Dongeng
Jika kau pernah mendapati halaman kosong dari sebuah buku, mungkin itu
bukan buku cacat karena salah cetak. Waspadalah, karena mungkin Takekna
Bageknio Ratepsa sedang menyerang…
“Uh, sudah bukunya
berdebu, nggak ada isinya lagi,” gerutu Ardi. Dia mencari lagi buku yang bisa
membantunya. Tetapi dia malah menemukan buku tentang kacang tanah yang
nampaknya tidak pernah dibaca selama ratusan tahun. Ardi sampai terbatuk-batuk
oleh lapisan debu yang menutupi sampulnya. Selama ini Ardi belum pernah masuk
perpustakaan sekolah. Alasannya, karena disana tidak ada komik, satu-satunya
jenis buku yang bersedia ia baca. Sekarang dia malah harus berurusan dengan
debu dan buku tentang kacang tanah.
Ardi tak habis pikir.
Lagi-lagi halaman kosong. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya nyaris setengah
buku! Ini, sih, kelewatan. Pengalaman seperti ini tak berhenti sampai disitu saja.
Ada hal yang
lebih mengagetkan. Malam harinya di rumah, ketika Ardi mengambil buku IPA-nya,
dia nyaris pingsan saking kagetnya. Bukunya kosong! Walaupun Ardi tidak pernah
membukanya, dia yakin betul buku itu tidak kosong. Tidak mungkin kan kesalahan cetak
sampai begitu parahnya. Padahal besok Ardi ada ulangan IPA.
“Kenapa semua buku yang
kuperlukan tiba-tiba kosong?” desah Ardi. Hari sudah larut. Namun dia belum
juga tertidur. Cemas memikirkan ulangan IPA besok. Ardi terlelap sebentar
kemudian terjaga kembali oleh suara berisik di dekat meja belajarnya. Apa itu
di dekat tumpukan buku? Jangan-jangan tikus! Biar kutangkap, baru tahu rasa,
pikir Ardi. Dalam gelap Ardi mengendap-endap. Dia bisa melihat ada sesuatu yang
bergerak-gerak. Dengan gerakan tiba-tiba Ardi menangkapnya. Meleset! Ada sesuatu yang melompat
keluar dari tumpukan buku, dan tanpa sengaja mengenai tombol lampu meja hingga
menyala. Ardi pun bisa melihatnya.
“AAAAAAH!!!” Seketika
Ardi berteriak kaget. Kakinya tiba-tiba lemas. Ia terjatuh ke atas kursi.
“Halou,” kata tikus
itu—atau mungkin bukan tikus, karena kulitnya semerah apel dan memakai topi
sarjana. Badannya bulat seperti bola tenis. Tidak punya tangan dan kaki. Tetapi
punya sungut
“K-kamu ini apa?” tanya
Ardi terbata.
“Takekna Bageknio
Ratepsa,” jawab makhluk itu. Ardi cuma melongo. “Panggil saja aku Pak Polololu.
Aku disini sedang mengajar.” Ardi makin bengong. Apa ini yang di hadapannya?
Bisa bicara lagi!
“Aku sedang menyedot,
jadi tolong jangan diganggu,” lanjut Pak Polololu. Dia kembali ke tumpukan
buku. Membentangkan sebuah buku lalu ‘menyedot’ seperti yang dia katakan.
Karena ada cahaya dari lampu meja, Ardi pun bisa melihat apa yang dilakukannya.
Perlahan kata-kata yang tertulis di buku yang terbentang itu terlepas dari
kertas lalu terbang mengarah ke sungut Pak Polololu. Meninggalkan hanya
lembaran kertas putih.
“Apa?!” jerit Ardi
terkejut. “Jadi selama ini… buku kosong…” Ardi sampai kehilangan kata-kata.
Tiba-tiba terdengar bunyi
berisik. Ardi tidak bisa mengira siapa yang membuat suara berisik itu. Seolah
ada puluhan orang yang serentak berbisik. Ardi melemparkan pandangan ke seisi
kamarnya.
“Halou,” kata sebuah
suara dari dalam laci meja belajar. Ardi terpekik saking kagetnya. Makhluk
bulat lainnya! Kemudian, menambah kekagetan Ardi, puluhan makhluk bulat
tiba-tiba bermunculan. Dari laci lain meja belajarnya, juga dari rak buku dan
tas sekolah. Bahkan Ardi melihat beberapa makhluk bulat menempel di poster
perkalian di dinding. Semuanya bertubuh lebih kecil dan tidak memakai topi
sarjana.
“Murid-murid, berkumpul!”
teriak Pak Polololu. Serentak makhluk-makhluk itu berloncatan dengan
memantul-mantul. Ardi melindungi kepalanya karena ada yang mencoba memantul
disana. Lalu suasana jadi kacau karena ada yang saling bertabrakan kemudian
memantul menabrak teman mereka yang lain. “Berkumpul dengan rapi!” teriak Pak
Polololu lagi. Akhirnya setelah beberapa menit yang membingungkan, mereka pun
berhasil berkumpul mengelilingi Pak Polololu, kecuali satu yang masih
tertinggal di atas rak buku. Dia menjejak di atas sebuah buku, membuat buku itu
bergoyang lalu jatuh ke atas meja belajar yang letaknya bersebelahan, membuat
beberapa makhluk bulat memantul.
“Ensiklopedi dari kakek!”
seru Ardi. Karena buku itu jatuh terbuka, Ardi pun bisa melihat kalau
ensiklopedi hadiah dari kakeknya itu kosong. Dengan cemas Ardi memeriksa
halaman depannya. Disana juga kosong. Ardi menatapnya sedih, sekaligus marah.
Disana sebelumnya ada tulisan kenang-kenangan dari kakeknya. Sekarang sudah
hilang.
“Bukunya sudah kosong,
bisa ditulisi, digambari kalau mau. Cukup tebal, bisa lama menghabiskannya,”
oceh Pak Polololu.
“Keterlaluan!” teriak
Ardi.
“Buku itu kan tidak pernah dibaca.
Makanya kami kosongkan saja,” jawab Pak Polololu.
“Kami sangat senang
di sini. Banyak sekali buku yang tidak penah dibaca. Padahal buku itu gunanya kan untuk dibaca,”
seloroh salah satu murid yang sungutnya melengkung keluar.
Ardi tertegun. Dia memang
belum pernah sekalipun membuka ensiklopedi dari kakeknya. Dan sekarang tidak
ada gunanya lagi. Semua bukunya sudah kosong. Ardi berjalan lesu ke tempat
tidurnya lalu membenamkan wajahnya ke bantal dan diam-diam menangis.
“Kamu sedih?” tanya Pak
Polololu. Suara sahutan Ardi tidak terdengar jelas dari balik bantal. “Kami
bisa menolongmu.” Tiba-tiba Ardi bangkit dari tempat tidurnya, lupa kalau
matanya yang sembab bisa terlihat. “Tapi agak sedikit sulit,” kata Pak Polololu
lagi.
“Aku akan melakukan apa
saja,” kata Ardi sungguh-sungguh.
“Baiklah. Begini, kami
butuh ramuan untuk mengembalikan semua tulisan. Tapi kami perlu bantuanmu untuk
mendapatkan bahan-bahannya.”
Ardi bergidik mendengar
bahan ramuan yang disebutkan Pak Polololu. Pikirnya, untung bukan buat dirinya.
Pak Polololu meminta hati ayam rebus, daun katuk, daun pepaya, kunyit, minyak
ikan, singkong dan pisang ambon yang semuanya diblender jadi satu dan dibuat
jus. Anehnya semua bahan itu bisa ditemukan Ardi di dapur ibunya. Malam itu
juga dia membuatkan ramuan tersebut. Meskipun aneh, beruntung sekali orangtua
Ardi tidak terbangun meskipun Ardi berisik sekali. Setelah siap, Ardi
menyerahkannya ke Pak Polololu.
“Ini namanya Jus
Muslihat. Sekarang minumlah."
“Apa?! Jadi jus ini
buatku?” tanya Ardi tak percaya. “Tidak mau!”
Semua makhluk bulat itu
langsung berisik. Pak Polololu mengatasi keriuhan murid-muridnya. “Tenang!”
serunya. “Yah, kalau tidak mau terserah. Ini bukan kepentingan kami,” lanjutnya
pada Ardi.
Akhirnya, mau tak mau
Ardi pun setuju. Dari bentuknya saja Ardi sudah tahu pasti ramuan itu tidak
enak. Apalagi diberi nama Jus Muslihat. Jadi khawatir meminumnya.
Baru satu tegukan, Ardi
langsung muntah. Walaupun dia diancam disengat tawon, dia tidak akan bersedia
meminumnya lagi.
“Satu teguk juga boleh.
Sekarang pejamkan matamu,” kata Pak Polololu. Ardi ragu-ragu melakukannya.
Lalu, dengan aba-aba dari Pak Polololu, secara serentak semua huruf, kata dan
kalimat keluar dari sungutnya dan murid-muridnya, terbang menggulung sesaat,
dan dalam hitungan detik kembali ke asalnya. “Buka matamu.”
Perlahan Ardi membuka
matanya. Dia kaget karena tidak menemukan Pak Polololu ataupun murid-muridnya.
Buru-buru Ardi menghampiri buku-bukunya. Semua tulisan telah kembali. Dia juga
bisa melihat tulisan kakeknya di halaman depan ensiklopedinya.
Sementara itu Pak
Polololu dan murid-muridnya sudah pergi jauh sambil terkikik-kikik.
“Mau saja dia minum jus itu. Jus Muslihat kan
tidak ada hubungannya. Dari namanya saja sudah ketahuan,” kata Pak Polololu.
Murid-muridnya tertawa. “Murid-murid, ayo kita cari anak lainnya yang malas
membaca!”
“Baik, Pak!”
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment