Dongeng
Di suatu sore yang kelabu, Hastu
dan Lingga bertemu dengan seorang kakek misterius. Kedua anak laki-laki itu
mulanya takut. Namun sang kakek tidak terlihat berbahaya. Dan gerak-geriknya mengundang
rasa ingin tahu.
Sang kakek duduk bersila, nyaris
tersembunyi oleh semak-semak. Bajunya gombal. Matanya terpejam dan senyuman
mengembang di wajah keriputnya.
“Mungkin orang gila,” bisik
Lingga.
“Kita tanya saja, mungkin kakek
itu butuh bantuan,” sahut Hastu juga dengan berbisik.
Hastu dan Lingga terlonjak dan
nyaris terpekik. Sang kakek tiba-tiba membuka matanya dan menggeram, “Gila?”
“Maaf… tapi….” kata Hastu
terbata-bata.
Sekali lagi dengan tiba-tiba,
sang kakek melompat berdiri. Ia menyelipkan tangan ke dalam saku bajunya. Hastu
dan Lingga menahan napas. Apa yang hendak dilakukan sang kakek?
Senyuman di wajah si kakek makin
melebar. Hastu dan Lingga mundur selangkah saat sang kakek membungkuk dan
mendekatkan wajah ke arah dua sahabat tersebut.
Dari balik saku bajunya sang
kakek mengeluarkan sesuatu. Hastu dan Lingga tidak tahu apa itu. Tangan sang
kakek tergenggam rapat.
“Aku hendak memberikan kalian
sesuatu,” kata si kakek. “Sesuatu yang amat berharga.”
Hastu dan Lingga melongo saja.
Bagaimana mungkin ada seorang kakek tak dikenal hendak memberikan sesuatu yang
berharga?
Tiba-tiba wajah si kakek
merengut. “Kenapa diam saja? Kalian tidak senang, ya?” tanyanya bersungut.
“Oh, bukan begitu…” sahut Hastu
kebingungan.
“Berarti kalian senang?” tanya
kakek lagi. Mendadak wajahnya berubah ceria.
Betapa anehnya kakek ini, pikir
Hastu dan Lingga.
Sang kakek mengulurkan tangannya
yang tergenggam. Perlahan-lahan ia membuka genggaman tangan itu. Mata Hastu dan
Lingga melebar menanti apa yang akan mereka lihat.
“Benda ini kupersembahkan untuk
kalian berdua,” kata si kakek dengan suara rendah.
Hastu membuka mulutnya, tetapi
tidak ada suara yang keluar. Sementara Lingga menaikkan sebelah alisnya dan
tanpa sadar bergumam, “Benda buruk apa itu?”
“Apa maksudmu benda buruk?” ulang
si kakek sewot.
Sesuatu di atas telapak tangan
sang kakek adalah benda berwarna coklat. Bentuknya bulat dan agak keriput.
“Kelihatannya seperti biji,” kata
Hastu.
“Biji? Ini bukan sembarang biji!
Ini biji ajaib!” kata si kakek. Kepalanya mengangguk-angguk.
“Oooo…” gumam Hastu dan Lingga
berbarengan. Mereka ikut mengangguk.
“Kalian tidak percaya, ya?” tanya
si kakek tajam.
“Kami tidak bilang begitu,” sahut
Hastu cepat.
“Memangnya kenapa biji ini bisa
ajaib? Apa ia bisa membawa keberuntungan?” harap Lingga.
“Lebih berharga dari itu,” jawab
sang kakek. Dengan tangannya yang satu lagi, ia membelah biji tersebut. Kini
biji itu terbagi dua dengan sempurna.
“Wah, bagaimana kakek bisa
membelahnya sama persis begitu?” tanya Hastu kagum.
Sang kakek tersenyum lalu
menyerahkan bagian biji masing-masing kepada Hastu dan Lingga.
Kening Lingga tampak berkerut.
Nampaknya ia sedang berpikir.
“Kalau tidak mau, sini kuambil
lagi!” ujar si kakek.
“Tidak,” jawab Lingga cepat.
“Baiklah kalau begitu. Aku pergi
dulu.”
“Sebentar, Kek!” ujar Hastu
cepat. “Mesti kami apakan biji ini?”
Sang kakek membeliakkan bola
matanya. Seolah-olah pertanyaan Hastu sungguh tidak perlu ditanyakan.
“Ya, tentu saja ditanam!”
jawabnya kemudian.
Hastu dan Lingga saling
mengerling. Tatapan mata mereka seolah saling berkata, “Sudah, kita terima
saja. Lagipula ini cuma sekadar biji.”
Bagai bisa membaca pikiran kedua
anak laki-laki itu, sang kakek berkata,
“Itu bukan sekadar biji. Seperti
sudah kukatakan, itu biji ajaib.”
“Seberapa ajaib?” sangsi Lingga.
“Apa kalau ditanam nanti bisa menumbuhkan harta karun?”
Sang kakek diam sesaat. Kerutan
di dahinya bertambah. Ia lalu menarik sudut-sudut bibirnya membentuk kerutan di
sana.
“Biji ini akan memberi kalian
pelajaran yang amat berharga. Ia akan tumbuh menjadi tanaman istimewa. Namanya
Pohon Hati. Rawatlah baik-baik.”
“Pohon hati?” ulang Hastu, ragu
apakah ia salah dengar.
“Belum pernah dengar,”sambung
Lingga.
“Kalian pernah dengar,” bantah si
kakek.
“Tidak pernah. Memangnya kapan?”
sahut Lingga.
“Barusan,” jawab si kakek lalu
terkekeh sendirian. Lingga merengut mendengarnya.
“Dengar,” lanjut si kakek. “Pohon
hati ini ibarat hati manusia. Tidak ada hati yang baik atau hati yang buruk.
Yang ada hanyalah, manusia yang menjadikannya baik atau buruk. Ada yang
memenuhi hati dengan cinta dan kebaikan. Ada juga manusia yang mengisi hatinya
dengan keburukan dan kebencian. Akan kalian isi dengan apa biji pohon hati,
seperti itulah ia akan menjadi.”
Hastu dan Lingga mencoba mencerna
penjelasan si kakek barusan. Namun rasanya mereka tidak paham. Memangnya
bagaimana cara mengisi biji pohon hati dengan cinta ataupun kebencian?
Langit yang sedari tadi memang
kelabu, akhirnya pecah. Air hujan pun mengguyur bumi. Sang kakek yang tak
dikenal melompat masuk kembali ke semak-semak. Dan tahu-tahu ia sudah tidak
kelihatan lagi. Seolah menghilang ditelan hujan.
“Siapa ya kira-kira Kakek tadi?” Hastu
bertanya-tanya.
“Sudahlah. Yuk, kita pulang
saja,” ajak Lingga. Hujan turun dengan deras. Dalam sekejap mereka sudah basah
kuyup.
Hastu mengangguk setuju. Kedua
anak laki-laki itu pun berlari di tengah guyuran hujan. Di persimpangan jalan
mereka berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Sejak hari itu sang kakek yang
misterius tak pernah terlihat lagi. Hastu telah menanam setengah biji bagiannya
di halaman depan rumahnya. Sementara Lingga yang merasa tidak melihat keajaiban
dari biji itu, melemparkan sembarang biji tersebut di tanah di depan rumahnya.
Hari berganti hari. Dengan rajin
Hastu merawat biji yang ditanamnya. Hingga suatu hari muncullah tunas pertama.
Hastu amat girang. Dia tidak tahu akan berupa seperti apa pohon hati tersebut.
Namun ia sangat gembira mengetahui biji yang ditanamnya telah tumbuh. Hastu
semakin rajin merawat tanaman itu. Menyiraminya, memberinya pupuk, bahkan mengatakan
hal-hal yang menyenangkan pada tunasnya.
“Tunas pohon hati, kata si kakek,
kamu akan menjadi tanaman istimewa. Tapi menurutku, semua makhluk hidup itu
istimewa,” kata Hastu, lalu tersenyum sendiri.
Sementara itu, Lingga tidak
memedulikan sama sekali bagian biji miliknya. Di hari yang sama dengan
munculnya tunas milik Hastu, di halaman depan rumah Lingga juga muncul tunas
yang serupa. Akan tetapi Lingga cuma mengerucutkan bibir ke arah tunas itu.
“Apa istimewanya?” gerutunya.
Minggu demi minggu pun berganti.
Tunas Hastu dan Lingga tumbuh amat pesat menjadi batang pohon. Tingginya sudah
melebihi atap rumah. Hastu terkagum-kagum menyadari betapa cepatnya pohon hati
ini tumbuh.
“Kamu memang tanaman yang
istimewa,” kata Hastu pada pohon hatinya di suatu sore yang berangin. Ia duduk
bersandar di batangnya sambil membaca buku. Kadang-kadang Hastu hanya duduk di
situ untuk menikmati alam.
Sejak keberadaan pohon hati di
halamannya, rumah Hastu menjadi sangat sejuk. Selain itu, bunga-bunga warna-warni
juga tumbuh sendiri di sekitar pohon hati. Membentuk kebun kecil dengan
sendirinya. Dedaunan kering yang gugur dari pohon hati juga tidak menumpuk di
tanah. Entah dari mana datangnya, sekarang banyak cacing yang mengunyah daun
kering. Halaman Hastu jadi bebas dari sampah dedaunan kering.
Dahan pohon hati milik Hastu juga
tumbuh dengan baik. Tidak ada dahan yang mengenai dinding atau atap rumah.
Sehingga Hastu tidak perlu memangkasnya.
“Kamu memang tanaman yang
istimewa,” ulang Hastu.
Di lain tempat, Lingga tampak
kesal. Sejak pohon hati tumbuh di halamannya, sekarang ia jadi sibuk mengurus
sampah dedaunan kering. Setiap hari ia mesti menyapu halaman rumahnya.
Seringkali angin bertiup kencang sehingga ranting-ranting kering pohon hati
juga berguguran. Dahan-dahannya juga tumbuh sembarang. Lingga mesti memangkas
dahan-dahan itu agar tidak merusak dinding atau atap rumahnya. Rerumputan liar pun
semakin banyak yang tumbuh. Lingga terpaksa sering memotong rumput-rumput itu
supaya halamannya tidak semrawut.
“Uh, menyusahkan sekali pohon
ini,” keluh Lingga.
Bulan pun berganti. Pohon hati
sudah tumbuh menjadi pohon yang amat besar. Pohon hati milik Hastu tampak
sangat indah. Dedaunannnya selalu rimbun dan hijau. Belum lagi ternyata pohon
hati menghasilkan buah merah yang amat manis. Anak-anak yang kehausan sehabis
bermain, atau hewan-hewan yang kelaparan, seringkali mendatangi pohon hati
milik Hastu. Semua orang menyukai buah pohon hati.
Meskipun pohon hati sudah tumbuh
amat besar, Hastu masih merawatnya dengan penuh kasih sayang seperti biasa.
Ketika sedang asyik duduk di
salah satu dahan pohon hati sambil menikmati buah merahnya, Hastu mendengar
suara seseorang memanggilnya. Ternyata Lingga.
“Ayo, naik ke sini,” ajak Hastu.
Wajah Lingga tampak cemberut. Ia
kelihatan enggan memanjat pohon hati. Namun Hastu mendesaknya.
“Lingga. Di sini nyaman sekali!
Ayo, naik ke atas sini!”
Akhirnya Lingga memanjat juga.
Dia pun mengambil tempat di sebelah Hastu. Mukanya tetap cemberut.
“Kenapa wajahmu murung begitu?”
tanya Hastu.
Dia mendengus sekali kemudian
berkata,
“Kenapa pohon hatimu tumbuh
subur? Sementara pohonku tidak! Aku mana bisa memanjat pohonnya. Banyak sekali
serangganya.”
Ditanya seperti itu, Hastu
kebingungan menjawabnya. Dia juga tidak mengerti mengapa pohon hati milik
Lingga tidak tumbuh subur.
“Kutebang saja pohonnya.
Membuatku susah saja,” gerutu Lingga.
“Tapi…” Hastu tidak menyelesaikan
kalimatnya. Dia sendiri tidak tahu apakah pohon hati Lingga lebih baik ditebang
atau tidak.
“Kakek itu tidak adil! Dia
memberimu biji yang baik. Sedangkan untukku biji yang buruk,” kata Lingga lagi.
Hastu kaget mendengarnya.
Ujarnya, “Tapi biji yang kita terima berasal dari biji yang sama, kan?” Ia
ingat betul kalau si kakek membelah sama persis biji tersebut. Kemudian
memberikan masing-masing bagian itu kepada dirinya dan Lingga.
“Buktinya, pohonku tidak subur,”
sungut Lingga.
“Sudahlah. Kalau kamu mau, kita
bisa berbagi pohon ini,” kata Hastu.
“Walaupun begitu, tetap saja ini
pohonmu. Tumbuhnya kan di halaman rumahmu,” sahut Lingga.
Akhirnya Lingga pun pulang dengan
wajah masih cemberut. Bahkan makin cemberut. Hastu tidak berhasil menghibur
sahabatnya itu.
Malam harinya, hujan turun begitu
lebat. Halilintar menyambar. Angin bertiup amat kencang. Udara malam menjadi
terasa sangat dingin. Hastu menarik selimutnya rapat-rapat dan tidur dengan
nyenyak. Sementara Lingga tidur dengan gelisah. Ia cemas pohon hatinya bisa
roboh kapan saja terkena tiupan angin kencang.
Keesokan paginya, Hastu
dibangunkan oleh sebuah kabar yang menggemparkan. Ternyata semalam telah
terjadi badai hebat. Ketika keluar dari rumahnya, Hastu mendapati pemandangan
yang mengejutkan.
Sebuah pohon yang tumbuh tak jauh
dari rumah Hastu, tumbang. Tetapi untungnya pohon tersebut jatuh ke arah pohon
hati. Sehingga tidak sampai menimpa atap rumah Hastu. Pohon hati telah
menahannya dengan batangnya yang tetap berdiri kokoh seperti biasa.
“Syukurlah. Pohon hati, kamu
bertahan dalam badai semalam. Bahkan kamu menyelamatkan rumah keluargaku,” ujar
Hastu terharu.
Di lain tempat, kejadian yang
hampir sama juga terjadi di tempat tinggal Lingga. Bedanya adalah, pohon hati
milik Lingga yang tumbang. Batang pohon itu tampak terbelah, dan bagiannya yang
terbelah jatuh menimpa atap rumah Lingga.
Hastu yang telah mendengar kabar
itu, buru-buru menemui Lingga di rumahnya. Hastu terenyak melihat keadaan si
pohon hati.
“Ternyata aku tidak perlu
menebangnya. Ia sudah tumbang sendiri,” kata Lingga. “Aku dengar, pohon hati
milikmu menyelamatkan rumahmu dari pohon yang roboh.”
Hastu hanya mengangguk pelan.
Walaupun sepertinya Lingga tidak melihat anggukan kepala itu.
Tiba-tiba, Lingga duduk sambil
menutupi wajahnya dengan lengannya. Kemudian terdengar sedu sedan yang
tertahan. Dan di sela isakannya, Lingga berkata lirih,
“Harus kuapakan pohon hati ini
sekarang?”
Dengan bantuan Hastu dan beberapa
orang lainnya, Lingga pun berhasil memindahkan batang pohon hati yang menimpa
rumahnya. Akhirnya yang tertinggal dari pohon hati milik Lingga hanyalah
tunggul pohon. Dan kelihatanya pohon hati itu tidak akan tumbuh lagi. Batangnya
telah kering dan hancur.
Sekarang Lingga tidak direpotkan
lagi oleh daun kering yang berguguran. Yang tersisa hanyalah tunggul pohon dan
rerumputan liar.
Setiap hari
Lingga masih tetap membersihkan rumput-rumput liar itu. Namun Lingga tidak lagi
menggerutu. Sekarang pohon hati sudah tidak ada. Ia merasa sedih karena selama
ini ia selalu bermuka cemberut pada si pohon hati.
Hari berganti
hari. Lingga masih rajin membersihkan rumput liar. Namun Lingga merasa sedikit
aneh. Semula ia tidak menyadarinya. Akhirnya ia tahu apa yang berubah. Rumput
liar yang tumbuh di sekitar pohon hati, makin hari makin berkurang. Dan setelah
beberapa waktu, rumput liar bahkan tidak tumbuh lagi. Digantikan oleh tanaman
berbunga warna-warni. Lingga sungguh takjub dibuatnya.
Namun
ternyata, ada hal lain yang lebih menakjubkan! Mata Lingga sampai melotot tak
percaya. Dengan tersandung-sandung, Lingga berlari untuk menemui sahabatnya,
Hastu.
“Ayo, ke
rumahku!” sengal Lingga. Wajahnya sampai merah karena berlari terlampau
kencang.
“Ada apa?”
tanya Hastu penasaran.
Lingga belum
lagi bernapas dengan normal. Ia sudah berlari kembali sambil berseru-seru,
“Hastu! Ayo,
cepat! Ayo!”
Saat sudah
sampai di rumahnya, Lingga langsung menuju ke tempat tunggul pohon hatinya
berada. Lingga hendak mengatakan sesuatu. Namun napasnya belum teratur.
“Lih… hat…
lih… at?” katanya tak jelas sambil menunjuk ke arah tunggul pohon hati.
Hastu yang
sama tersengalnya, mencoba mencari tahu apa yang hendak Lingga tunjukkan
padanyya. Namun ia tidak berhasil.
“Kamu lihat?”
tanya Lingga. Napasnya sudah mulai teratur. Senyuman tampak mengembang di
wajahnya.
Sekali lagi
Hastu mencoba mencari tahu. Sayangnya ia masih tidak menemukannya.
“Ng… tunggul
pohon hati?” jawab Hastu ragu-ragu. Lingga langsung mengangguk bersemangat.
Membuat Hastu makin tak mengerti.
“Kenapa dengan
pohon hati?” tanya Hastu.
“Ini! Kamu
tidak lihat?” kata Lingga. Matanya berbinar-binar gembira. “Ke arah sini! Lihat
di sebelah sini!” sambungnya.
Hastu sedikit
memutar untuk melihat sisi lainnya tunggul pohon hati.
“Lihat?” tanya
Lingga lagi.
Mata Hastu
melebar. Sambil tersenyum Hastu mengangguk senang. “Iya, lihat!” serunya.
Di sisi tunggul pohon hati, telah
tumbuh tunas baru. Selembar daun kecil berwarna hijau segar tampak
bergoyang-goyang tertiup semilir angin.
“Pohon hatinya tidak mati,” gumam
Hastu.
“Ya, pohon ini tumbuh lagi,” sahut
Lingga. “Menurutmu kenapa ia tumbuh lagi?”
“Mungkin karena kamu tidak
cemberut lagi,” jawab Hastu lalu terkikik.
Lingga mendelikkan matanya lalu
ikut terkikik bersama Hastu. Lingga teringat kembali kata-kata si kakek
misterius tentang pohon hati.
“Sekarang aku tahu kenapa pohonmu
tumbuh subur,” kata Lingga. “Karena kamu mengisinya dengan kebaikan dan penuh
cinta. Sedangkan aku, hanya menggerutu dan bermuka cemberut.”
“Eh, ingat tidak. Kata si kakek
pohon hati ini ibarat hati manusia,” ujar Hastu.
Lingga mengangguk. Keduanya lalu
membayangkan, jika hati mereka adalah biji pohon hati yang diisi dengan
keburukan dan kebencian. Mereka bisa tumbuh menjadi pohon yang jelek. Bahkan
membawa kesulitan bagi orang lain. Hastu dan Lingga tidak mau menjadi seperti
itu.
Hastu dan Lingga pun sepakat. Mereka
akan mengisi hati mereka dengan cinta dan kebaikan agar bisa tumbuh menjadi seperti
pohon hati yang baik.
Cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment