Review Buku
Judul | : The Last Words of Will Wolfkin |
(Pewaris Takhta Will Wolfkin) | |
Penulis | : Steven Knight |
Alih Bahasa | : Debbie J. Christ |
Penerbit | : PT Gramedia Pustaka Utama |
Tahun Terbit | : 2011 |
Genre | : Fantasi |
Tebal | : 344 halaman |
Sinopsis
Setelah 14 tahun hidup tanpa keluarga,
tanpa bisa bergerak dan bicara, suatu hari Toby mendapat surat dari Islandia.
Ditulis oleh seorang dokter yang mengatakan bahwa ia bisa membantu Toby. Suster
yang merawat Toby mencoba menelusuri hal ini. Dan ia berkesimpulan bahwa surat
itu hanya penipuan. Hal ini berakhir menjadi hanya secercah harapan yang
menyakitkan bagi Toby.
Namun hidup Toby mendadak berubah
ketika suatu malam seorang anak laki-laki mendatanginya. Bukan saja
kedatangannya membuat Toby bisa bicara dan berjalan. Namun ia juga mengabarkan
bahwa Toby sedang ditunggu di suatu tempat di Islandia, untuk hadir dalam
pembacaan surat wasiat.
Sebuah kenyataan besar dihadapkan
pada Toby. Bahwa ia ternyata merupakan pewaris takhta Raja Will Wolfkin. Situasi
ini mengharuskan Toby pergi ke Langjoskull, sebuah kehidupan di bawah gletser di Islandia. Mereka dibutuhkan untuk
mengakhiri tirani ilegal yang tengah menguasai tempat tersebut.
Selain Toby, ada anak lain yang
juga dibawa ke Langjoskull dengan tujuan yang sama. Seorang anak perempuan
bernama Emma. Keduanya hanya punya sedikit waktu untuk mempelajari seni Fel,
menggunakan senjata dan berubah wujud menjadi binatang, sebelum tiba hari Deklarasi Sumpah. Di waktu itu,
Toby dan Emma akan bertarung untuk mendapatkan hak atas takhta mereka.
Review
Dalam buku ini, PoV yang
digunakan adalah orang pertama. Cerita disampaikan dengan lancar dan renyah,
khas remaja. Jalinan persahabatan dan persaudaraan cukup terasa ketika membaca buku ini. Ada
bagian paragraf yang sangat saya sukai:
“Aku sudah
merasakan banyak perasaan baru selama beberapa hari ini, tetapi perasaan ketika
aku melihatnya tersenyum adalah peraaan terbaik.
Itulah adik kecilku, pikirku. “
Kalimat-kalimat itu juga
memberikan perasaan terbaik bagi saya sepanjang isi buku ini.
Secara umum cerita ini bisa dibagi
menjadi beberapa bagian. Yakni perjalanan Toby dari biara tempat tinggalnya di
Inggris ke Langjoskull, perjalanannya menuju tempat persembunyian dan sedikit
kisah di tempat itu, perjalanan Toby dan
Emma ke Afrika, dan terakhir adalah klimaks cerita.
Kebanyakan isi dari buku ini tak
lain adalah perjalanan Toby. Saya
suka cara penulis menyampaikan perjalanan Egil yang membawa Toby menuju
Langjoskull. Tak banyak yang mereka temui selama perjalanan. Tak banyak
kejadian yang dialami. Bahkan perjalanan Toby merupakan sebuah teka-teki. Ia
tidak tahu persis alasan mengapa ia dibawa ke Langjoskull, sampai ia sudah
berada di sana.
Namun agak di akhir-akhir novel, saya jadi sedikit gelisah. Sisa halaman sudah
menipis, namun klimaks cerita masih belum terjadi. Bagi saya ujung cerita jadi
terkesan tergesa-gesa.
Saya menyukai cara penulis menyampaikan perjalanan Toby dan Emma ketika
mereka kembali ke Afrika, di ujung-ujung cerita. Namun bagian cerita tersebut menjadi
janggal, kalau bagian itu untuk mengesankan hilangnya harapan Toby dan Emma dalam
mempertahankan takhta warisan mereka. Apalagi ketika baru saja keduanya tiba di
Afrika, tahu-tahu Egil tak lama dari itu berhasil menyusul mereka. Lalu
ketiganya kembali ke Langjoskull. Rasanya jadi melelahkan membaca bagian
itu—terlepas dari cara penyampaian penulis yang sebenarnya saya suka.
Lalu tentang klimaks cerita. Saya kurang puas cara Toby dan Emma berhasil
mengalahkan musuh mereka. Usaha mereka terkesan tidak terlalu hebat dan dalam
waktu yang terlalu singkat. Belum lagi ada cerita pengkhianatan yang buat saya
kesan munculnya begitu tiba-tiba.
Ada satu hal lagi. Kalau saya pribadi, tidak masalah dengan bagian ini.
Tetapi ada teman yang juga membaca buku ini, dan mengeluh tentang cerita di
epilog. Malahan ada yang berharap kalau bagian epilog tersebut dihilangkan saja
:D
Secara keseluruhan buku ini enak dibaca. Saya suka penyampaian ceritanya.
Saya juga suka perasaan yang saya dapat ketika selesai membacanya. Cara Steven
Knight menyampaikan adegan ketika
Toby dan Emma kembali ke Langjoskull dan bertemu Dokter Felman dan Profesor Elkkin, bikin terharu. Saya
juga menyukai karakter-karakter yang dibuat di sini.
Bagaimanapun juga, mengkritik sebuah tulisan memang lebih mudah dan lebih
cepat dibanding menulis cerita itu sendiri. Tetapi, seperti kata Roald Dahl, “I don’t care if a reader hates one of my
stories, just as long as he finishes the book.” ^^
3 dari 5 bintang
Keep reading!!!
by Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment