Cerita Anak
Ari merasa sangat senang. Ia baru saja mendapat juara pertama lomba lari antar SD sekecamatan. Ari memang dapat berlari sangat cepat. Di sekolahnya sendiri, ia belum pernah dikalahkan oleh teman-temannya.
Di rumah ia
membanggakan keberhasilannya di depan ibu dan ayah.
“Wah, selamat, ya, Ari,” kata ayah seraya menepuk-nepuk pundak anak lelakinya.
“Iya, selamat,
ya. Ibu turut senang,” kata ibu tersenyum.
“Terima kasih,
ayah, ibu.”
“Oh, iya, ibu
dengar temanmu Rama juga dapat juara.”
Rama adalah
teman bermain Ari. Mereka tidak satu sekolah. Namun rumah keduanya berdekatan.
Di perlombaan lari tersebut, Rama mendapat juara ketiga.
“Betul, Bu. Sore
ini rencananya kami mau tanding lari berdua. Kayaknya Rama masih penasaran tidak
berhasil mengalahkanku,” kata Ari lalu tertawa riang.
Sore harinya,
sesuai rencana Ari dan Rama pergi ke lapangan tak jauh dari rumah mereka.
Mereka akan mengadakan lomba lari. Cara bermainnya adalah keduanya akan berlari
sejauh seratus meter. Perlombaan akan dilakukan hingga pelari tercepat dapat
mengalahkan lawannya sebanyak dua kali.
Ari dan Rama
sudah menandai garis start dan finish. Keduanya sekarang berdiri di garis
start.
“Siapa yang akan
beri aba-aba mulai?” tanya Rama.
“Kita suit saja.
Siapa yang menang, dia yang beri aba-aba,” usul Ari. Rama mengangguk setuju.
Ternyata yang
menang Rama. Ia mengeluarkan jari jempol, sedangkan Ari jari telunjuk.
“Yuk, kita
mulai!” seru Ari bersemangat.
“Ayo!” sahut
Rama tak kalah bersemangat.
Ternyata keduanya
menarik perhatian anak-anak lain yang juga sedang bermain di sana. Akhirnya
Fira, teman satu sekolah Rama mengajukan diri menjadi wasit. Dia yang akan
memberikan aba-aba mulai. Anak-anak lain berdiri di sepanjang jalur lomba.
“Bersedia!” seru
Fira. Ari dan Rama mengambil posisi. “Siap!” lanjut Fira. “Ya!”
Ari dan Rama pun
berlari sekencang-kencangnya. Anak-anak bersorak-sorai menyemangati keduanya.
Beberapa orang anak sudah siap menunggu di garis finish. Ingin melihat langsung
siapa yang memenangkan pertandingan. Ari berlari dengan sangat percaya diri. Ia
sudah berlari sejauh sekitar tujuh puluh meter. Dan Rama lima meter di
belakangnya.
Ari pun
memenangkan pertandingan pertama. Tinggal satu kali lagi mengalahkan Rama, Ari
pun akan menjadi pemenangnya.
Pertandingan
kedua pun dimulai. Keduanya sudah mengambil posisi.
“Tetap
semangat!” terdengar Rama berseru.
Dalam hati Ari
yakin, dia yang akan memenangkan pertandingan ini.
Sorak-sorai
anak-anak terdengar ketika Ari dan Rama kembali berlari kencang. Ada yang meneriakkan
nama Ari. Ada juga yang meneriakkan nama Rama. Semuanya berteriak menyemangati. Ari menjadi semakin bersemangat. Ia juga tambah yakin bakal jadi juara.
Sekarang ia sudah memimpin di depan.
Akhirnya Ari pun
mencapai garis finish. Sementara Rama masih berada tiga meter di belakangnya.
“Horeeee!”
teriak Ari senang.
Rama pun
mencapai garis finish. Dengan napas ngos-ngosan, ia mengulurkan tangan ke Ari.
“Selamat, ya, Ri. Kamu memang juara. Aku masih saja belum bisa mengalahkanmu,”
kata Rama. Ari menyambut tangan Rama sambil tersenyum lebar.
Karena matahari
sore sudah mulai merah, anak-anak pun mulai meninggalkan lapangan. Begitu juga
Ari dan Rama.
“Sampai jumpa di
pertandingan berikutnya,” kata Rama.
“Jangan kapok,
ya,” kata Ari, sambil memamerkan senyum kemenangannya.
“Lihat saja
nanti,” sahut Rama.
“Kapan kita
bertanding lagi?” tanya Ari.
“Nanti kan ada
pertandingan persahabatan antar sekolah kita.”
“Benarkah?”
tanya Ari. Ia belum mendengar kabar itu sebelumnya.
“Iya. Nanti
banyak perlombaan. Salah satunya ada lomba lari,” jawab Rama antusias.
“Wah, asyik!”
seru Ari.
Ternyata Rama
benar. Besoknya sewaktu di sekolah, Bu Guru menyampaikan berita itu kepada
semua murid di kelas. Ari mendengarkan dengan penuh minat. Apalagi waktu Bu
Guru menyebut lomba lari, Ari jadi makin senang.
“Bu Guru,” kata
Ari seraya mengacungkan tangan kanannya.
“Ya, Ari.”
“Kapan acaranya
akan diadakan?”
“Tiga minggu
lagi. Jadi, siapa yang ingin ikut serta dalam perlombaan, bisa mulai berlatih
dari sekarang,” jawab Bu Guru.
Berlatih? Aku
kan pelari tercepat. Rama saja sudah beberapa kali kukalahkan, kata Ari dalam hati.
Ari tidak
terlalu memusingkan pertandingan nanti. Dia yakin, Rama tidak akan bisa
mengalahkannya. Sudah dibuktikan beberapa kali. Rama masih saja belum bisa
mengalahkannya.
Karena terlalu
percaya diri, Ari malah jadi menyepelekan pertandingan lari nanti. Dia jarang
sekali berlatih. Sekadarnya saja. Sewaktu pelajaran olahraga pun, ia dengan
sengaja membiarkan anak-anak lain mendahuluinya ketika berlari.
Hari
pertandingan persahabatan itu pun tiba. Acara tersebut diadakan di sekolah Ari.
Rama dan rombongannya dari sekolah mereka sudah tiba juga. Berbagai perlombaan
pun dilaksanakan sesuai urutan acara. Ari menunggu dengan santai.
Waktunya
perlombaan lari pun datang. Semua anak yang ikut serta sudah siap di garis
start. Termasuk Ari dan Rama.
“Siap bertanding
hari ini?” tanya Rama.
“Sudah siap
sejak tiga minggu yang lalu,” jawab Ari penuh percaya diri.
Lomba lari
diadakan dengan mengelilingi lapangan sekolah sebanyak tujuh kali. Ari sudah
biasa berlari di lapangan sekolahnya sendiri. Ia yakin, hari ini ia akan tetap
menjadi juara.
Pertandingan pun
dimulai. Sorak-sorai penonton memenuhi udara. Mereka menjagokan peserta dari
sekolah masing-masing. Perlombaan ini diikuti oleh sepuluh orang anak.
“Bersedia, siap,
ya!” wasit memberi aba-aba diakhiri dengan bunyi peluit.
Pertandingan
berlangsung meriah. Setiap peserta mengeluarkan kemampuan semaksimal mungkin.
Ari sangat senang. Saat ini sudah putaran ketiga. Dia ia masih memimpin di
depan. Namun ketika putaran keempat, Rama tiba-tiba sudah berada sangat dekat
di belakangnya. Ari sangat kaget. Ia pun mencoba mempercepat larinya. Rama
tertinggal.
Namun, pada
putaran selanjutnya, kembali Rama sudah mendekati Ari. Napas Ari sudah ngos-ngosan.
Tetapi ia berusaha lebih keras lagi. Rama juga terlihat berusaha keras. Dan
pada putaran keenam, Ari sangat terkejut. Ia tercengang bukan main. Baru saja
Rama melewatinya.
Tidak mungkin,
batin Ari. Ia berusaha menyusul. Rasanya sangat berat. Ia sudah merasa lelah.
Hingga sampai ke putaran terakhir, Rama masih berada di depannya.
Ari mengerahkan
segala kemampuannya. Ia berlari sekencang mungkin. Ia juga berteriak keras
untuk membangkitkan semangatnya. Garis finish tak jauh lagi. Tinggal lima
meter… empat meter… tiga meter lagi…
Hati Ari
mencelos. Rama sudah sampai di garis finish. Beberapa detik kemudian ia pun menyusul.
Ari tidak
berhasil menjadi juara pertama. Hatinya sangat kecewa. Ia tidak mengerti,
bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ari begitu sedih. Sampai-sampai ia lupa
memberi selamat kepada sahabatnya, Rama.
Ari berjalan
lesu. Ia pergi ke kelasnya lalu duduk merenung di sana.
Bagaimana
mungkin Rama bisa mengalahkanku? Ari benar-benar tak habis pikir. Ia merasa
sangat tahu kemampuannya. Tetapi mengapai Rama sampai bisa mengalahkannya hari
ini?
Tiba-tiba Ari
dikejutkan seseorang. Bu Guru ada di depannya sekarang. Ari tidak mendengarnya
masuk.
“Ada apa, Ari?”
tanya Bu Guru lembut.
Ari tidak
sanggup bercerita. Ia merasa malu karena tidak berhasil mendapat juara pertama.
Padahal belum lama ini ia telah meraih gelar juara sekecamatan.
“Kamu kan baru
saja mendapat juara kedua. Kok kelihatan sedih?”
Ari masih diam.
Tidak berani menjawab.
“Tidak mengapa
kalau tidak menjadi juara pertama,” kata Bu Guru.
“Tapi Bu…” Ari
agak ragu melanjutkan kalimatnya.
“Rama itu
sahabatmu, kan?”
“Lho, Bu Guru
kenal sama Rama?” tanya Ari heran.
“Iya. Rama itu
keponakan ibu. Rama pernah cerita soal pertandingan kalian berdua. Karena tidak
pernah berhasil mengalahkanmu, dia jadi termotivasi. Makanya ia giat berlatih
untuk perlombaan hari ini.”
Ari tersentak
kaget. Jadi selama ini Rama giat berlatih?
“Mungkin karena itulah
hari ini Rama jadi lebih baik.”
“Apa maksudnya
Ari jadi lebih buruk dari sebelumnya?”
“Bukan begitu,
Ari. Ibu lihat, sebelum ini Ari jarang berlatih. Mungkin kemampuan Ari tidak
berkurang sedikitpun dari semula. Namun, karena Rama lebih rajin berlatih,
kemampuannya jadi meningkat. Kita tidak boleh malas-malasan meski sudah merasa
mampu. Karena, di luar sana masih banyak orang lain yang lebih mampu dari kita.
Makanya kita harus tetap rajin kalau tidak mau tertinggal,” kata Bu Guru.
Ari tertegun
mendengarnya. Karena meraih gelar juara sekecamatan ia jadi menyepelekan kemampuan orang lain.
Sementara ia santai-santai saja, Rama berlatih lebih giat.
“Nah, mulai
sekarang, kalau ingin meraih cita-cita, harus siap untuk rajin berlatih. Ingin
ranking satu di kelas, atau juara lomba lari, apa pun itu, tidak akan bisa
digapai kalau malas-malasan.”
Ari tertunduk
malu. “Ari sekarang mengerti. Terima kasih Bu Guru.”
Bersama Bu Guru,
Ari pun keluar kelas. Ia segera mencari Rama. Ia ingin memberi selamat kepada
sahabatnya itu. Bukan saja karena telah meraih juara pertama, tetapi juga untuk
keuletan Rama hingga akhirnya bisa mengalahkannya.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment