Sunday, 11 August 2013

SITI SARAH & ANAK TOMAT

ilustrasi-dongeng-cerita-anak-bergambar



Dongeng

Langit masih terlihat kelabu akibat hujan tadi malam. Pohon tomat di luar sana terangguk oleh hembusan angin. Siti Sarah sedang duduk di tempatnya yang biasa, di atas tempat tidurnya yang berhimpitan dengan jendela berterali. Tanah diluar sana becek. Bagian yang berlubang digenangi air. Suara kodok masih memanggil hujan. Dengan iri Siti Sarah memandang ke sekelompok anak yang sedang bermain bola di halaman, menciptakan noda lumpur di sekujur tubuh mereka.
Amir, saudara laki-laki Siti Sarah sedang bermain bola bersama dua orang temannya, Darman dan Niko. Mereka saling mengejar bola, bertabrakan, lalu jatuh dan bergulingan di lumpur sambil tertawa gembira. Bukan main pilunya hati Siti Sarah.

Seandainya aku tidak bisu dan kakiku tidak lumpuh.

Bola melambung tinggi di udara. Amir baru saja menendangnya. Bola itu melenting jatuh menimpa pohon tomat yang belum lama ditanam Siti Sarah. Amir terbahak senang. Siti Sarah mencengkeram terali dengan marah. Itu tanaman tomatku!

Ketika akhirnya Amir selesai bermain dan masuk ke rumah, Siti Sarah buru-buru mencegatnya.

Ada apa?” tanya Amir, tak suka kalau adiknya mengajaknya bicara. Amir tidak mengerti bahasa isyarat, atau mungkin ia pura-pura tidak mengerti. Siti Sarah menulis cepat di atas kertas yang sudah disiapkannya dan menyerahkannya kepada Amir.

“Perbaiki pohon tomatku,” Amir membaca. “Ngadu sana sama ibu!”

Siti Sarah mengeluarkan suara dengkingan. Dia amat sedih dan marah. Padahal pohon tomat tak perlu punya dua kaki yang lumpuh dan mulut yang bisu, pikirnya.

Siti Sarah akan memperbaiki pohon tomat itu sendiri. Sambil menggunakan tongkat kayu buatan ayahnya, dia mengangkat tubuhnya menuju halaman luar.

Siti Sarah mengambil sekop dan mulai menggali tanah di sekililing tanaman tomat. Hati-hati dia mencabut tanaman itu dengan gumpalan tanah masih menyatu dengan akarnya, lalu memindahkannya ke tanah di depan jendela kamar tidurnya.

“Disini kamu lebih aman,” kata Siti Sarah dalam hati.

Malamnya hujan turun lagi, bahkan lebih lebat dari hari sebelumnya. Siti Sarah tidur nyenyak. Keesokan paginya sesuatu mengejutkannya. Ketika ia membuka matanya, ada seorang anak perempuan berwajah sangat merah duduk di sebelahnya.

“Siapa?” Siti Sarah bertanya, tetapi hanya gerungan yang terdengar.

“Namaku Anak Tomat,” jawab anak perempuan itu. Siti Sarah hendak bertanya tentang nama yang aneh itu, tetapi tiba-tiba ia terperangah.

Bagaimana dia mengerti? Aku tidak bicara sama sekali, pikir Siti Sarah.

“Kamu baik sekali padaku. Aku ingin jadi temanmu,” kata si Anak Tomat.

“Aku tidak mengenalmu,” kata Siti Sarah.

“Aku Anak Tomat si buah tomat, itu, tanaman tomat diluar sana.”

“Apa maksudmu?” tanya Siti Sarah tanpa suara.

“Aku si buah tomat. Kamu menyelamatkan aku, sekarang giliran aku yang membantumu,” Anak Tomat tersenyum ramah. Siti Sarah menggeleng tak mengerti.

“Kemarin kamu memindahkan aku ke tempat yang aman.”

“Itu cuma tanaman… dan kamu…”

“Sekarang aku bukan tanaman tomat lagi, tapi aku si Anak Tomat, temanmu.”

Siti Sarah duduk terpelongo memandangi Anak Tomat yang wajahya sangat merah. Hingga tiba-tiba ia terkejut mendengar suara ibunya memanggilnya. Siti Sarah berkedip dan menemukan dirinya berbaring di tempat tidur, sendirian. Ia mendesah pelan. Mimpi, pikirnya.

Masih merasa aneh dengan mimpinya, Siti sarah bangkit dari kasurnya. Namun ada hal lain lagi yang mengejutkannya. Pohon tomat tidak ada di depan jendelanya! Siti Sarah terkesiap. Dimana pohon tomatnya? Siapa yang memindahkannya?

Ia menanyakannya pada ibu, ibu tidak tahu. Apa mungkin Amir yang memindahkannya? Apa dia begitu tidak sukanya pada tanaman tomat? Atau ia tidak suka Siti Sarah menyukai tanaman tomat? Tuduhan-tuduhan itu memenuhi benak Siti Sarah. Membuat anak perempuan bisu itu bingung dan sedih.

Suatu ketika, seperti biasa Siti Sarah sedang membantu ibunya memasak. Sekali lagi ada yang mengejutkannya. Ibunya sedang keluar untuk membuang sampah. Tiba-tiba muncul seorang anak perempuan berwajah sangat merah di hadapannya.

“Kamu anak tomat dalam mimpiku!” seru Siti Sarah tak bersuara.

“Aku bukan dalam mimpi. Aku nyata!” jawab si Anak Tomat seraya menarik tangan Siti Sarah. Begitu kagetnya Siti Sarah hingga ia langsung melepaskan tangannya. Namun ia masih sempat merasakan tangan Anak Tomat—padat, hangat dan hidup.

“Mulai saat ini—seharusnya sih mulai kemarin, aku adalah sahabatmu,” kata Anak Tomat ceria.

“Kenapa?” tanya Siti Sarah tak mengerti.

“Karena kamu begitu baik. Sekarang kita berteman. Bagaimana?”

Belum sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki ibunya. Siti Sarah menoleh, dan saat mengembalikan matanya Anak Tomat sudah lenyap.

Setelahnya Anak Tomat sering muncul ketika Siti Sarah sendirian. Terutama jika Siti Sarah sedang berada di dalam kamar. Tanpa disadarinya, Siti Sarah senang dengan kehadiran Anak Tomat. Bahkan ia telah melupakan si tanaman tomat itu sendiri. Ia tidak peduli tidak pernah makan tomat lagi. Anak Tomat sangat berarti baginya. Siti Sarah tidak menginginkan sahabat yang lain lagi. Ia tidak tahu bagaimana Anak Tomat mengerti apa yang ingin dikatakannya. Mereka bisa saling bercerita, tertawa bersama. Siti Sarah telah lupa betapa kesepian ia dulu.

Agar sering bertemu dengan Anak Tomat, Siti Sarah makin sering mengurung diri di dalam kamar. Dia nyaris tidak pernah keluar dari kamarnya. Sampai akhirnya Amir jadi curiga. Karena sangat penasaran, Amir pun menyelidikinya.

Ia mendengarkan dengan teliti dari luar kamar Siti Sarah. Ia yakin, ada suara seseorang di dalam. Dengan gerakan tiba-tiba Amir mendorong pintu hingga terbuka.

“Kena!” serunya. Siti Sarah yang sedang duduk di dekat jendela, menatapnya galak. Tetapi ia sendirian.

“Aku mendengar kamu seperti mengobrol! Siapa yang bicara padamu?” tuntutnya. Siti Sarah hanya memelototinya dengan arti tatapan “Sejak kapan aku tidak bisu?”. Amir menjadi sangat bingung. Lalu dia memutuskan untuk melaporkan keanehan Siti Sarah kepada ibu mereka.

Suatu sore ibu memanggil Siti Sarah. Ia ingin bicara perihal laporan Amir bahwa Siti Sarah sering mengurung diri di kamar dan bahwa Siti Sarah sudah bisa bicara.

“Kamu ada masalah, Sarah?” tanya ibunya. Siti Sarah menggeleng bingung.

“Kenapa sering mengurung diri di kamar? Apa yang kamu lakukan disana?”

Siti Sarah menggeleng lagi. Kemudian dengan lembut ibunya memeluknya.

“Apa kamu menyesal karena bisu dan lumpuh?”

Siti Sarah diam saja. Ia tidak tahu apakah ia menyesal atau tidak. Yang jelas, ia ingin sekali tidak bisu dan tidak lumpuh.

“Ibu dan ayah sangat menyayangimu. Amir juga. Mungkin kamu tidak sadar, tapi Amir sangat sayang padamu. Ia hanya tidak mau menunjukkannya.”

Siti Sarah melepaskan diri dari ibunya. Ia berkata kepada ibunya dalam bahasa isyarat, “Amir malu punya adik sepertiku.”

“Tidak, Sarah. Buktinya, ia selalu menanyakan pada ibu apa ia boleh mengajak temannya bermain denganmu. Ibu bilang, katakan sendiri. Tapi Amir tidak mau.”

“Ibu cuma ingin menghiburku,” kata Siti Sarah dalam isyaratnya. Ibunya menatapnya, dan Siti Sarah tahu ibunya tidak sedang berbohong.

“Apa kamu kesepian? Ingin punya teman seperti Amir?”

Kali ini Siti Sarah menggeleng. Aku sudah punya Anak Tomat, pikirnya.

“Ibu tahu, kamu akan punya teman. Namun segala sesuatunya harus berjalan seperti adanya. Kita tidak bisa memaksakan kehendak. Karena itu kamu tidak boleh berada di kamar terus. Seperti tanaman tomat kesayanganmu, ia akan tumbuh seperti layaknya tanaman tomat. Ibu yakin, kamu bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan. Kita tidak membutuhkan orang lain untuk menjadikan diri kita seperti apa yang kita inginkan. Semuanya ada disini, di hatimu.” Ibu meletakkan tangannya di atas dada Siti Sarah.

Apa yang mampu dikatakan Siti Sarah? Anak perempuan itu tertegun. Ia beringsut menuju kamar tidurnya. Disana Anak Tomat sudah menunggunya.

“Kita main apa hari ini?” tanyanya bersemangat. Wajahnya yang sudah merah bertambah merah. Namun Siti Sarah tidak ingin main. Ia sedang mencoba mencerna kata-kata ibunya. Kenapa ibunya mengatakan hal-hal demikian? Apakah ibunya hendak mengatakan bahwa kekurangannya tidaklah mengurangi nilai dirinya yang sebenarnya? Tetapi mengapa Siti Sarah yang harus memikirkannya? Bukankah lebih baik kalau orang yang sehat yang memikirkan hal itu agar mereka tidak mengejek orang-orang seperti dirinya?

Yang dinginkan Siti Sarah hanyalah seorang teman—beberapa teman jika mungkin. Teman pertama dalam hidupnya adalah Anak Tomat. Tetapi kenapa harus Anak Tomat, bukan anak normal yang tinggal sebelah rumah, yang tidak perlu bermain sembunyi-sembunyi agar tidak ada orang lain yang tahu? Kenapa Anak Tomat mendatangi Siti Sarah dan ingin menjadikannya sahabat? Lagipula persahabatan mereka aneh. Hanya sebatas pemenuhan keinginan Siti Sarah. Jika ia ingin tahu sesuatu, Anak Tomat akan menjelaskan padanya. Jika ia ingin main sesuatu, Anak Tomat akan mengikutinya. Dan jika Siti Sarah sedang ingin mendengar cerita, maka Anak Tomat akan mendongeng untuknya. Tidak pernah terjadi sebaliknya.

Siti Sarah terus memikirkan hal ini. Hingga suatu ketika ada hal yang dipahaminya. Ia pun mengajak Anak Tomat bicara di malam hari kala hujan turun begitu deras.

 “Anak Tomat,” panggil Siti Sarah dalam hati. “Aku ingin tanya—tapi kamu jangan marah, aku hanya ingin tahu.”

“Baiklah. Apa yang ingin kamu ketahui?”

“Kenapa kamu jadi hidup dan datang padaku?”

Anak Tomat tertawa kecil. “Bukankah itu sudah jelas?” katanya. “Aku ingin jadi sahabatmu. Kamu sudah begitu baik padaku sewaktu aku masih tanaman tomat.”

“Jadi kamu berteman denganku hanya untuk balas budi?” tanya Siti Sarah.

“Aku tulus berteman denganmu. Mengapa kamu sampai meragukan itu?” tanya Anak Tomat, matanya membelalak tak percaya.

“Maaf,” kata Siti Sarah. “Tapi menurutku bukan itu alasannya.”

“Apa maksudmu?” tanya Anak Tomat, semakin tak percaya.

“Kamu kasihan padaku. Kamu hidup, datang padaku, menghiburku agar tidak kesepian hanya karena aku cacat,” kata Siti Sarah.

“Apa salah jika aku ingin membantumu?”

“Bukan itu. Kamu mengasihani aku. Kamu tidak membiarkan anak normal mengejekku, dengan cara menjadikan dirimu satu-satunya sahabatku,” kata Siti Sarah.

Anak Tomat terkelu selama beberapa saat. “Apa itu salah? Kamu tahu aku tulus bersahabat denganmu!”

“Aku tahu. Tapi kamu tanaman tomat. Cara terbaik agar aku bisa diterima oleh anak-anak normal, adalah dengan tidak bersembunyi dari mereka.”

“Tapi…”

 “Kata ibuku, aku tidak bisa memaksakan kehendak. Aku tidak bisa memaksamu untuk hidup dan menjadi sahabatku…”

“Aku tidak merasa dipaksa,” sela Anak Tomat.

“Kamu tetap saja tanaman tomat. Jadilah dirimu sendiri, dan aku akan jadi diriku sendiri. Kita tidak membutuhkan orang lain untuk menjadi seperti apa yang kita inginkan. Semuanya ada disini, di hati,” kata Siti Sarah, meletakkan tangannya di dada Anak Tomat.

Perlahan Anak Tomat menganggukkan kepala. “Kamu akan mendapatkan sahabat terbaik di duniamu,” katanya. “Kuharap kamu tidak pernah melupakanku.”

Siti Sarah tersenyum haru. Matanya sudah berkaca-kaca. Di salah satu sudut hatinya ia masih ingin bersahabat dengan Anak Tomat selamanya.

“Tapi,” lanjut Anak Tomat, “masih ada hal yang bisa kulakukan untukmu—menjadi buah tomat sebagaimana harusnya. Dan aku akan menjadi buah tomat paling bervitamin agar kamu tumbuh menjadi anak yang sehat.”

“Aku tidak akan pernah melupakanmu, Anak Tomat,” kata Siti Sarah lalu memeluk anak perempuan berwajah merah itu.

“Kamu janji tidak akan membiarkan Amir dan teman-temannya menimpaku dengan bola lagi?”

“Tentu saja,” kata Siti Sarah. Keduanya tertawa bahagia.

“Tidurlah, hari sudah malam,” kata Anak Tomat. “Besok pagi tanaman tomat akan mengetuk jendela membangunkanmu.”

Siti Sarah menutup matanya. Keesokan harinya, saat matahari bersinar cerah, ia menemukan tanaman tomat terangguk pelan diterpa udara pagi yang sejuk, berdiri di depan jendela kamarnya. Siti Sarah tersenyum, lalu memulai aktivitasnya seperti biasa.

Seperti sore-sore lainnya, sore itu pun Amir bermain bola bersama temannya. Siti Sarah mendatangi mereka dan mengatakan ia ingin ikut bermain. Amir kaget sekali.

“Kamu kan pakai tongkat. Tidak bisa berlari mengejar bola,” kata Amir ragu.

“Bagaimana kalau jangan bermain bola? Kita berkebun saja! Kalian pasti belum pernah menanam tomat. Ayo!” ajak Siti Sarah, dalam bahasa isyaratnya. Tidak seperti biasanya, Amir tidak pura-pura tidak mengerti.

“Berkebun? “ kata Amir terpelongo. “Ng…!” Amir bimbang.

“Ayo, sekali-sekali lakukan hal yang baru!” isyarat Sarah. Dia menoleh ke arah Darman dan Niko dan memberikan isyarat yang sama pada mereka. Kedua anak lelaki itu sedikit canggung. Selama ini mereka dan Siti Sarah satu kali pun belum pernah mengobrol. Selain itu mereka juga tidak mengerti bahasa isyarat.

“Ayo!” paksa Siti Sarah.

“B-b-b-baiklah,” jawab Amir sedikit terbata. Dia menarik Darman dan Niko agar turut serta dengannya.

Yang dapat dilakukan Siti Sarah agar ia bisa diterima teman-temannya, tidak mesti sesuatu yang hebat. Dia hanya perlu menerima dirinya sendiri. Dengan begitu orang lain pun akan menerimanya apa adanya. Dan itulah yang sedang dilakukan Siti Sarah sekarang.

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment