Cerita Anak
KAMPUNG Pipit mendadak heboh.
Kejadiannya Minggu pagi hari. Tiba-tiba muncul seekor monyet tak dikenal yang
berkeliaran. Monyet tersebut mengejar sekelompok anak yang sedang bermain di
lapangan. Anak-anak itu menjerit dan tertawa. Mereka menyebar supaya monyet itu
tidak lagi mengejar. Namun si monyet terus saja mengikuti. Malangnya, dia
berlari mengejar Pipit. Anak itu menjerit-jerit saat si monyet mencoba
bergelantungan di kakinya. Dia merasa geli.
“Eh, itu kan
monyet peliharaannya Ilman!” seru seorang anak, mendadak mengenali.
“Oh, iya, itu
kan si Monki. Kenapa berkeliaran begini?” sahut yang lain.
Pipit tidak
peduli apakah monyet ini benar-benar si Monki peliharaan temannya, Ilman, atau
bukan. Yang ada di kepalanya sekarang adalah berlari secepat mungkin. Atau
mencari tempat persembunyian sebagus mungkin. Pipit heran, dari sekian banyak
anak, kenapa Monki memilih dia? Ke mana pun Pipit berlari, ke situ juga Monki
mengikuti. Akhirnya Pipit menyadari sesuatu, belakang kaosnya ada gambar pisa ng.
“Tolong!” jerit
Pipit. Dia berlari menuju rumahnya. Orang-orang yang menyaksikan malah tertawa
lucu.
“Ibu, tolongin
Pipit!” teriak Pipit. Ibunya yang sedang melayani seorang pembeli di warungnya,
heran melihat Pipit tersengal-sengal.
“Pipit, kamu
main apa pagi-pagi begini sampai ngos-ngosan?”
“Monyet.”
“Monyet? ” tanya
ibunya tak paham. “Ibu belum pernah dengar permainan semacam itu.”
“Monki!” engah
Pipit. “Tolongin Monki—eh, maksudnya tolongin Pipit!”
“Hah? Monki?
Siapa Monk—AAAAAH!” Ibunya Pipit tiba-tiba berteriak. Monki baru saja melompat
ke arahnya. Si pembeli juga berteriak kaget dan menjatuhkan barang
belanjaannya.
Melihat Monki
tidak lagi mengincar kakinya, Pipit mengembus lega. Tetapi giliran ibu yang
jadi kalang kabut. Monki melompat dari satu stoples ke stoples lain. Ia juga
mencoba bergelantungan di beberapa rak.
“Monki!” teriak
Pipit, mencoba menghentikan si monyet dari kenakalannya. Namun ketika Monki
berbalik ke arahnya, Pipit jadi deg-degan. Jangan-jangan Monki akan
menjadikannya target lagi. Saking cemasnya Pipit sampai menahan napas.
Sekali lagi
Pipit mengembus lega. Tampaknya Monki tidak lagi tertarik pada gambar pisang di
belakang kaosnya. Mungkin Monki sudah tahu kalau itu bukan pisang betulan.
Rupanya Monki
punya sasaran baru. Ia tertarik pada jajanan di warung. Dia mengobrak-abrik di
situ. Stoples-stoples bergulingan. Isinya berhamburan. Namun Monki berhenti di
suatu tempat. Dia tertarik pada permen kacang. Monki menyobek bungkusnya dan
memakan isinya. Setelah habis, dia membuka bungkus lainnya. Pipit tertawa lucu
sementara ibunya bengong dagangannya dibuat kacau balau.
“Cepat, usir.
Monki kan
tidak bisa bayar permen kacangnya,” kata ibu Pipit.
“Ibu benar.
Monki kan tidak punya uang,” sahut Pipit.
Sebetulnya Pipit
tidak berani menangkap Monki. Namun dicobanya juga. Ketika Monki sedang asyik
memakan permen kacang, Pipit mencoba menangkapnya. Sayang tidak berhasil. Monki
melompat ke bagian rak yang lebih tinggi. Untunglah tak lama dari itu Ilman
muncul.
“Ilman!” seru
Pipit lega.
“Aku sedang
mencari Monki, monyet peliharaanku. Apa ada di sini?” tanya Ilman. Ia memandang
berkeliling warung dan kaget. Warung Pipit terlihat berantakan. Sementara itu
Pipit langsung menunjuk rak tempat Monki berada. Ilman lebih kaget lagi. Di rak
yang ditunjuk Pipit tampak Monki sedang asyik menyobek bungkusan permen.
“Monki, ayo
turun!” kata Ilman. Ia berjalan mendekat dan mengulurkan tangan untuk menangkap
monyet itu. Pipit dan ibunya terlihat lega ketika Monki sudah berada di tangan
pemiliknya.
“Monki kenapa,
sih?” tanya Pipit. Dia memang tidak terlalu kenal Monki. Tetapi ia juga belum
pernah mendengar cerita tentang Monki membuat kekacauan. Ilman tampak merasa
sangat tidak enak dengan kejadian ini.
“Maaf, ya, Pit.
Maaf ya, Tante. Monki jadi mengacak-acak warung ini,” kata Ilman pada Pipit dan
ibunya. Kemudian ia pun menceritakan mengapa Monki bisa jadi seperti ini.
“Sebenarnya semua ini salahku. Monki lari dari rumah. Dia ngambek gara-gara aku
sering lupa padanya. Padahal seharusnya kan aku yang merawat dan mengajaknya
bermain.”
“Oh, begitu,”
kata Pipit. Ia manggut-manggut karena sudah mengerti persoalannya. “Memang,
sih, kalau punya binatang peliharaan, kita harus menyayanginya dan merawatnya
dengan baik. Kita harus bertanggung jawab terhadap binatang peliharaan kita.”
Ilman
mengangguk. “Maaf ya, sudah bikin heboh,” sesal Ilman.
Pipit tersenyum.
“Tidak apa-apa, kok. Stoples-stoplesnya bisa disusun kembali,” katanya.
“Terima kasih,
ya, Pit,” kata Ilman. Lalu ia beralih ke monyet peliharaannya. “Monki, maafin aku
juga ya. Aku janji akan merawatmu dengan baik.”
Ilman pun
membawa Monki pulang. Sebelumnya ia berjanji akan mengganti kerusakan di warung
ibunya Pipit.
Sementara itu
Pipit membantu ibunya membenahi warung. Pagi itu Monki betul-betul sudan bikin
heboh.
Cerita & illustrasi oleh Angewid
No comments:
Post a Comment