku Alamaea. Tempat segala macam buku ditanam. Aku adalah tanaman berbunga buku sejarah,” kata Sri. Suaranya mengisak.

“Maaf. Tapi kenapa kamu sangat kering?  Bukumu juga terlihat sangat... sangat...” Sigit tak sanggup menyebut kata usang. Takut menyinggung perasaan Sri.

“Di sini sedang terjadi musim kemarau. Sudah lama tidak hujan. Kalau begini terus, hutan ini bisa mati,” jelas Sri. “Karena alasan itulah kalian berdua dibawa ke mari.”

“Hah?” kata Sigit dan Arka terperangah.

“Ng... apa hubungannya dengan kami?” tanya Arka tak mengerti.

“Penyebab musim kemarau di sini, adalah kalian.”

“Apa?!” Sigit dan Arka semakin terperanjat. Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi penyebab kemarau di negeri ajaib seperti ini? Apa yang telah mereka perbuat?

“Maksudku bukan kalian berdua. Tetapi manusia. Hujan di negeri ini berasal dari negeri kalian. Hujan itu dihasilkan dari buku-buku yang kalian baca,” kata Sri.

“Apa maksudmu, Sri?” tanya Sigit tak mengerti.

“Setiap kata yang kalian baca dari sebuah buku, akan menjadi titik air hujan di sini. Namun karena semakin sedikit anak-anak yang membaca buku, hujan di sini menjadi semakin jarang. Akibatnya terjadi kemarau.”

“Lalu, apa yang bisa kami lakukan?” tanya Sigit.

“Aku tahu, kalian berdua rajin membaca buku. Kami semua di sini sangat berterima kasih. Tetapi kami butuh pertolongan kalian.”

“Tentu saja,” kata Arka. Sigit mengangguk membenarkan.

“Tolong lebih rajinlah membaca. Selain itu, bagilah ilmu yang kalian dapatkan dari membaca dengan teman-teman kalian. Hal itu juga dapat menciptakan titik hujan di negeri ini. Sesungguhnya sangat berjasa orang-orang yang pandai. Kami sungguh menghargai orang-orang yang pandai karena gemar membaca. Orang-orang seperti itu sangat bermanfaat. Baik di kebun buku Alamaea ini, maupun di negeri kalian sendiri.”

“Baiklah. Kami dengan senang hati menolong,” kata Sigit.

“Terima kasih. Untung saja di dunia ini masih ada anak-anak yang senang membaca buku seperti kalian. Kami sangat tertolong,” kata Sri dengan suara terharu.

Sri pun membukakan jalan bagi Sigit dan Arka untuk pulang. Kedua kakak beradik tersebut diminta Sri untuk melewati sebuah batang pohon dengan salah satu dahannya yang melengkung. Membentuk seperti sebuah gerbang. Mereka pun melewatinya dan tiba-tiba saja keduanya sudah kembali. Ketika menoleh ke belakang, tak ada lagi kebun buku.

Sekembalinya dari kebun buku Alamaea, Sigit dan Arka menjadi semakin bersemangat untuk membaca. Keduanya sudah berada di atas sepeda ketika tiba-tiba terdengar suara,

“Bagaimana petualangan kalian? Menyenangkan?” Itu Bu Wedya. Ia tersenyum berseri. “Kalian bisa mendapatkan pengalaman seru, bahkan tak terbayangkan sebelumnya, melalui buku. Seperti yang baru saja kalian alami.”

“Bu Wedya... bagaimana... bagaimana ibu tahu tentang kebun buku itu?” tanya Arka agak terbata.

“Seperti ibu bilang, pengalaman yang tak terbayangkan, bahkan ilmu yang luar biasa, bisa kalian dapatkan dari sebuah buku. Karena itu, rajinlah membaca. Kita harus berterima kasih kepada orang-orang yang rajin membaca. Karena merekalah bumi kita selamat dari serangan monster.”

“Monster?” ulang Sigit dan Arka terperangah.

“Ya. Monster Kebodohan,” jawab Bu Wedya. Ia pun meninggalkan kedua anak laki-laki itu.

“Kalau begitu,” kata Sigit, “ayo kita selamatkan bumi. Juga kebun buku Alamaea.”

“Siapa takut!” sahut Arka.

Kedua kakak beradik tersebut tak sabar ingin segera sampai di rumah. Mereka ingin segera membuka buku yang baru saja mereka pinjam dari perpustakaan.

by Angewid
(@ange_wid)

No comments:

Post a Comment