Dongeng
Langit masih terlihat kelabu akibat hujan tadi malam. Pohon tomat di luar
Amir, saudara laki-laki Siti Sarah sedang bermain bola bersama dua
orang temannya, Darman dan Niko. Mereka saling mengejar bola, bertabrakan, lalu
jatuh dan bergulingan di lumpur sambil tertawa gembira. Bukan main pilunya hati
Siti Sarah.
Seandainya aku tidak bisu dan kakiku tidak lumpuh.
Bola melambung tinggi di udara. Amir baru saja menendangnya. Bola
itu melenting jatuh menimpa pohon tomat yang belum lama ditanam Siti Sarah. Amir
terbahak senang. Siti Sarah mencengkeram terali dengan marah. Itu tanaman tomatku!
Ketika akhirnya Amir selesai bermain dan masuk ke rumah, Siti
Sarah buru-buru mencegatnya.
“Ada
apa?” tanya Amir, tak suka kalau adiknya mengajaknya bicara. Amir tidak
mengerti bahasa isyarat, atau mungkin ia pura-pura tidak mengerti. Siti Sarah
menulis cepat di atas kertas yang sudah disiapkannya dan menyerahkannya kepada Amir.
“Perbaiki pohon tomatku,” Amir membaca. “Ngadu sana sama ibu!”
Siti Sarah mengeluarkan suara dengkingan. Dia amat sedih dan marah.
Padahal pohon tomat tak perlu punya dua kaki yang lumpuh dan mulut yang bisu,
pikirnya.
Siti Sarah akan memperbaiki pohon tomat itu sendiri. Sambil menggunakan
tongkat kayu buatan ayahnya, dia mengangkat tubuhnya menuju halaman luar.
Siti Sarah mengambil sekop dan mulai menggali tanah di sekililing
tanaman tomat. Hati-hati dia mencabut tanaman itu dengan gumpalan tanah masih
menyatu dengan akarnya, lalu memindahkannya ke tanah di depan jendela kamar
tidurnya.
“Disini kamu lebih aman,” kata Siti Sarah dalam hati.
Malamnya hujan turun lagi, bahkan lebih lebat dari hari sebelumnya.
Siti Sarah tidur nyenyak. Keesokan paginya sesuatu mengejutkannya. Ketika ia
membuka matanya, ada seorang anak perempuan berwajah sangat merah duduk di
sebelahnya.
“Siapa?” Siti Sarah bertanya, tetapi hanya gerungan yang terdengar.
“Namaku Anak Tomat,” jawab anak perempuan itu. Siti Sarah hendak
bertanya tentang nama yang aneh itu, tetapi tiba-tiba ia terperangah.
Bagaimana dia mengerti? Aku tidak bicara sama sekali, pikir Siti Sarah.
“Kamu baik sekali padaku. Aku ingin jadi temanmu,” kata si Anak
Tomat.
“Aku tidak mengenalmu,” kata Siti Sarah.
“Aku Anak Tomat si buah tomat, itu, tanaman tomat diluar sana .”
“Apa maksudmu?” tanya Siti Sarah tanpa suara.
“Aku si buah tomat. Kamu menyelamatkan aku, sekarang giliran aku
yang membantumu,” Anak Tomat tersenyum ramah. Siti Sarah menggeleng tak
mengerti.
“Kemarin kamu memindahkan aku ke tempat yang aman.”
“Itu cuma tanaman… dan kamu…”
“Sekarang aku bukan tanaman tomat lagi, tapi aku si Anak Tomat,
temanmu.”
Siti Sarah duduk terpelongo memandangi Anak Tomat yang wajahya sangat
merah. Hingga tiba-tiba ia terkejut mendengar suara ibunya memanggilnya. Siti
Sarah berkedip dan menemukan dirinya berbaring di tempat tidur, sendirian. Ia
mendesah pelan. Mimpi, pikirnya.
Masih merasa aneh dengan mimpinya, Siti sarah bangkit dari
kasurnya. Namun ada hal lain lagi yang mengejutkannya. Pohon tomat tidak ada di
depan jendelanya! Siti Sarah terkesiap. Dimana pohon tomatnya? Siapa yang
memindahkannya?
Ia menanyakannya pada ibu, ibu tidak tahu. Apa mungkin Amir yang
memindahkannya? Apa dia begitu tidak sukanya pada tanaman tomat? Atau ia tidak
suka Siti Sarah menyukai tanaman tomat? Tuduhan-tuduhan itu memenuhi benak Siti
Sarah. Membuat anak perempuan bisu itu bingung dan sedih.
Suatu ketika, seperti biasa Siti Sarah sedang membantu ibunya
memasak. Sekali lagi ada yang mengejutkannya. Ibunya sedang keluar untuk
membuang sampah. Tiba-tiba muncul seorang anak perempuan berwajah sangat merah di
hadapannya.
“Kamu anak tomat dalam mimpiku!” seru Siti Sarah tak bersuara.
“Aku bukan dalam mimpi. Aku nyata!” jawab si Anak Tomat seraya
menarik tangan Siti Sarah. Begitu kagetnya Siti Sarah hingga ia langsung
melepaskan tangannya. Namun ia masih sempat merasakan tangan Anak Tomat—padat,
hangat dan hidup.
“Mulai saat ini—seharusnya sih mulai kemarin, aku adalah
sahabatmu,” kata Anak Tomat ceria.
“Kenapa?” tanya Siti Sarah tak mengerti.
“Karena kamu begitu baik. Sekarang kita berteman. Bagaimana?”
Belum sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki ibunya. Siti
Sarah menoleh, dan saat mengembalikan matanya Anak Tomat sudah lenyap.
Setelahnya Anak Tomat sering muncul ketika Siti Sarah sendirian.
Terutama jika Siti Sarah sedang berada di dalam kamar. Tanpa disadarinya, Siti
Sarah senang dengan kehadiran Anak Tomat. Bahkan ia telah melupakan si tanaman
tomat itu sendiri. Ia tidak peduli tidak pernah makan tomat lagi. Anak Tomat
sangat berarti baginya. Siti Sarah tidak menginginkan sahabat yang lain lagi. Ia
tidak tahu bagaimana Anak Tomat mengerti apa yang ingin dikatakannya. Mereka
bisa saling bercerita, tertawa bersama. Siti Sarah telah lupa betapa kesepian
ia dulu.
Agar sering bertemu dengan Anak Tomat, Siti Sarah makin sering
mengurung diri di dalam kamar. Dia nyaris tidak pernah keluar dari kamarnya. Sampai
akhirnya Amir jadi curiga. Karena sangat penasaran, Amir pun menyelidikinya.
Ia mendengarkan dengan teliti dari luar kamar Siti Sarah. Ia
yakin, ada suara seseorang di dalam. Dengan gerakan tiba-tiba Amir mendorong
pintu hingga terbuka.
“Kena!” serunya. Siti Sarah yang sedang duduk di dekat jendela,
menatapnya galak. Tetapi ia sendirian.
“Aku mendengar kamu seperti mengobrol! Siapa yang bicara padamu?”
tuntutnya. Siti Sarah hanya memelototinya dengan arti tatapan “Sejak kapan aku
tidak bisu?”. Amir menjadi sangat bingung. Lalu dia memutuskan untuk melaporkan
keanehan Siti Sarah kepada ibu mereka.
Suatu sore ibu memanggil Siti Sarah. Ia ingin bicara perihal
laporan Amir bahwa Siti Sarah sering mengurung diri di kamar dan bahwa Siti
Sarah sudah bisa bicara.
“Kamu ada masalah, Sarah?” tanya ibunya. Siti Sarah menggeleng
bingung.
“Kenapa sering mengurung diri di kamar? Apa yang kamu lakukan
disana?”
Siti Sarah menggeleng lagi. Kemudian dengan lembut ibunya
memeluknya.
“Apa kamu menyesal karena bisu dan lumpuh?”
Siti Sarah diam saja. Ia tidak tahu apakah ia menyesal atau tidak.
Yang jelas, ia ingin sekali tidak bisu dan tidak lumpuh.
“Ibu dan ayah sangat menyayangimu. Amir juga. Mungkin kamu tidak
sadar, tapi Amir sangat sayang padamu. Ia hanya tidak mau menunjukkannya.”
Siti Sarah melepaskan diri dari ibunya. Ia berkata kepada ibunya
dalam bahasa isyarat, “Amir malu punya adik sepertiku.”
“Tidak, Sarah. Buktinya, ia selalu menanyakan pada ibu apa ia
boleh mengajak temannya bermain denganmu. Ibu bilang, katakan sendiri. Tapi Amir
tidak mau.”
“Ibu cuma ingin menghiburku,” kata Siti Sarah dalam isyaratnya.
Ibunya menatapnya, dan Siti Sarah tahu ibunya tidak sedang berbohong.
“Apa kamu kesepian? Ingin punya teman seperti Amir?”
Kali ini Siti Sarah menggeleng. Aku sudah punya Anak Tomat, pikirnya.
“Ibu tahu, kamu akan punya teman. Namun segala sesuatunya harus
berjalan seperti adanya. Kita tidak bisa memaksakan kehendak. Karena itu kamu
tidak boleh berada di kamar terus. Seperti tanaman tomat kesayanganmu, ia akan
tumbuh seperti layaknya tanaman tomat. Ibu yakin, kamu bisa menjadi apa pun
yang kamu inginkan. Kita tidak membutuhkan orang lain untuk menjadikan diri
kita seperti apa yang kita inginkan. Semuanya ada disini, di hatimu.” Ibu meletakkan
tangannya di atas dada Siti Sarah.
Apa yang mampu dikatakan Siti Sarah? Anak perempuan itu tertegun.
Ia beringsut menuju kamar tidurnya. Disana Anak Tomat sudah menunggunya.
“Kita main apa hari ini?” tanyanya bersemangat. Wajahnya yang
sudah merah bertambah merah. Namun Siti Sarah tidak ingin main. Ia sedang
mencoba mencerna kata-kata ibunya. Kenapa ibunya mengatakan hal-hal demikian?
Apakah ibunya hendak mengatakan bahwa kekurangannya tidaklah mengurangi nilai
dirinya yang sebenarnya? Tetapi mengapa Siti Sarah yang harus memikirkannya?
Bukankah lebih baik kalau orang yang sehat yang memikirkan hal itu agar mereka
tidak mengejek orang-orang seperti dirinya?
Yang dinginkan Siti Sarah hanyalah seorang teman—beberapa teman
jika mungkin. Teman pertama dalam hidupnya adalah Anak Tomat. Tetapi kenapa
harus Anak Tomat, bukan anak normal yang tinggal sebelah rumah, yang tidak
perlu bermain sembunyi-sembunyi agar tidak ada orang lain yang tahu? Kenapa Anak
Tomat mendatangi Siti Sarah dan ingin menjadikannya sahabat? Lagipula persahabatan
mereka aneh. Hanya sebatas pemenuhan keinginan Siti Sarah. Jika ia ingin tahu
sesuatu, Anak Tomat akan menjelaskan padanya. Jika ia ingin main sesuatu, Anak Tomat
akan mengikutinya. Dan jika Siti Sarah sedang ingin mendengar cerita, maka Anak
Tomat akan mendongeng untuknya. Tidak pernah terjadi sebaliknya.
Siti Sarah terus memikirkan hal ini. Hingga suatu ketika ada hal
yang dipahaminya. Ia pun mengajak Anak Tomat bicara di malam hari kala hujan
turun begitu deras.
“Anak Tomat,” panggil Siti
Sarah dalam hati. “Aku ingin tanya—tapi kamu jangan marah, aku hanya ingin
tahu.”
“Baiklah. Apa yang ingin kamu ketahui?”
“Kenapa kamu jadi hidup dan datang padaku?”
Anak Tomat tertawa kecil. “Bukankah itu sudah jelas?” katanya. “Aku
ingin jadi sahabatmu. Kamu sudah begitu baik padaku sewaktu aku masih tanaman
tomat.”
“Jadi kamu berteman denganku hanya untuk balas budi?” tanya Siti
Sarah.
“Aku tulus berteman denganmu. Mengapa kamu sampai meragukan itu?”
tanya Anak Tomat, matanya membelalak tak percaya.
“Maaf,” kata Siti Sarah. “Tapi menurutku bukan itu alasannya.”
“Apa maksudmu?” tanya Anak Tomat, semakin tak percaya.
“Kamu kasihan padaku. Kamu hidup, datang padaku, menghiburku agar
tidak kesepian hanya karena aku cacat,” kata Siti Sarah.
“Apa salah jika aku ingin membantumu?”
“Bukan itu. Kamu mengasihani aku. Kamu tidak membiarkan anak normal
mengejekku, dengan cara menjadikan dirimu satu-satunya sahabatku,” kata Siti
Sarah.
Anak Tomat terkelu selama beberapa saat. “Apa itu salah? Kamu tahu
aku tulus bersahabat denganmu!”
“Aku tahu. Tapi kamu tanaman tomat. Cara terbaik agar aku bisa
diterima oleh anak-anak normal, adalah dengan tidak bersembunyi dari mereka.”
“Tapi…”
“Kata ibuku, aku tidak bisa
memaksakan kehendak. Aku tidak bisa memaksamu untuk hidup dan menjadi
sahabatku…”
“Aku tidak merasa dipaksa,” sela Anak Tomat.
“Kamu tetap saja tanaman tomat. Jadilah dirimu sendiri, dan aku akan
jadi diriku sendiri. Kita tidak membutuhkan orang lain untuk menjadi seperti
apa yang kita inginkan. Semuanya ada disini, di hati,” kata Siti Sarah,
meletakkan tangannya di dada Anak Tomat.
Perlahan Anak Tomat menganggukkan kepala. “Kamu akan mendapatkan
sahabat terbaik di duniamu,” katanya. “Kuharap kamu tidak pernah melupakanku.”
Siti Sarah tersenyum haru. Matanya sudah berkaca-kaca. Di salah
satu sudut hatinya ia masih ingin bersahabat dengan Anak Tomat selamanya.
“Tapi,” lanjut Anak Tomat, “masih ada hal yang bisa kulakukan
untukmu—menjadi buah tomat sebagaimana harusnya. Dan aku akan menjadi buah
tomat paling bervitamin agar kamu tumbuh menjadi anak yang sehat.”
“Aku tidak akan pernah melupakanmu, Anak Tomat,” kata Siti Sarah
lalu memeluk anak perempuan berwajah merah itu.
“Kamu janji tidak akan membiarkan Amir dan teman-temannya
menimpaku dengan bola lagi?”
“Tentu saja,” kata Siti Sarah. Keduanya tertawa bahagia.
“Tidurlah, hari sudah malam,” kata Anak Tomat. “Besok pagi tanaman
tomat akan mengetuk jendela membangunkanmu.”
Siti Sarah menutup matanya. Keesokan harinya, saat matahari
bersinar cerah, ia menemukan tanaman tomat terangguk pelan diterpa udara pagi
yang sejuk, berdiri di depan jendela kamarnya. Siti Sarah tersenyum, lalu
memulai aktivitasnya seperti biasa.
Seperti sore-sore lainnya, sore itu pun Amir bermain bola bersama temannya.
Siti Sarah mendatangi mereka dan mengatakan ia ingin ikut bermain. Amir kaget sekali.
“Kamu kan pakai tongkat. Tidak bisa berlari mengejar bola,” kata Amir
ragu.
“Bagaimana kalau jangan bermain bola? Kita berkebun saja! Kalian
pasti belum pernah menanam tomat. Ayo!” ajak Siti Sarah, dalam bahasa
isyaratnya. Tidak seperti biasanya, Amir tidak pura-pura tidak mengerti.
“Berkebun? “ kata Amir terpelongo. “Ng…!” Amir bimbang.
“Ayo, sekali-sekali lakukan hal yang baru!” isyarat Sarah. Dia menoleh
ke arah Darman dan Niko dan memberikan isyarat yang sama pada mereka. Kedua
anak lelaki itu sedikit canggung. Selama ini mereka dan Siti Sarah satu kali
pun belum pernah mengobrol. Selain itu mereka juga tidak mengerti bahasa
isyarat.
“Ayo!” paksa Siti Sarah.
“B-b-b-baiklah,” jawab Amir sedikit terbata. Dia menarik Darman
dan Niko agar turut serta dengannya.
Yang dapat dilakukan Siti Sarah agar ia bisa diterima
teman-temannya, tidak mesti sesuatu yang hebat. Dia hanya perlu menerima
dirinya sendiri. Dengan begitu orang lain pun akan menerimanya apa adanya. Dan itulah
yang sedang dilakukan Siti Sarah sekarang.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment