Tuesday, 8 December 2020

NAIDA SI PEMBAWA HUJAN

Dongeng

Naida berjalan cepat melewati lahan pertanian yang tandus. Sejauh mata memandang hanya pohon kering. Di tangan Naida ada ember kecil berisi air.

Tak jauh di depannya Naida bisa melihat makhluk kecil berwarna hijau. Naida menghampirinya.

“Kamu satu-satunya tanaman yang masih hijau. Ini kubawakan air. Teman-temanmu semua sudah kering karena kemarau panjang,” katanya sedih.

Baru saja Naida hendak mengairi tanaman itu, tiba-tiba si tanaman bergoyang lalu terdengar suara,

“Aku butuh bantuanmu.”


“K-k-k-kamu bicara?” Anak perempuan itu terheran-heran.

“Namaku Tanaman. Kita tidak punya banyak waktu,” kata Tanaman cepat. “Kemarau ini sudah terlalu lama. Tumbuhan di sini tidak akan bertahan lebih lama lagi.”

“Apa yang bisa kubantu?” tanya Naida.

“Aku ingin kamu menjadi Pembawa Hujan. Pergilah ke Lautan untuk mengambil sebanyak-banyaknya uap air. Lalu bawalah ke Angin, minta padanya agar uap air tersebut ditiup kesini.”

Naida bimbang. “Aku tidak bisa melakukannya.”

“Kenapa? Manusia yang menyebabkan kekeringan ini. Manusia suka menebang pohon di hutan secara liar. Manusia harus bertanggung jawab.”

Bukannya Naida tidak ingin menolong. Ia tidak tahu apa yang bisa dilakukannya.

Tiba-tiba air dalam ember bergejolak membuat ember itu bergetar. Air tersebut bergulung dan mengepung Naida.

“Apa yang terjadi?!” teriak Naida ketakutan.

Air yang menggulung itu tiba-tiba berubah menjadi gelembung-gelembung kecil. Di salah satu gelembung itu, Naida terkurung.

“Terbanglah ke Lautan!” teriak Tanaman.

Naida sekarang berukuran tak lebih besar dari seekor semut. Gelembung air yang mengurungnya terbang melayang tertiup angin.

Perjalanan Naida ternyata sangat panjang. Entah sudah berapa kali ia mengalami pergantian siang dan malam. Ajaibnya Naida tidak pernah merasa mengantuk atau lapar.

Tanaman memberitahunya untuk pergi ke Lautan. Bagaimana caranya? Apakah arah angin menuju Lautan? Apakah Lautan yang dimaksudkan adalah benar-benar lautan? Ataukah hanya sekadar sebutan?

Setelah penantian yang panjang, Naida bisa melihat hamparan biru air laut di bawahnya.

Tiba-tiba gelembung yang menyelubungi Naida pecah. Tak terelakkan Naida terjun bebas ke lautan. Ia menjerit sekuat-kuatnya. Matanya dipejamkan tak berani melihat kebawah. Apa yang akan terjadi jika jatuh dari ketinggian begini?

Ia bisa merasakan air laut yang hangat karena matahari. Tetapi kok tidak sakit? Oh, Naida teringat. Tubuhnya sekarang jauh lebih ringan. Akibatnya gaya gravitasi berpengaruh lebih sedikit. Seperti semut yang jatuh dari ketinggian. Dia akan baik-baik saja.

Tetapi ketakutan Naida belum berakhir. Bagaimana ia bisa bertahan di dalam air sekalipun ia bisa berenang? Tanaman tidak memberitahunya tentang apapun. Kecuali bahwa ia harus menemui Lautan dan meminta uap air sebanyak-banyaknya. Mungkin aku harus mengajak Lautan bicara, pikir Naida.

“Lautan,” panggil Naida. Tubuhnya terombang-ambing di permukaan laut. Tak ada yang menjawab. Tak putus asa, Naida mencoba lagi. “Namaku Naida. Aku ingin minta tolong.”

Naida tidak tahu bagaimana caranya meminta uap air. Naida ingat pelajarannya di sekolah. Ibu guru pernah menjelaskan tentang bagaimana terjadinya hujan. Air lautan akan menguap karena pemanasan oleh sinar matahari. Uap tersebut akan berubah menjadi titik-titik air. Kumpulan titik-titik air di atmosfer membentuk awan. Bila awan sudah menjadi benar-benar padat dan terkena udara dingin, akan menjadi rintik hujan.

Di tengah kegelisahannya tiba-tiba terdengar suara,

“Naida, aku Lautan. Apa yang kamu inginkan dariku?”

“Tolong berikan aku uap air sebanyak-banyaknya. Aku memerlukannya untuk temanku Tanaman. Ia hampir mati karena kekeringan.”

“Permintaanmu sangat sulit.”

“Tolonglah, Lautan. Kampung tempatku berasal sangat kekeringan,” mohon Naida.

“Hmmm baiklah… tetapi itu tidak mudah.”

“Aku akan berusaha,” kata Naida yakin.

“Agar selama perjalanan uap air tidak berubah menjadi awan dan menjadi rintik hujan sebelum tiba di tujuan, harus ada yang menjaganya.”

“Aku bisa menjaganya,” sahut Naida cepat.

“Kalau begitu kamu bersedia menjadi Udara Panas.”

“Apa?!” seru Naida.

“Iya. Udara Panas bisa menjaga uap air agar tidak berubah menjadi titik air.”

Naida diam sejenak. “Baiklah, aku bersedia jika itu bisa menolong.”

Air laut di sekitar Naida berpusing. Ia ikut terjebak di dalamnya. Napas Naida sudah megap-megap. Ia akan segera tenggelam hingga tiba-tiba Naida merasa tubuhnya menjadi lebih ringan. Ia mencoba mengangkat tangannya. Naida sangat kaget. Ia bisa melihat menembus tangannya. Naida pun sadar kalau seluruh tubuhnya berubah tembus pandang. Seperti halnya uap air panas.

Perlahan Naida naik ke udara. Setelah wujudnya berubah, kini Naida bisa melihat air laut yang menguap dan naik ke udara. Buru-buru Naida melayang mendekatinya. Ketika Naida mengulurkan tangannya uap air itu langsung melekat padanya. Semakin banyak uap air yang Naida tangkap, Naida merasakan badannya lebih berat.

Naida khawatir uap air yang dibawanya akan berubah menjadi titik air karena ia merasakan tubuhnya sudah semakin berat. Sementara tempat tinggalnya masih belum kelihatan. Lalu Naida teringat pesan Tanaman untuk minta pertolongan Angin.

“Angin!” panggil Naida. “Bolehkah aku minta pertolongan? Tolong tiup aku dan uap-uap air ini ke tempatku berasal.”

Naida kaget ketika terdengar suara gemuruh. Semula ia kira itu suara halilintar. Namun suara itu berbicara padanya.

“Aku bisa menolongmu. Namun kamu harus melakukan sesuatu.”

“Akan kulakukan,” jawab Naida yakin.

“Aku minta sebagian dirimu tinggal untuk menjaga uap air disini. Aku perlu udara panas karena iklim yang sudah tak menentu.”

Naida tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia juga tidak tahu apakah ia bisa kembali menjadi manusia. Namun tekad Naida sudah bulat. Dia tidak ingin kekeringan berkepanjangan lebih lama lagi di kampungnya. “Aku bersedia,” jawab Naida.

Tubuh Naida terasa jauh lebih ringan dan tiba-tiba ia melesat sangat cepat. Hanya butuh waktu sekejap Naida telah sampai di kampungnya. Naida melepaskan uap-uap air yang dibawanya dan seketika turunlah hujan.

Naida tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ia hanya merasakan tubuhnya menjadi semakin tembus pandang dan akhirnya menghilang sama sekali. Namun Naida bisa mendengar sebuah suara.

“Terima kasih, Naida. Pengorbananmu sungguh besar.” Naida bisa mengenali suara Tanaman. “Aku akan minta pada temanku untuk menolongmu.”

Awan hujan bergeser sehingga cahaya matahari bisa menembus. Cahaya matahari yang melewati butiran air hujan menciptakan pelangi. Naida merasakan pelangi itu jatuh menyiraminya. Perlahan Naida bisa melihat tubuhnya mulai berwarna. Makin lama makin padat dan akhirnya wujud Naida kembali seperti semula.

Hujan masih turun. Suasana amat sejuk. Naida bisa melihat Tanaman. Tanaman mengangguk-angguk, tetapi tidak lagi bicara. Naida tersenyum lalu mulai melangkahkan kaki di atas tanah yang basah. Ia pulang ke rumahnya dengan perasaan suka cita.


Cerita & ilustrasi oleh Angewid

                                                             


No comments:

Post a Comment