Dongeng
Uul dan Iil adalah
dua ekor ulat grayak yang bersahabat karib. Namun keduanya seringkali berbeda
pendapat. Misalnya ketika mereka berdebat tentang mana yang lebih penting,
berhitung atau membaca.
“Berhitung itu
lebih penting,” kata Uul. “Kalau kita tidak bisa berhitung, bagaimana kita bisa
membagi dengan adil?”
“Membaca jauh lebih
penting,” sahut Iil tak mau kalah. “Bagaimana kita bisa menambah ilmu dari buku
kalau membaca saja tidak tahu?”
Atau, mereka juga
berselisih pendapat tentang air dan udara.
“Air sangat penting
bagi kehidupan. Buktinya, jumlah air di dunia ini lebih banyak dibanding
daratan,” kata Iil.
“Eh, udara lebih
penting. Buktinya makhluk hidup bisa bertahan lebih lama tanpa air, dibanding
tanpa udara,” kali ini Uul tak mau kalah.
Pada suatu malam,
Uul dan Iil sedang bersantai di pucuk pohon jagung. Kala itu terang bulan. Uul
dan Iil menikmati suasana langit malam yang cerah.
“Bulan purnamanya
cantik, ya,” kata Uul. Iil mengangguk setuju. “Tapi sayang, Bulan pasti capek
dan kesepian,” lanjut Uul.
“Capek dan kesepian?” ulang Iil tak
paham
.
“Coba lihat, setiap
malam Bulan mesti bertugas. Tapi di atas sana dia sendirian, tidak ada yang
bisa diajak bicara.”
“Kata siapa Bulan
sendirian?” sahut Iil, seperti biasa selalu berbeda pendapat dengan sahabatnya
itu. “Di atas sana kan banyak Bintang. Pasti mereka berteman. Malah enak jadi
Bulan. Semua mengaguminya.”
“Sekalipun bisa
berteman dengan Bintang, tetap saja membosankan jadi Bulan. Tidak ada yang bisa
ia kerjakan selain bersinar di langit malam. Aku kasihan pada Bulan,” kata Uul.
“Malah enak jadi
Bulan. Ia tidak perlu mengerjakan apa-apa. Cukup bersinar dan semua makhluk
menyukainya,” kata Iil. “Bulan juga tidak akan bosan. Ia kan harus berkeliling
bumi. Jadi bisa berkunjung ke banyak tempat.”
“Ah, aku tetap saja
kasihan pada Bulan,” kata Uul.
“Tidak. Jadi Bulan
itu sungguh menyenangkan,” sahut Iil.
Di tengah-tengah
perdebatan mereka, tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan keduanya.
“Halo.”
Uul dan Iil
melemparkan pandang ke seliling mereka. Namun tidak ada siapa-siapa di sana.
“Di sini,” kata
suara itu lagi.
Sekali lagi Uul dan
Iil mencari sumber suara. Namun tetap saja tidak melihat makhluk lain di sekitar mereka. Iil
mendadak gemetar karena ketakutan.
“Ul,
jangan-jangan... itu... itu suara hantu...” kata Iil pelan-pelan.
“Eh, bukan hantu.
Pasti itu suara angin,” kata Uul.
“Hantu.”
“Angin.”
“Hantu.”
“Angin.”
Di saat begini pun,
Uul dan Iil masih saja berdebat.
“Teman-teman, di
atas sini,” kata suara itu lagi. Serentak Uul dan Iil mendongak ke atas. Hanya
ada bulan purnama di sana.
“Ya, ini aku,
Bulan.”
Uul dan Iil
bengong.
“Apa kalian
bersedia naik lebih tinggi? Aku ingin mengobrol sebentar. Pasti melelahkan
kalau kalian harus mendongak terus seperti itu,” kata Bulan.
“Bagaimana caranya
kami naik ke atas?” tanya Uul.
“Kami tidak punya
tangga,” jawab Iil.
“Oh, kalau soal itu
serahkan saja padaku,” kata Bulan. Tiba-tiba sinar Bulan berubah menjadi satu arah. Menyorot seperti cahaya
senter dari atas sana. Dan sorotan sinar itu berbentuk tangga. “Ayo, silakan
panjat tangga ini.”
Dengan suara hampir
berbisik Uul berkata kepada Iil. “Mana mungkin kita bisa naik ke langit hanya
dengan tangga ini. Pasti butuh waktu yang
sangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat lama.”
Namun keduanya
menerima ajakan Bulan. Uul dan Iil pun memanjat tangga tersebut. Dan ajaib!
Tiba-tiba saja mereka melesat naik ke atas hingga bulan terlihat amat besar dan
sangat dekat. Uul dan Iil menatap dengan takjub.
“Aku dengar, kalian tadi membicarakanku,”
kata Bulan. Uul dan Iil jadi malu. Kata Uul,
“Maaf. Kami tidak
bermaksud begitu.”
“Tapi... apa benar,
kalau Bulan kesepian di langit malam?” tanya Iil. Uul langsung menyahut,
“Tentu saja begitu. Tapi itu bukan salah Bulan.”
“Lalu salah siapa?” tanya Iil kebingungan.
Tiba-tiba terdengar Bulan tertawa. Iil makin kebingungan. Uul juga
begitu.
Kata Bulan, “Tidak ada salahnya menjadi bulan. Sekalipun aku harus
keliling bumi setiap detiknya tanpa istirahat. Tidak ada salahnya juga menjadi
ulat walaupun nanti dimangsa kumbang (Uul dan Iil langsung berjengit). Tidak
ada salahnya menjadi pohon lalu ditebang manusia untuk dibuat perabot.”
Uul dan Iil nampak tengah berpikir. Kemudian kata Iil, “Kenapa harus
ulat yang dimangsa kumbang? Kenapa bulan harus sendirian dan tidak pernah
istirahat? Kenapa manusia mesti menebang pohon? Kenapa… kenapa…”
Begitu banyak pertanyaan dalam kepala Iil. Sampai-sampai ia bingung
harus mengutarakan yang mana dulu.
“Karena kita semua sudah berjodoh,” jawab Bulan.
Uul dan Iil terperangah mendengar jawaban itu. Sebagian besar
penyebabnya karena mereka tak mengerti.
Bulan pun melanjutkan. “Untuk apa mesti repot-repot memikirkan hal yang
tidak menyenangkan? Aku sudah dijodohkan dengan malam untuk menjadi bulan. Aku
hanya perlu menjadi diriku sendiri dan bersinar. Ya, ampun, kehidupan itu
sungguh menyenangkan! Manusia menanam pohon. Ulat menggerogoti daunnya. Lalu si
ulat dimakan kumbang. Dan kumbang pun diperangkap oleh manusia lalu disemprot
dengan racun serangga. Semua sudah berjodoh.”
“Apanya yang menyenangkan kalau dimakan kumbang?” kata Uul sedikit
bersungut.
“Oh, tentu saja tidak menyenangkan,” jawab Bulan.
“Lalu?” tuntut Uul.
“Mengapa mesti memusingkan hal yang tidak bisa diubah? Lihat sekeliling
kalian, begitu banyak dedaunan hijau yang bisa digerogoti. Langit malam nan
indah yang masih dinikmati. Pagi hari yang hangat, hujan yang damai. Daripada
memusingkan kumbang yang belum tentu memangsa, lebih baik pikirkan teman-teman
yang dekat di hati kalian.”
Uul dan Iil bertemu pandang. Keduanya tersenyum. Betapa senangnya
menyadari kalau mereka memiliki satu sama lain sebagai sahabat.
“Tidak ada yang lebih baik, menjadi air atau udara. Matahari atau bulan.
Menjadi kumbang atau menjadi ulat. Yang lebih baik itu, menjadi ulat yang
berbahagia,” nasihat Bulan.
“Apa masih bisa berbahagia kalau nanti dimakan kumbang?” tanya Iil.
“Teman kecilku. Langit yang indah itu bukan karena ada pelangi
menghiasinya. Di mana ada hati yang berbahagia, di situ jugalah keindahan
berada. Bukan sebaliknya,” kata Bulan.
Uul dan Iil mengerti sekarang. Permata itu tidak lebih baik dari pasir.
Pohon itu tidak lebih baik dari rumput. Semua sudah punya peranannya
masing-masing. Cukup menjadi diri sendiri dan berbahagia karenanya.
“Senang bisa berbincang dengan kalian berdua. Terima kasih,” kata Bulan.
“Kami juga berterima kasih,” kata Uul. Dan tidak seperti biasanya, Iil
mengangguk sependapat.
Sinar Bulan membawa Uul dan Iil kembali ke pucuk pohon jagung. Bulan
kembali terlihat kecil sekarang. Namun bagi Uul dan Iil, bulan jadi terlihat
lebih indah. Tentu saja, karena hati mereka lebih berbahagia sekarang.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment