Cerita Anak
Miko duduk di atas kursi meja
belajarnya sambil merengut. Ia memandangi jam di salah satu dinding kamar
tidurnya. Jam terus bergerak. Jarum-jarumnya sudah menunjuk angka 7.
“Uh, sudah malam. Tidak mungkin
lagi,” Miko bersungut.
Terdengar suara ibu dari luar
kamar. Ibu menyuruhnya segera mandi lalu makan malam. Miko makin cemberut.
Pintu kamar Miko perlahan
membuka. Kepala ibu nongol.
“Miko,” panggil ibu. “Ayo, mandi.
Sudah malam. Terus kita makan malam bareng.”
“Tidak mau,” jawab Miko.
“Menu makan malamnya kesukaan
Miko, lho. Kalau Miko tidak mau, nanti dihabisin sama kak Hari.”
Sebetulnya Miko masih ingin
melanjutkan aksi merajuknya. Tetapi perutnya sudah berkeriut memanggil minta
diisi. Bagaimana ini? Miko kan masih ingin protes. Rencananya ibu akan mengajak
Miko ke pasar sore ini untuk membeli bola sepak. Tetapi ibu mengurungkannya.
Katanya tunggu ayah pulang dulu dari dinas luar kota. Ayah akan baru pulang hari Senin nanti. Padahal Miko menjanjikan
teman-temannya untuk membawa bola tersebut hari pada hari Senin ke sekolah. Kalau Miko tidak jadi membawa bola ini,
Miko khawatir teman-temannya akan menuduhnya berbohong.
Oh, ya, benar juga, Miko berkata
dalam hati. Ia baru saja mendapat ide. Daripada sakit perut karena mogok makan,
mending Miko pasang aksi yang lain saja. Dia akan mogok mandi!
Ketika melihat Miko langsung
menuju meja makan, ibu bertanya keheranan,
“Miko, kok tidak mandi dulu?”
“Tidak mau. Miko mau mogok mandi
sampai ibu membelikan Miko bola sepak.”
Ibu geleng-geleng kepala mendengarnya.
Kak Hari yang mendengar langsung menimpali, “Biarin
saja, Bu. Kita kan jadi bisa hemat air sama sabun.” Ibu terkikik geli
mendengarnya. Membuat Miko tambah manyun.
Miko makin serius dengan aksi
mogok mandinya. Sampai waktunya tidur, Miko belum juga mandi. Dan yang bikin
Miko jengkel, sepertinya ibu juga tidak peduli.
“Aku akan tetap mogok mandi!” putus Miko. Ia sudah berbaring di
tempat tidur. Miko mencoba memejamkan mata. Namun ia gelisah, tidak bisa tidur.
“Kenapa malam ini gerah sekali, ya?”
Tidur Miko malam itu tidak
nyenyak. Ia sibuk menggaruk-garuk badannya. Apa karena banyak nyamuk? Miko
terbangun tengah malam. Masih tetap menggaruk-garuk.
“Kok tumben nyamuknya banyak
banget,” desah Miko.
Tetapi tidak terdengar sedikit
pun denging suara nyamuk. Biasanya kan terdengar di telinga. Miko memejamkan
matanya kembali.
Pagi harinya Miko merasa lesu.
Tidurnya sangat tidak enak semalam. Mimpinya tidak jelas dan sulit diingat. Sepertinya
sesuatu yang berhubungan dengan lengket, bau dan gatal-gatal.
Lupa kalau lagi mogok mandi, Miko
sudah siap dengan handuknya dan sedang menuju kamar mandi. Di tengah jalan kak Hari
mencegatnya.
“Katanya lagi mogok mandi,” kata
kak Hari sambil mengulum senyum.
Benar juga, batin Miko. “Masih
kok, mogok mandinya,” sahut Miko. “Cuma mau menjemur handuknya ke luar,” kata Miko penuh alasan.
Karena aksi mogok mandinya ini,
terpaksa Miko mengurungkan niatnya ke kamar mandi. Walaupun hari belum panas
betul, namun Miko sudah mandi keringat. Aku ganti baju saja, mungkin gerahnya
berkurang, kata Miko dalam hati.
Hari itu hari Minggu. Miko sudah
punya rencana dengan teman-temannya. Mereka akan berkumpul untuk mengerjakan tugas kelompok. Di halaman depan Miko melihat ibu sedang
menyirami kebun kecilnya.
“Miko mau kerja kelompok dulu, ya, Bu,” pamit Miko.
“Iya...” kata ibu tetapi ekspresi wajahnya langsung berubah serius. Dia seperti
sedang mengendus udara.
“Kenapa, Bu?” tanya Miko keheranan.
“Miko mencium bau sesuatu tidak?” ibu balik bertanya.
“Ng... tidak,” jawab Miko, ikut mengendus.
“Ya, sudah,” kata ibu.
Bau apa, sih? Miko bertanya-tanya dalam hati. Namun ia tidak mencari tahu
lebih lanjut. Miko masih ada janji dengan teman-temannya.
Miko berkumpul bersama Fahri dan Romi di rumah teman mereka Randi.
Setibanya Miko di rumah Randi, Fahri dan Romi sudah tiba lebih dulu.
“Yuk, kita mulai saja mengerjakan tugasnya,” ajak Miko.
Awalnya, Miko tidak memperhatikan. Namun lama-lama rasanya aneh juga.
Sedari tadi, Fahri, Romi dan Randi selalu berdekatan. Kalau Miko ikut mendekat,
pelan-pelan akhirnya mereka jadi bertiga lagi. Miko duduk sendirian.
Kenapa, sih? Miko sewot dalam hati.
Sekarang Miko betul-betul memperhatikan tingkah laku teman-temannya. Setiap
kali Miko mendekati salah satu dari mereka, selalu saja akhirnya mereka
menjauh. Setidaknya duduk tidak terlalu dekat dengan Miko.
“Kalian kenapa, sih?” tanya Miko akhirnya.
“Kenapa apanya?” tanya Randi, lalu curi-curi pandang dengan Romi dan Fahri.
Bikin Miko makin curiga saja.
“Tidak ada apa-apa, kok,” sahut Romi menimpali.
Ketika akhirnya tugas
mereka selesai, ketiga teman Miko menghela napas. Mereka kelihatan sangat lega.
“Yuk, pulang,” ajak Fahri.
“Pulang?” ulang Miko. “Apa kita tidak main layangan dulu?” tanya Miko.
Biasanya sih begitu. Sehabis belajar kelompok biasanya mereka bermain sesuatu.
“Pulang saja, ah,” kata Fahri.
“Iya, kita pulang saja,” kata Randi setuju. Romi juga mengangguk-angguk
sependapat.
Aneh sekali. Padahal sekarang belum terlalu siang, pikir Miko. Ia masih
curiga dengan teman-temannya itu. Tetapi nampaknya ketiganya tidak berkeinginan
memberitahunya. Huh, ya, sudah, batin Miko.
Panasnya matahari sudah mulai terasa. Miko mengibas-ngibaskan kaosnya yang
terasa lengket di kulit. Sekali-sekali menggaruk tangan dan badannya.
“Panas. Jajan minuman dingin saja, ah,” Miko memutuskan. Sebelum pulang ke
rumah, Miko mampir dulu ke warung Pak Soleh untuk membeli minuman dingin.
“Beli minumannya satu, Pak,” kata Miko pada Pak Soleh.
“Kok garuk-garuk terus, sih?” tanya Pak Soleh. Miko agak kaget. Rupanya dia
tidak sadar kalau sedari tadi menggaruk-garuk badannya. “Belum mandi, ya?”
sambung Pak Soleh lalu tertawa geli.
Miko kaget sekali mendengarnya. Dia sampai terpelongo.
“Ah, bapak bercanda,” kata Pak Soleh lagi. “Masa sih Nak Miko sudah jam
segini belum mandi. Kalau bapak sendiri suka sekali mandi. Badan jadi segar.
Dan yang penting, badan jadi tidak bau.”
Miko tidak tahu harus berkata apa. Dia menyerahkan saja uangnya pada Pak Soleh
lalu segera pergi.
Tidak bau? Aku malah dari kemarin belum mandi...
Karena berjalan sambil melamun, Miko jadi tidak melihat jalan. Tanpa
sengaja kakinya menabrak sesuatu. Miko kaget karena sesuatu itu menjerit.
“Eh, maaf, maaf,” kata Miko sambil membungkuk-bungkuk.
“Embeeeek!” sahut sesuatu itu.
Hah?
Miko mendongak. Dan ternyata yang ia tabrak barusan adalah seekor kambing.
Miko langsung manyun.
“Untung tidak ada yang lihat,” desah Miko.
“Embeeeek!” si kambing mengembek kembali.
“Apaan, sih? Kok kambing ini tidak mau pergi-pergi.” Miko mencoba menghalau
si kambing. Tetapi tetap saja si kambing tidak pergi. Terus-terusan mengembek.
“Embeeeek! Embeeeek!”
“Kenapa, sih?” kata Miko, mulai gusar. “Tadi Randi, Romi sama Miko selalu
menjauh. Sekarang kamu malah tidak mau pergi,” kata Miko pada si kambing. Lalu
sesuatu melintas di pikiran Miko. Tadi pagi ibu mencium sesuatu yang bau. Pak
Soleh juga mengatakan Miko belum mandi. Apa jangan-jangan...
Teman-temannya menjauhinya karena ia bau. Dan si kambing mendekatinya, juga
karena ia bau...
“Masa, sih, aku sebau itu?”
“Embeeeek! Embeeeeeek!”
Gelisah dengan kelakuan si kambing, Miko pun berlari pergi. Meninggalkan si
kambing yang masih mengembek.
Suara si kambing masih terus mengiang di telinga Miko. Pikiran “Masa sih aku sebau itu?” terus memenuhi kepala Miko. Padahal Miko tidak
tahu saja. Si kambing terus saja mengembek karena kakinya tersangkut tali.
Jadinya si kambing tidak bisa melarikan diri walaupun Miko menghalaunya.
Bagaimana kalau aku memang sebau itu? Apa sebaiknya aku mandi saja? Badanku
juga rasanya sudah tidak nyaman sekali. Tapi kalau aku mandi... berarti aku
tidak jadi protes. Apa kata Kak Hari nanti? Lagipula, bagaimana dengan bola
sepaknya?
Akhirnya, ketika sore hari tiba, Miko memutuskan untuk mengakhiri aksi
mogok mandinya. Kelakuannya ini bikin rugi dirinya sendiri. Ketika selesai
mandi, Miko baru sadar ternyata mandi itu suatu kegiatan yang menyenangkan.
Rasanya segaaaaar sekali.
“Katanya mogok mandi. Kok mandi, sih?” kata Kak Hari usil. Miko merengut
saja. Mau bagaimana lagi? Walaupun mogok mandi, ibu masih tetap tidak
mengajaknya ke pasar untuk membeli bola sepak.
Malam harinya, Miko dikejutkan oleh sesuatu. Ayah pulang dari luar kota.
Lebih cepat sehari dari rencana. Miko gembira sekali. Tetapi... rasa gembira
Miko langsung surut ketika teringat bola sepak. Meski ayah sudah pulang, sudah
terlalu malam untuk pergi ke pasar. Toko-toko sudah tutup semua.
“Miko kok kelihatannya sedih? Ayah kan sudah pulang,” kata ibu.
“Iya. Tapi...” Miko ragu-ragu.
“Bola sepaknya? Ibu kan sudah janji. Bola sepaknya menunggu ayah pulang.
Dan sekarang ayah kan sudah pulang,” kata ibu. Matanya berbinar-binar.
“Maksud ibu?”
“Nih, bola sepaknya,” kata ayah tiba-tiba.
Benar. Itu bola sepak di tangan ayah. Miko sungguh terkejut. Dan yang lebih
mengejutkan lagi, ayah juga membawa kaos bola untuknya.
“Ibu juga tidak tahu. Sebelumnya ayah cuma bilang, nanti saja beli bola sepaknya. Tunggu
ayah pulang. Ternyata ayah sudah membeli sebagai oleh-oleh,” cerita ibu.
“Ini hadiah untuk Miko yang sudah sabar menunggu,” kata ayah.
Ah, ayah, ibu, Miko jadi tidak enak hati, Miko membatin. Miko kan tidak
sesabar itu. Bahkan pakai aksi mogok mandi segala.
Miko berjanji, lain kali ia akan lebih sabar kalau ia minta dibelikan sesuatu.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment