Dongeng
Naida berjalan cepat melewati lahan pertanian yang tandus. Sejauh mata memandang hanya pohon kering. Di tangan Naida ada ember kecil berisi air.
Tak
jauh di depannya Naida bisa melihat makhluk kecil berwarna hijau. Naida menghampirinya.
“Kamu
satu-satunya tanaman yang masih hijau. Ini kubawakan air. Teman-temanmu semua
sudah kering karena kemarau panjang,” katanya sedih.
Baru
saja Naida hendak mengairi tanaman itu, tiba-tiba si tanaman bergoyang lalu
terdengar suara,
“Aku
butuh bantuanmu.”
“K-k-k-kamu
bicara?” Anak perempuan itu terheran-heran.
“Namaku
Tanaman. Kita tidak punya banyak waktu,” kata Tanaman cepat. “Kemarau ini sudah
terlalu lama. Tumbuhan di sini tidak akan bertahan lebih lama lagi.”
“Apa
yang bisa kubantu?” tanya Naida.
“Aku
ingin kamu menjadi Pembawa Hujan. Pergilah ke Lautan untuk mengambil
sebanyak-banyaknya uap air. Lalu bawalah ke Angin, minta padanya agar uap air
tersebut ditiup kesini.”
Naida
bimbang. “Aku tidak bisa melakukannya.”
“Kenapa?
Manusia yang menyebabkan kekeringan ini. Manusia suka menebang pohon di hutan
secara liar. Manusia harus bertanggung jawab.”
Bukannya
Naida tidak ingin menolong. Ia tidak tahu apa yang bisa dilakukannya.
Tiba-tiba
air dalam ember bergejolak membuat ember itu bergetar. Air tersebut bergulung dan
mengepung Naida.
“Apa
yang terjadi?!” teriak Naida ketakutan.
Air
yang menggulung itu tiba-tiba berubah menjadi gelembung-gelembung kecil. Di salah
satu gelembung itu, Naida terkurung.
“Terbanglah
ke Lautan!” teriak Tanaman.
Naida
sekarang berukuran tak lebih besar dari seekor semut. Gelembung air yang
mengurungnya terbang melayang tertiup angin.
Perjalanan
Naida ternyata sangat panjang. Entah sudah berapa kali ia mengalami pergantian
siang dan malam. Ajaibnya Naida tidak pernah merasa mengantuk atau lapar.
Tanaman
memberitahunya untuk pergi ke Lautan. Bagaimana caranya? Apakah arah angin
menuju Lautan? Apakah Lautan yang dimaksudkan adalah benar-benar lautan?
Ataukah hanya sekadar sebutan?
Setelah
penantian yang panjang, Naida bisa melihat hamparan biru air laut di bawahnya.
Tiba-tiba
gelembung yang menyelubungi Naida pecah. Tak terelakkan Naida terjun bebas ke
lautan. Ia menjerit sekuat-kuatnya. Matanya dipejamkan tak berani melihat
kebawah. Apa yang akan terjadi jika jatuh dari ketinggian begini?
Ia
bisa merasakan air laut yang hangat karena matahari. Tetapi kok tidak sakit? Oh,
Naida teringat. Tubuhnya sekarang jauh lebih ringan. Akibatnya gaya gravitasi
berpengaruh lebih sedikit. Seperti semut yang jatuh dari ketinggian. Dia akan
baik-baik saja.
Tetapi
ketakutan Naida belum berakhir. Bagaimana ia bisa bertahan di dalam air
sekalipun ia bisa berenang? Tanaman tidak memberitahunya tentang apapun.
Kecuali bahwa ia harus menemui Lautan dan meminta uap air sebanyak-banyaknya.
Mungkin aku harus mengajak Lautan bicara, pikir Naida.
“Lautan,”
panggil Naida. Tubuhnya terombang-ambing di permukaan laut. Tak ada yang
menjawab. Tak putus asa, Naida mencoba lagi. “Namaku Naida. Aku ingin minta
tolong.”
Naida
tidak tahu bagaimana caranya meminta uap air. Naida ingat pelajarannya di
sekolah. Ibu guru pernah menjelaskan tentang bagaimana terjadinya hujan. Air
lautan akan menguap karena pemanasan oleh sinar matahari. Uap tersebut akan
berubah menjadi titik-titik air. Kumpulan titik-titik air di atmosfer membentuk
awan. Bila awan sudah menjadi benar-benar padat dan terkena udara dingin, akan
menjadi rintik hujan.
Di
tengah kegelisahannya tiba-tiba terdengar suara,
“Naida,
aku Lautan. Apa yang kamu inginkan dariku?”
“Tolong
berikan aku uap air sebanyak-banyaknya. Aku memerlukannya untuk temanku
Tanaman. Ia hampir mati karena kekeringan.”
“Permintaanmu
sangat sulit.”
“Tolonglah,
Lautan. Kampung tempatku berasal sangat kekeringan,” mohon Naida.
“Hmmm
baiklah… tetapi itu tidak mudah.”
“Aku
akan berusaha,” kata Naida yakin.
“Agar
selama perjalanan uap air tidak berubah menjadi awan dan menjadi rintik hujan
sebelum tiba di tujuan, harus ada yang menjaganya.”
“Aku
bisa menjaganya,” sahut Naida cepat.
“Kalau
begitu kamu bersedia menjadi Udara Panas.”
“Apa?!”
seru Naida.
“Iya.
Udara Panas bisa menjaga uap air agar tidak berubah menjadi titik air.”
Naida
diam sejenak. “Baiklah, aku bersedia jika itu bisa menolong.”
Air
laut di sekitar Naida berpusing. Ia ikut terjebak di dalamnya. Napas Naida
sudah megap-megap. Ia akan segera tenggelam hingga tiba-tiba Naida merasa
tubuhnya menjadi lebih ringan. Ia mencoba mengangkat tangannya. Naida sangat
kaget. Ia bisa melihat menembus tangannya. Naida pun sadar kalau seluruh
tubuhnya berubah tembus pandang. Seperti halnya uap air panas.
Perlahan
Naida naik ke udara. Setelah wujudnya berubah, kini Naida bisa melihat air laut
yang menguap dan naik ke udara. Buru-buru Naida melayang mendekatinya. Ketika
Naida mengulurkan tangannya uap air itu langsung melekat padanya. Semakin
banyak uap air yang Naida tangkap, Naida merasakan badannya lebih berat.
Naida
khawatir uap air yang dibawanya akan berubah menjadi titik air karena ia
merasakan tubuhnya sudah semakin berat. Sementara tempat tinggalnya masih belum
kelihatan. Lalu Naida teringat pesan Tanaman untuk minta pertolongan Angin.
“Angin!”
panggil Naida. “Bolehkah aku minta pertolongan? Tolong tiup aku dan uap-uap air
ini ke tempatku berasal.”
Naida
kaget ketika terdengar suara gemuruh. Semula ia kira itu suara halilintar.
Namun suara itu berbicara padanya.
“Aku
bisa menolongmu. Namun kamu harus melakukan sesuatu.”
“Akan
kulakukan,” jawab Naida yakin.
“Aku
minta sebagian dirimu tinggal untuk menjaga uap air disini. Aku perlu udara
panas karena iklim yang sudah tak menentu.”
Naida
tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia juga tidak tahu apakah ia
bisa kembali menjadi manusia. Namun tekad Naida sudah bulat. Dia tidak ingin
kekeringan berkepanjangan lebih lama lagi di kampungnya. “Aku bersedia,” jawab
Naida.
Tubuh
Naida terasa jauh lebih ringan dan tiba-tiba ia melesat sangat cepat. Hanya
butuh waktu sekejap Naida telah sampai di kampungnya. Naida melepaskan uap-uap
air yang dibawanya dan seketika turunlah hujan.
Naida
tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ia hanya merasakan tubuhnya menjadi
semakin tembus pandang dan akhirnya menghilang sama sekali. Namun Naida bisa
mendengar sebuah suara.
“Terima
kasih, Naida. Pengorbananmu sungguh besar.” Naida bisa mengenali suara Tanaman.
“Aku akan minta pada temanku untuk menolongmu.”
Awan
hujan bergeser sehingga cahaya matahari bisa menembus. Cahaya matahari yang
melewati butiran air hujan menciptakan pelangi. Naida merasakan pelangi itu
jatuh menyiraminya. Perlahan Naida bisa melihat tubuhnya mulai berwarna. Makin
lama makin padat dan akhirnya wujud Naida kembali seperti semula.
Hujan
masih turun. Suasana amat sejuk. Naida bisa melihat Tanaman. Tanaman
mengangguk-angguk, tetapi tidak lagi bicara. Naida tersenyum lalu mulai
melangkahkan kaki di atas tanah yang basah. Ia pulang ke rumahnya dengan
perasaan suka cita.
Cerita & ilustrasi oleh Angewid
No comments:
Post a Comment