Sunday, 12 November 2017

HASTU, LINGGA & POHON HATI

ilustrasi-dongeng-hastu-linga-pohon-hati

Dongeng

Di suatu sore yang kelabu, Hastu dan Lingga bertemu dengan seorang kakek misterius. Kedua anak laki-laki itu mulanya takut. Namun sang kakek tidak terlihat berbahaya. Dan gerak-geriknya mengundang rasa ingin tahu.

Sang kakek duduk bersila, nyaris tersembunyi oleh semak-semak. Bajunya gombal. Matanya terpejam dan senyuman mengembang di wajah keriputnya.

“Mungkin orang gila,” bisik Lingga.

“Kita tanya saja, mungkin kakek itu butuh bantuan,” sahut Hastu juga dengan berbisik.


Hastu dan Lingga terlonjak dan nyaris terpekik. Sang kakek tiba-tiba membuka matanya dan menggeram, “Gila?”

“Maaf… tapi….” kata Hastu terbata-bata.

Sekali lagi dengan tiba-tiba, sang kakek melompat berdiri. Ia menyelipkan tangan ke dalam saku bajunya. Hastu dan Lingga menahan napas. Apa yang hendak dilakukan sang kakek?

Senyuman di wajah si kakek makin melebar. Hastu dan Lingga mundur selangkah saat sang kakek membungkuk dan mendekatkan wajah ke arah dua sahabat tersebut.

Dari balik saku bajunya sang kakek mengeluarkan sesuatu. Hastu dan Lingga tidak tahu apa itu. Tangan sang kakek tergenggam rapat.

“Aku hendak memberikan kalian sesuatu,” kata si kakek. “Sesuatu yang amat berharga.”

Hastu dan Lingga melongo saja. Bagaimana mungkin ada seorang kakek tak dikenal hendak memberikan sesuatu yang berharga?

Tiba-tiba wajah si kakek merengut. “Kenapa diam saja? Kalian tidak senang, ya?” tanyanya bersungut.

“Oh, bukan begitu…” sahut Hastu kebingungan.

“Berarti kalian senang?” tanya kakek lagi. Mendadak wajahnya berubah ceria.

Betapa anehnya kakek ini, pikir Hastu dan Lingga.

Sang kakek mengulurkan tangannya yang tergenggam. Perlahan-lahan ia membuka genggaman tangan itu. Mata Hastu dan Lingga melebar menanti apa yang akan mereka lihat.

“Benda ini kupersembahkan untuk kalian berdua,” kata si kakek dengan suara rendah.

Hastu membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Sementara Lingga menaikkan sebelah alisnya dan tanpa sadar bergumam, “Benda buruk apa itu?”

“Apa maksudmu benda buruk?” ulang si kakek sewot.

Sesuatu di atas telapak tangan sang kakek adalah benda berwarna coklat. Bentuknya bulat dan agak keriput.

“Kelihatannya seperti biji,” kata Hastu.

“Biji? Ini bukan sembarang biji! Ini biji ajaib!” kata si kakek. Kepalanya mengangguk-angguk.

“Oooo…” gumam Hastu dan Lingga berbarengan. Mereka ikut mengangguk.

“Kalian tidak percaya, ya?” tanya si kakek tajam.

“Kami tidak bilang begitu,” sahut Hastu cepat.

“Memangnya kenapa biji ini bisa ajaib? Apa ia bisa membawa keberuntungan?” harap Lingga.

“Lebih berharga dari itu,” jawab sang kakek. Dengan tangannya yang satu lagi, ia membelah biji tersebut. Kini biji itu terbagi dua dengan sempurna.

“Wah, bagaimana kakek bisa membelahnya sama persis begitu?” tanya Hastu kagum.

Sang kakek tersenyum lalu menyerahkan bagian biji masing-masing kepada Hastu dan Lingga.

Kening Lingga tampak berkerut. Nampaknya ia sedang berpikir.

“Kalau tidak mau, sini kuambil lagi!” ujar si kakek.

“Tidak,” jawab Lingga cepat.

“Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu.”

“Sebentar, Kek!” ujar Hastu cepat. “Mesti kami apakan biji ini?”

Sang kakek membeliakkan bola matanya. Seolah-olah pertanyaan Hastu sungguh tidak perlu ditanyakan. 

“Ya, tentu saja ditanam!” jawabnya kemudian.

Hastu dan Lingga saling mengerling. Tatapan mata mereka seolah saling berkata, “Sudah, kita terima saja. Lagipula ini cuma sekadar biji.”

Bagai bisa membaca pikiran kedua anak laki-laki itu, sang kakek berkata,

“Itu bukan sekadar biji. Seperti sudah kukatakan, itu biji ajaib.”

“Seberapa ajaib?” sangsi Lingga. “Apa kalau ditanam nanti bisa menumbuhkan harta karun?”

Sang kakek diam sesaat. Kerutan di dahinya bertambah. Ia lalu menarik sudut-sudut bibirnya membentuk kerutan di sana.

“Biji ini akan memberi kalian pelajaran yang amat berharga. Ia akan tumbuh menjadi tanaman istimewa. Namanya Pohon Hati. Rawatlah baik-baik.”

“Pohon hati?” ulang Hastu, ragu apakah ia salah dengar.

“Belum pernah dengar,”sambung Lingga.

“Kalian pernah dengar,” bantah si kakek.

“Tidak pernah. Memangnya kapan?” sahut Lingga.

“Barusan,” jawab si kakek lalu terkekeh sendirian. Lingga merengut mendengarnya.

“Dengar,” lanjut si kakek. “Pohon hati ini ibarat hati manusia. Tidak ada hati yang baik atau hati yang buruk. Yang ada hanyalah, manusia yang menjadikannya baik atau buruk. Ada yang memenuhi hati dengan cinta dan kebaikan. Ada juga manusia yang mengisi hatinya dengan keburukan dan kebencian. Akan kalian isi dengan apa biji pohon hati, seperti itulah ia akan menjadi.”

Hastu dan Lingga mencoba mencerna penjelasan si kakek barusan. Namun rasanya mereka tidak paham. Memangnya bagaimana cara mengisi biji pohon hati dengan cinta ataupun kebencian?

Langit yang sedari tadi memang kelabu, akhirnya pecah. Air hujan pun mengguyur bumi. Sang kakek yang tak dikenal melompat masuk kembali ke semak-semak. Dan tahu-tahu ia sudah tidak kelihatan lagi. Seolah menghilang ditelan hujan.

“Siapa ya kira-kira Kakek tadi?” Hastu bertanya-tanya.

“Sudahlah. Yuk, kita pulang saja,” ajak Lingga. Hujan turun dengan deras. Dalam sekejap mereka sudah basah kuyup.

Hastu mengangguk setuju. Kedua anak laki-laki itu pun berlari di tengah guyuran hujan. Di persimpangan jalan mereka berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.

Sejak hari itu sang kakek yang misterius tak pernah terlihat lagi. Hastu telah menanam setengah biji bagiannya di halaman depan rumahnya. Sementara Lingga yang merasa tidak melihat keajaiban dari biji itu, melemparkan sembarang biji tersebut di tanah di depan rumahnya.

Hari berganti hari. Dengan rajin Hastu merawat biji yang ditanamnya. Hingga suatu hari muncullah tunas pertama. Hastu amat girang. Dia tidak tahu akan berupa seperti apa pohon hati tersebut. Namun ia sangat gembira mengetahui biji yang ditanamnya telah tumbuh. Hastu semakin rajin merawat tanaman itu. Menyiraminya, memberinya pupuk, bahkan mengatakan hal-hal yang menyenangkan pada tunasnya.

“Tunas pohon hati, kata si kakek, kamu akan menjadi tanaman istimewa. Tapi menurutku, semua makhluk hidup itu istimewa,” kata Hastu, lalu tersenyum sendiri.

Sementara itu, Lingga tidak memedulikan sama sekali bagian biji miliknya. Di hari yang sama dengan munculnya tunas milik Hastu, di halaman depan rumah Lingga juga muncul tunas yang serupa. Akan tetapi Lingga cuma mengerucutkan bibir ke arah tunas itu.

“Apa istimewanya?” gerutunya.

Minggu demi minggu pun berganti. Tunas Hastu dan Lingga tumbuh amat pesat menjadi batang pohon. Tingginya sudah melebihi atap rumah. Hastu terkagum-kagum menyadari betapa cepatnya pohon hati ini tumbuh.

“Kamu memang tanaman yang istimewa,” kata Hastu pada pohon hatinya di suatu sore yang berangin. Ia duduk bersandar di batangnya sambil membaca buku. Kadang-kadang Hastu hanya duduk di situ untuk menikmati alam.

Sejak keberadaan pohon hati di halamannya, rumah Hastu menjadi sangat sejuk. Selain itu, bunga-bunga warna-warni juga tumbuh sendiri di sekitar pohon hati. Membentuk kebun kecil dengan sendirinya. Dedaunan kering yang gugur dari pohon hati juga tidak menumpuk di tanah. Entah dari mana datangnya, sekarang banyak cacing yang mengunyah daun kering. Halaman Hastu jadi bebas dari sampah dedaunan kering.

Dahan pohon hati milik Hastu juga tumbuh dengan baik. Tidak ada dahan yang mengenai dinding atau atap rumah. Sehingga Hastu tidak perlu memangkasnya.

“Kamu memang tanaman yang istimewa,” ulang Hastu. 

Di lain tempat, Lingga tampak kesal. Sejak pohon hati tumbuh di halamannya, sekarang ia jadi sibuk mengurus sampah dedaunan kering. Setiap hari ia mesti menyapu halaman rumahnya. Seringkali angin bertiup kencang sehingga ranting-ranting kering pohon hati juga berguguran. Dahan-dahannya juga tumbuh sembarang. Lingga mesti memangkas dahan-dahan itu agar tidak merusak dinding atau atap rumahnya. Rerumputan liar pun semakin banyak yang tumbuh. Lingga terpaksa sering memotong rumput-rumput itu supaya halamannya tidak semrawut.

“Uh, menyusahkan sekali pohon ini,” keluh Lingga.

Bulan pun berganti. Pohon hati sudah tumbuh menjadi pohon yang amat besar. Pohon hati milik Hastu tampak sangat indah. Dedaunannnya selalu rimbun dan hijau. Belum lagi ternyata pohon hati menghasilkan buah merah yang amat manis. Anak-anak yang kehausan sehabis bermain, atau hewan-hewan yang kelaparan, seringkali mendatangi pohon hati milik Hastu. Semua orang menyukai buah pohon hati.

Meskipun pohon hati sudah tumbuh amat besar, Hastu masih merawatnya dengan penuh kasih sayang seperti biasa. 

Ketika sedang asyik duduk di salah satu dahan pohon hati sambil menikmati buah merahnya, Hastu mendengar suara seseorang memanggilnya. Ternyata Lingga.

“Ayo, naik ke sini,” ajak Hastu.

Wajah Lingga tampak cemberut. Ia kelihatan enggan memanjat pohon hati. Namun Hastu mendesaknya.

“Lingga. Di sini nyaman sekali! Ayo, naik ke atas sini!”

Akhirnya Lingga memanjat juga. Dia pun mengambil tempat di sebelah Hastu. Mukanya tetap cemberut.

“Kenapa wajahmu murung begitu?” tanya Hastu.

Dia mendengus sekali kemudian berkata,

“Kenapa pohon hatimu tumbuh subur? Sementara pohonku tidak! Aku mana bisa memanjat pohonnya. Banyak sekali serangganya.”

Ditanya seperti itu, Hastu kebingungan menjawabnya. Dia juga tidak mengerti mengapa pohon hati milik Lingga tidak tumbuh subur.

“Kutebang saja pohonnya. Membuatku susah saja,” gerutu Lingga.

“Tapi…” Hastu tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia sendiri tidak tahu apakah pohon hati Lingga lebih baik ditebang atau tidak.

“Kakek itu tidak adil! Dia memberimu biji yang baik. Sedangkan untukku biji yang buruk,” kata Lingga lagi.

Hastu kaget mendengarnya. Ujarnya, “Tapi biji yang kita terima berasal dari biji yang sama, kan?” Ia ingat betul kalau si kakek membelah sama persis biji tersebut. Kemudian memberikan masing-masing bagian itu kepada dirinya dan Lingga.

“Buktinya, pohonku tidak subur,” sungut Lingga.

“Sudahlah. Kalau kamu mau, kita bisa berbagi pohon ini,” kata Hastu.

“Walaupun begitu, tetap saja ini pohonmu. Tumbuhnya kan di halaman rumahmu,” sahut Lingga.

Akhirnya Lingga pun pulang dengan wajah masih cemberut. Bahkan makin cemberut. Hastu tidak berhasil menghibur sahabatnya itu.

Malam harinya, hujan turun begitu lebat. Halilintar menyambar. Angin bertiup amat kencang. Udara malam menjadi terasa sangat dingin. Hastu menarik selimutnya rapat-rapat dan tidur dengan nyenyak. Sementara Lingga tidur dengan gelisah. Ia cemas pohon hatinya bisa roboh kapan saja terkena tiupan angin kencang.

Keesokan paginya, Hastu dibangunkan oleh sebuah kabar yang menggemparkan. Ternyata semalam telah terjadi badai hebat. Ketika keluar dari rumahnya, Hastu mendapati pemandangan yang mengejutkan.

Sebuah pohon yang tumbuh tak jauh dari rumah Hastu, tumbang. Tetapi untungnya pohon tersebut jatuh ke arah pohon hati. Sehingga tidak sampai menimpa atap rumah Hastu. Pohon hati telah menahannya dengan batangnya yang tetap berdiri kokoh seperti biasa.

“Syukurlah. Pohon hati, kamu bertahan dalam badai semalam. Bahkan kamu menyelamatkan rumah keluargaku,” ujar Hastu terharu.

Di lain tempat, kejadian yang hampir sama juga terjadi di tempat tinggal Lingga. Bedanya adalah, pohon hati milik Lingga yang tumbang. Batang pohon itu tampak terbelah, dan bagiannya yang terbelah jatuh menimpa atap rumah Lingga.

Hastu yang telah mendengar kabar itu, buru-buru menemui Lingga di rumahnya. Hastu terenyak melihat keadaan si pohon hati. 

“Ternyata aku tidak perlu menebangnya. Ia sudah tumbang sendiri,” kata Lingga. “Aku dengar, pohon hati milikmu menyelamatkan rumahmu dari pohon yang roboh.”

Hastu hanya mengangguk pelan. Walaupun sepertinya Lingga tidak melihat anggukan kepala itu.

Tiba-tiba, Lingga duduk sambil menutupi wajahnya dengan lengannya. Kemudian terdengar sedu sedan yang tertahan. Dan di sela isakannya, Lingga berkata lirih,

“Harus kuapakan pohon hati ini sekarang?”

Dengan bantuan Hastu dan beberapa orang lainnya, Lingga pun berhasil memindahkan batang pohon hati yang menimpa rumahnya. Akhirnya yang tertinggal dari pohon hati milik Lingga hanyalah tunggul pohon. Dan kelihatanya pohon hati itu tidak akan tumbuh lagi. Batangnya telah kering dan hancur.

Sekarang Lingga tidak direpotkan lagi oleh daun kering yang berguguran. Yang tersisa hanyalah tunggul pohon dan rerumputan liar.

Setiap hari Lingga masih tetap membersihkan rumput-rumput liar itu. Namun Lingga tidak lagi menggerutu. Sekarang pohon hati sudah tidak ada. Ia merasa sedih karena selama ini ia selalu bermuka cemberut pada si pohon hati.

Hari berganti hari. Lingga masih rajin membersihkan rumput liar. Namun Lingga merasa sedikit aneh. Semula ia tidak menyadarinya. Akhirnya ia tahu apa yang berubah. Rumput liar yang tumbuh di sekitar pohon hati, makin hari makin berkurang. Dan setelah beberapa waktu, rumput liar bahkan tidak tumbuh lagi. Digantikan oleh tanaman berbunga warna-warni. Lingga sungguh takjub dibuatnya.

Namun ternyata, ada hal lain yang lebih menakjubkan! Mata Lingga sampai melotot tak percaya. Dengan tersandung-sandung, Lingga berlari untuk menemui sahabatnya, Hastu.

“Ayo, ke rumahku!” sengal Lingga. Wajahnya sampai merah karena berlari terlampau kencang.

“Ada apa?” tanya Hastu penasaran.

Lingga belum lagi bernapas dengan normal. Ia sudah berlari kembali sambil berseru-seru,

“Hastu! Ayo, cepat! Ayo!”

Saat sudah sampai di rumahnya, Lingga langsung menuju ke tempat tunggul pohon hatinya berada. Lingga hendak mengatakan sesuatu. Namun napasnya belum teratur.

“Lih… hat… lih… at?” katanya tak jelas sambil menunjuk ke arah tunggul pohon hati.

Hastu yang sama tersengalnya, mencoba mencari tahu apa yang hendak Lingga tunjukkan padanyya. Namun ia tidak berhasil.

“Kamu lihat?” tanya Lingga. Napasnya sudah mulai teratur. Senyuman tampak mengembang di wajahnya.

Sekali lagi Hastu mencoba mencari tahu. Sayangnya ia masih tidak menemukannya.

“Ng… tunggul pohon hati?” jawab Hastu ragu-ragu. Lingga langsung mengangguk bersemangat. Membuat Hastu makin tak mengerti.

“Kenapa dengan pohon hati?” tanya Hastu.

“Ini! Kamu tidak lihat?” kata Lingga. Matanya berbinar-binar gembira. “Ke arah sini! Lihat di sebelah sini!” sambungnya.

Hastu sedikit memutar untuk melihat sisi lainnya tunggul pohon hati.

“Lihat?” tanya Lingga lagi. 

Mata Hastu melebar. Sambil tersenyum Hastu mengangguk senang. “Iya, lihat!” serunya.

Di sisi tunggul pohon hati, telah tumbuh tunas baru. Selembar daun kecil berwarna hijau segar tampak bergoyang-goyang tertiup semilir angin.

“Pohon hatinya tidak mati,” gumam Hastu.

“Ya, pohon ini tumbuh lagi,” sahut Lingga. “Menurutmu kenapa ia tumbuh lagi?”

“Mungkin karena kamu tidak cemberut lagi,” jawab Hastu lalu terkikik.

Lingga mendelikkan matanya lalu ikut terkikik bersama Hastu. Lingga teringat kembali kata-kata si kakek misterius tentang pohon hati.

“Sekarang aku tahu kenapa pohonmu tumbuh subur,” kata Lingga. “Karena kamu mengisinya dengan kebaikan dan penuh cinta. Sedangkan aku, hanya menggerutu dan bermuka cemberut.”

“Eh, ingat tidak. Kata si kakek pohon hati ini ibarat hati manusia,” ujar Hastu.

Lingga mengangguk. Keduanya lalu membayangkan, jika hati mereka adalah biji pohon hati yang diisi dengan keburukan dan kebencian. Mereka bisa tumbuh menjadi pohon yang jelek. Bahkan membawa kesulitan bagi orang lain. Hastu dan Lingga tidak mau menjadi seperti itu.

Hastu dan Lingga pun sepakat. Mereka akan mengisi hati mereka dengan cinta dan kebaikan agar bisa tumbuh menjadi seperti pohon hati yang baik.


Cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment