Kalau sudah besar nanti, Hanan
bercita-cita ingin menjadi dokter. Hanan sudah membayangkan dirinya mengenakan
baju putih-putih sambil mengobati pasien-pasien yang sakit. Ia ingin sekali
bisa membantu orang-orang yang sedang sakit dan menyembuhkannya.
Suatu hari, adik kesayangannya jatuh sakit. Melihat adiknya yang masih bayi menangis terus, Hanan jadi sedih. Bertambah sedih lagi karena ia tidak tahu harus berbuat apa. Hal ini membuat Hanan merasa sepertinya ia tidak pantas menjadi seorang dokter.
Untungnya sakit adik Hanan tidak
parah. Setelah dibawa ke dokter, adik Hanan bisa dirawat di rumah. Tidak perlu dirawat
di rumah sakit.
Karena Hanan terlihat amat
murung, ibu pun menghampiri.
“Hanan sedang mikirin apa? Kok
kelihatannya sedih,” tanya ibu.
Hanan ragu untuk mengutarakan isi
hatinya. Ia merasa malu pada ibu. Selama ini Hanan selalu mengatakan pada ibu,
kalau dewasa kelak ia ingin jadi dokter. Namun sekarang Hanan merasa ia tidak
punya harapan.
Karena Hanan tidak kunjung
bicara, ibu pun meletakkan tangannya di pundak Hanan.
“Kalau Hanan punya masalah, Hanan
bisa cerita ke ibu,” ujar ibu lembut seraya tersenyum.
Melihat senyuman ibu yang begitu
manis dan tulus, Hanan pun memberanikan diri bercerita.
“Kayaknya Hanan tidak bisa jadi
dokter, Bu.”
“Oh, Hanan ingin mengganti
cita-citanya? Emangnya Hanan ingin jadi apa sekarang?” tanya ibu.
“Bukan begitu, Bu,” sahut Hanan,
agak bersungut sedikit. Sambil memainkan jari-jemarinya Hanan melanjutkan,
“Sepertinya Hanan tidak mampu jadi dokter.” Raut muka Hanan bertambah sedih
setelah mengatakan itu.
Ibu sedikit kaget mendengar
pernyataan itu. Karena selama ini Hanan sudah bercita-cita menjadi dokter. Seraya
merangkul pundak Hanan, ibu berkata, “Kenapa, Hanan? Apa yang terjadi?”
Hanan malu menceritakannya pada
ibu. Tetapi ia begitu sedih dan ingin sekali mengungkapkan perasaannya. Setelah
beberapa saat, Hanan akhirnya berkata,
“Hanan tidak pantas jadi dokter.
Saat adik sakit, Hanan tidak bisa berbuat apa-apa. Harusnya Hanan bisa berbuat
sesuatu buat adik.”
Mendengarnya ibu jadi tersenyum.
Campuran geli dan haru. “Hanan kan belum jadi dokter, jadi wajar saja kalau
belum bisa menyembuhkan adik.”
“Tapi buktinya ibu bisa merawat
adik. Harusnya ibu yang pantas jadi dokter.”
Kepala Ibu manggut-manggut. Ia
akhirnya paham akan kegundahan Hanan.
“Ibu tahu kok, apa yang bisa
Hanan lakukan.”
Beberapa detik Hanan bergeming
sebelum akhirnya menatap Ibu dengan raut wajah bingung sekaligus penuh harap.
Katanya,
“Benarkah, Bu? Memangnya Hanan
bisa apa?”
Sambil tersenyum ibu berkata,
“Supaya bisa mencapai cita-cita, yang harus Hanan lakukan mulai dari sekarang
adalah belajar dengan rajin.”
Mendengar jawaban itu, Hanan
kembali lesu. Ia paham, untuk bisa menggapai cita-cita, haruslah tekun belajar.
Namun dalam pikiran Hanan, tetap saja ia merasa tak berguna. Walaupun ia
sekarang rajin belajar, tetap saja ia tidak bisa membantu adiknya yang sedang sakit.
Ternyata, ibu belum selesai
sampai disitu.
“Karena Hanan belum jadi dokter,
tentu saja bukan tugas Hanan buat nyembuhin adik. Ibu merawat adik juga, dengan
anjuran dokter. Jadi, kalau Hanan ingin membatu adik yang sedang sakit, Hanan
bisa kok. Kalau ibu caranya dengan menggendong adik, memberinya obat. Kalau
Hanan, caranya bantu menjemur pakaian adik. Atau mengambilkan obat adik di
lemari. Mengambilkan air buat adik di dapur. Banyak kok.
“Sama kalau kita ingin membatu
orang yang terkena musibah banjir. Bantuan yang kita berikan bisa beragam.
Mulai dari bantuan makanan, air bersih, pakaian bersih, obat-obatan. Dan yang
juga sangat penting, Hanan bisa bantu dengan doa.”
“Doa?” tanya Hanan.
Ibu mengangguk membenarkan. “Hanan
bisa bantu adik, dengan berdoa supaya adik bisa segera pulih kembali. Apa Hanan
sudah mendoakan adik?”
Hanan menggeleng malu-malu.
Dengan lembut ibu memeluk Hanan
seraya berkata, “Yuk, kita berdoa buat kesembuhan adik.”
Mata Hanan berbinar-binar menatap
ibu. Ia tersenyum sambil mengangguk pelan.
Cerita & ilustrasi oleh Angewid
No comments:
Post a Comment