Monday 6 October 2014

UUL, IIL & BULAN

ilustrasi-fabel-cerita-binatang-dongeng-anak-bergambar

Dongeng

Uul dan Iil adalah dua ekor ulat grayak yang bersahabat karib. Namun keduanya seringkali berbeda pendapat. Misalnya ketika mereka berdebat tentang mana yang lebih penting, berhitung atau membaca.

“Berhitung itu lebih penting,” kata Uul. “Kalau kita tidak bisa berhitung, bagaimana kita bisa membagi dengan adil?”


“Membaca jauh lebih penting,” sahut Iil tak mau kalah. “Bagaimana kita bisa menambah ilmu dari buku kalau membaca saja tidak tahu?”

Atau, mereka juga berselisih pendapat tentang air dan udara.

“Air sangat penting bagi kehidupan. Buktinya, jumlah air di dunia ini lebih banyak dibanding daratan,” kata Iil.

“Eh, udara lebih penting. Buktinya makhluk hidup bisa bertahan lebih lama tanpa air, dibanding tanpa udara,” kali ini Uul tak mau kalah.

Pada suatu malam, Uul dan Iil sedang bersantai di pucuk pohon jagung. Kala itu terang bulan. Uul dan Iil menikmati suasana langit malam yang cerah.

“Bulan purnamanya cantik, ya,” kata Uul. Iil mengangguk setuju. “Tapi sayang, Bulan pasti capek dan kesepian,” lanjut Uul.

“Capek dan kesepian?” ulang Iil tak paham
.
“Coba lihat, setiap malam Bulan mesti bertugas. Tapi di atas sana dia sendirian, tidak ada yang bisa diajak bicara.”

“Kata siapa Bulan sendirian?” sahut Iil, seperti biasa selalu berbeda pendapat dengan sahabatnya itu. “Di atas sana kan banyak Bintang. Pasti mereka berteman. Malah enak jadi Bulan. Semua mengaguminya.”

“Sekalipun bisa berteman dengan Bintang, tetap saja membosankan jadi Bulan. Tidak ada yang bisa ia kerjakan selain bersinar di langit malam. Aku kasihan pada Bulan,” kata Uul.

“Malah enak jadi Bulan. Ia tidak perlu mengerjakan apa-apa. Cukup bersinar dan semua makhluk menyukainya,” kata Iil. “Bulan juga tidak akan bosan. Ia kan harus berkeliling bumi. Jadi bisa berkunjung ke banyak tempat.”

“Ah, aku tetap saja kasihan pada Bulan,” kata Uul.

“Tidak. Jadi Bulan itu sungguh menyenangkan,” sahut Iil.

Di tengah-tengah perdebatan mereka, tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan keduanya.

“Halo.”

Uul dan Iil melemparkan pandang ke seliling mereka. Namun tidak ada siapa-siapa di sana.

“Di sini,” kata suara itu lagi.

Sekali lagi Uul dan Iil mencari sumber suara. Namun tetap saja tidak melihat makhluk lain di sekitar mereka. Iil mendadak gemetar karena ketakutan.

“Ul, jangan-jangan... itu... itu suara hantu...” kata Iil pelan-pelan.

“Eh, bukan hantu. Pasti itu suara angin,” kata Uul.

“Hantu.”

“Angin.”

“Hantu.”

“Angin.”

Di saat begini pun, Uul dan Iil masih saja berdebat.

“Teman-teman, di atas sini,” kata suara itu lagi. Serentak Uul dan Iil mendongak ke atas. Hanya ada bulan purnama di sana.

“Ya, ini aku, Bulan.”

Uul dan Iil bengong.

“Apa kalian bersedia naik lebih tinggi? Aku ingin mengobrol sebentar. Pasti melelahkan kalau kalian harus mendongak terus seperti itu,” kata Bulan.

“Bagaimana caranya kami naik ke atas?” tanya Uul.

“Kami tidak punya tangga,” jawab Iil.

“Oh, kalau soal itu serahkan saja padaku,” kata Bulan. Tiba-tiba sinar Bulan berubah menjadi satu arah. Menyorot seperti cahaya senter dari atas sana. Dan sorotan sinar itu berbentuk tangga. “Ayo, silakan panjat tangga ini.”

Dengan suara hampir berbisik Uul berkata kepada Iil. “Mana mungkin kita bisa naik ke langit hanya dengan tangga ini. Pasti butuh waktu yang sangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat lama.”

Namun keduanya menerima ajakan Bulan. Uul dan Iil pun memanjat tangga tersebut. Dan ajaib! Tiba-tiba saja mereka melesat naik ke atas hingga bulan terlihat amat besar dan sangat dekat. Uul dan Iil menatap dengan takjub.

“Aku dengar, kalian tadi membicarakanku,” kata Bulan. Uul dan Iil jadi malu. Kata Uul,

“Maaf. Kami tidak bermaksud begitu.”

“Tapi... apa benar, kalau Bulan kesepian di langit malam?” tanya Iil. Uul langsung menyahut,

“Tentu saja begitu. Tapi itu bukan salah Bulan.”

“Lalu salah siapa?” tanya Iil kebingungan.

Tiba-tiba terdengar Bulan tertawa. Iil makin kebingungan. Uul juga begitu.

Kata Bulan, “Tidak ada salahnya menjadi bulan. Sekalipun aku harus keliling bumi setiap detiknya tanpa istirahat. Tidak ada salahnya juga menjadi ulat walaupun nanti dimangsa kumbang (Uul dan Iil langsung berjengit). Tidak ada salahnya menjadi pohon lalu ditebang manusia untuk dibuat perabot.”

Uul dan Iil nampak tengah berpikir. Kemudian kata Iil, “Kenapa harus ulat yang dimangsa kumbang? Kenapa bulan harus sendirian dan tidak pernah istirahat? Kenapa manusia mesti menebang pohon? Kenapa… kenapa…”

Begitu banyak pertanyaan dalam kepala Iil. Sampai-sampai ia bingung harus mengutarakan yang mana dulu.
“Karena kita semua sudah berjodoh,” jawab Bulan.

Uul dan Iil terperangah mendengar jawaban itu. Sebagian besar penyebabnya karena mereka tak mengerti.

Bulan pun melanjutkan. “Untuk apa mesti repot-repot memikirkan hal yang tidak menyenangkan? Aku sudah dijodohkan dengan malam untuk menjadi bulan. Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri dan bersinar. Ya, ampun, kehidupan itu sungguh menyenangkan! Manusia menanam pohon. Ulat menggerogoti daunnya. Lalu si ulat dimakan kumbang. Dan kumbang pun diperangkap oleh manusia lalu disemprot dengan racun serangga. Semua sudah berjodoh.”

“Apanya yang menyenangkan kalau dimakan kumbang?” kata Uul sedikit bersungut.

“Oh, tentu saja tidak menyenangkan,” jawab Bulan.

“Lalu?” tuntut Uul.

“Mengapa mesti memusingkan hal yang tidak bisa diubah? Lihat sekeliling kalian, begitu banyak dedaunan hijau yang bisa digerogoti. Langit malam nan indah yang masih dinikmati. Pagi hari yang hangat, hujan yang damai. Daripada memusingkan kumbang yang belum tentu memangsa, lebih baik pikirkan teman-teman yang dekat di hati kalian.”

Uul dan Iil bertemu pandang. Keduanya tersenyum. Betapa senangnya menyadari kalau mereka memiliki satu sama lain sebagai sahabat.

“Tidak ada yang lebih baik, menjadi air atau udara. Matahari atau bulan. Menjadi kumbang atau menjadi ulat. Yang lebih baik itu, menjadi ulat yang berbahagia,” nasihat Bulan.

“Apa masih bisa berbahagia kalau nanti dimakan kumbang?” tanya Iil.

“Teman kecilku. Langit yang indah itu bukan karena ada pelangi menghiasinya. Di mana ada hati yang berbahagia, di situ jugalah keindahan berada. Bukan sebaliknya,” kata Bulan.

Uul dan Iil mengerti sekarang. Permata itu tidak lebih baik dari pasir. Pohon itu tidak lebih baik dari rumput. Semua sudah punya peranannya masing-masing. Cukup menjadi diri sendiri dan berbahagia karenanya.

“Senang bisa berbincang dengan kalian berdua. Terima kasih,” kata Bulan.

“Kami juga berterima kasih,” kata Uul. Dan tidak seperti biasanya, Iil mengangguk sependapat.

Sinar Bulan membawa Uul dan Iil kembali ke pucuk pohon jagung. Bulan kembali terlihat kecil sekarang. Namun bagi Uul dan Iil, bulan jadi terlihat lebih indah. Tentu saja, karena hati mereka lebih berbahagia sekarang.

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment