Sunday 25 February 2018

MONKI NGAMBEK


ilustrasi-fiksi-anak-monki-ngambek

Cerita Anak


KAMPUNG Pipit mendadak heboh. Kejadiannya Minggu pagi hari. Tiba-tiba muncul seekor monyet tak dikenal yang berkeliaran. Monyet tersebut mengejar sekelompok anak yang sedang bermain di lapangan. Anak-anak itu menjerit dan tertawa. Mereka menyebar supaya monyet itu tidak lagi mengejar. Namun si monyet terus saja mengikuti. Malangnya, dia berlari mengejar Pipit. Anak itu menjerit-jerit saat si monyet mencoba bergelantungan di kakinya. Dia merasa geli.

“Eh, itu kan monyet peliharaannya Ilman!” seru seorang anak, mendadak mengenali.

“Oh, iya, itu kan si Monki. Kenapa berkeliaran begini?” sahut yang lain.

Pipit tidak peduli apakah monyet ini benar-benar si Monki peliharaan temannya, Ilman, atau bukan. Yang ada di kepalanya sekarang adalah berlari secepat mungkin. Atau mencari tempat persembunyian sebagus mungkin. Pipit heran, dari sekian banyak anak, kenapa Monki memilih dia? Ke mana pun Pipit berlari, ke situ juga Monki mengikuti. Akhirnya Pipit menyadari sesuatu, belakang kaosnya ada gambar pisang.

“Tolong!” jerit Pipit. Dia berlari menuju rumahnya. Orang-orang yang menyaksikan malah tertawa lucu.

“Ibu, tolongin Pipit!” teriak Pipit. Ibunya yang sedang melayani seorang pembeli di warungnya, heran melihat Pipit tersengal-sengal.

“Pipit, kamu main apa pagi-pagi begini sampai ngos-ngosan?”
“Monyet.”

“Monyet? ” tanya ibunya tak paham. “Ibu belum pernah dengar permainan semacam itu.”

“Monki!” engah Pipit. “Tolongin Monki—eh, maksudnya tolongin Pipit!”

“Hah? Monki? Siapa Monk—AAAAAH!” Ibunya Pipit tiba-tiba berteriak. Monki baru saja melompat ke arahnya. Si pembeli juga berteriak kaget dan menjatuhkan barang belanjaannya.

Melihat Monki tidak lagi mengincar kakinya, Pipit mengembus lega. Tetapi giliran ibu yang jadi kalang kabut. Monki melompat dari satu stoples ke stoples lain. Ia juga mencoba bergelantungan di beberapa rak.

“Monki!” teriak Pipit, mencoba menghentikan si monyet dari kenakalannya. Namun ketika Monki berbalik ke arahnya, Pipit jadi deg-degan. Jangan-jangan Monki akan menjadikannya target lagi. Saking cemasnya Pipit sampai menahan napas.

Sekali lagi Pipit mengembus lega. Tampaknya Monki tidak lagi tertarik pada gambar pisang di belakang kaosnya. Mungkin Monki sudah tahu kalau itu bukan pisang betulan.

Rupanya Monki punya sasaran baru. Ia tertarik pada jajanan di warung. Dia mengobrak-abrik di situ. Stoples-stoples bergulingan. Isinya berhamburan. Namun Monki berhenti di suatu tempat. Dia tertarik pada permen kacang. Monki menyobek bungkusnya dan memakan isinya. Setelah habis, dia membuka bungkus lainnya. Pipit tertawa lucu sementara ibunya bengong dagangannya dibuat kacau balau.

“Cepat, usir. Monki kan tidak bisa bayar permen kacangnya,” kata ibu Pipit.

“Ibu benar. Monki kan tidak punya uang,” sahut Pipit.

Sebetulnya Pipit tidak berani menangkap Monki. Namun dicobanya juga. Ketika Monki sedang asyik memakan permen kacang, Pipit mencoba menangkapnya. Sayang tidak berhasil. Monki melompat ke bagian rak yang lebih tinggi. Untunglah tak lama dari itu Ilman muncul.

“Ilman!” seru Pipit lega.

“Aku sedang mencari Monki, monyet peliharaanku. Apa ada di sini?” tanya Ilman. Ia memandang berkeliling warung dan kaget. Warung Pipit terlihat berantakan. Sementara itu Pipit langsung menunjuk rak tempat Monki berada. Ilman lebih kaget lagi. Di rak yang ditunjuk Pipit tampak Monki sedang asyik menyobek bungkusan permen.

“Monki, ayo turun!” kata Ilman. Ia berjalan mendekat dan mengulurkan tangan untuk menangkap monyet itu. Pipit dan ibunya terlihat lega ketika Monki sudah berada di tangan pemiliknya.

“Monki kenapa, sih?” tanya Pipit. Dia memang tidak terlalu kenal Monki. Tetapi ia juga belum pernah mendengar cerita tentang Monki membuat kekacauan. Ilman tampak merasa sangat tidak enak dengan kejadian ini.

“Maaf, ya, Pit. Maaf ya, Tante. Monki jadi mengacak-acak warung ini,” kata Ilman pada Pipit dan ibunya. Kemudian ia pun menceritakan mengapa Monki bisa jadi seperti ini. 

“Sebenarnya semua ini salahku. Monki lari dari rumah. Dia ngambek gara-gara aku sering lupa padanya. Padahal seharusnya kan aku yang merawat dan mengajaknya bermain.”

“Oh, begitu,” kata Pipit. Ia manggut-manggut karena sudah mengerti persoalannya. “Memang, sih, kalau punya binatang peliharaan, kita harus menyayanginya dan merawatnya dengan baik. Kita harus bertanggung jawab terhadap binatang peliharaan kita.”

Ilman mengangguk. “Maaf ya, sudah bikin heboh,” sesal Ilman.

Pipit tersenyum. “Tidak apa-apa, kok. Stoples-stoplesnya bisa disusun kembali,” katanya.

“Terima kasih, ya, Pit,” kata Ilman. Lalu ia beralih ke monyet peliharaannya. “Monki, maafin aku juga ya. Aku janji akan merawatmu dengan baik.”

Ilman pun membawa Monki pulang. Sebelumnya ia berjanji akan mengganti kerusakan di warung ibunya Pipit.

Sementara itu Pipit membantu ibunya membenahi warung. Pagi itu Monki betul-betul sudan bikin heboh.


Cerita & illustrasi oleh Angewid


No comments:

Post a Comment