Monday, 30 September 2013

PAK POLOLOLU

dongeng-cerita-anak

Dongeng

Jika kau pernah mendapati halaman kosong dari sebuah buku, mungkin itu bukan buku cacat karena salah cetak. Waspadalah, karena mungkin Takekna Bageknio Ratepsa sedang menyerang…






ARDI membolik-balik sekali lagi halaman buku tentang wortel di perpustakaan sekolah. Hasilnya sama saja. Ada tiga halaman kosong disana. Bu Nuraini telah memberi pilihan tugas menanam kacang tanah atau wortel. Ardi memilih wortel, tetapi dia tidak tahu caranya. Dan sekarang, setelah mendapatkan buku tentang wortel, Ardi harus kecewa karena halaman yang berisi tentang cara menanam wortel kosong.

“Uh, sudah bukunya berdebu, nggak ada isinya lagi,” gerutu Ardi. Dia mencari lagi buku yang bisa membantunya. Tetapi dia malah menemukan buku tentang kacang tanah yang nampaknya tidak pernah dibaca selama ratusan tahun. Ardi sampai terbatuk-batuk oleh lapisan debu yang menutupi sampulnya. Selama ini Ardi belum pernah masuk perpustakaan sekolah. Alasannya, karena disana tidak ada komik, satu-satunya jenis buku yang bersedia ia baca. Sekarang dia malah harus berurusan dengan debu dan buku tentang kacang tanah.

Ardi tak habis pikir. Lagi-lagi halaman kosong. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya nyaris setengah buku! Ini, sih, kelewatan. Pengalaman seperti ini tak berhenti sampai disitu saja. Ada hal yang lebih mengagetkan. Malam harinya di rumah, ketika Ardi mengambil buku IPA-nya, dia nyaris pingsan saking kagetnya. Bukunya kosong! Walaupun Ardi tidak pernah membukanya, dia yakin betul buku itu tidak kosong. Tidak mungkin kan kesalahan cetak sampai begitu parahnya. Padahal besok Ardi ada ulangan IPA.

“Kenapa semua buku yang kuperlukan tiba-tiba kosong?” desah Ardi. Hari sudah larut. Namun dia belum juga tertidur. Cemas memikirkan ulangan IPA besok. Ardi terlelap sebentar kemudian terjaga kembali oleh suara berisik di dekat meja belajarnya. Apa itu di dekat tumpukan buku? Jangan-jangan tikus! Biar kutangkap, baru tahu rasa, pikir Ardi. Dalam gelap Ardi mengendap-endap. Dia bisa melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak. Dengan gerakan tiba-tiba Ardi menangkapnya. Meleset! Ada sesuatu yang melompat keluar dari tumpukan buku, dan tanpa sengaja mengenai tombol lampu meja hingga menyala. Ardi pun bisa melihatnya. 

“AAAAAAH!!!” Seketika Ardi berteriak kaget. Kakinya tiba-tiba lemas. Ia terjatuh ke atas kursi.

“Halou,” kata tikus itu—atau mungkin bukan tikus, karena kulitnya semerah apel dan memakai topi sarjana. Badannya bulat seperti bola tenis. Tidak punya tangan dan kaki. Tetapi punya sungut

“K-kamu ini apa?” tanya Ardi terbata.

“Takekna Bageknio Ratepsa,” jawab makhluk itu. Ardi cuma melongo. “Panggil saja aku Pak Polololu. Aku disini sedang mengajar.” Ardi makin bengong. Apa ini yang di hadapannya? Bisa bicara lagi!

“Aku sedang menyedot, jadi tolong jangan diganggu,” lanjut Pak Polololu. Dia kembali ke tumpukan buku. Membentangkan sebuah buku lalu ‘menyedot’ seperti yang dia katakan. Karena ada cahaya dari lampu meja, Ardi pun bisa melihat apa yang dilakukannya. Perlahan kata-kata yang tertulis di buku yang terbentang itu terlepas dari kertas lalu terbang mengarah ke sungut Pak Polololu. Meninggalkan hanya lembaran kertas putih.

“Apa?!” jerit Ardi terkejut. “Jadi selama ini… buku kosong…” Ardi sampai kehilangan kata-kata.

Tiba-tiba terdengar bunyi berisik. Ardi tidak bisa mengira siapa yang membuat suara berisik itu. Seolah ada puluhan orang yang serentak berbisik. Ardi melemparkan pandangan ke seisi kamarnya.

“Halou,” kata sebuah suara dari dalam laci meja belajar. Ardi terpekik saking kagetnya. Makhluk bulat lainnya! Kemudian, menambah kekagetan Ardi, puluhan makhluk bulat tiba-tiba bermunculan. Dari laci lain meja belajarnya, juga dari rak buku dan tas sekolah. Bahkan Ardi melihat beberapa makhluk bulat menempel di poster perkalian di dinding. Semuanya bertubuh lebih kecil dan tidak memakai topi sarjana.

“Murid-murid, berkumpul!” teriak Pak Polololu. Serentak makhluk-makhluk itu berloncatan dengan memantul-mantul. Ardi melindungi kepalanya karena ada yang mencoba memantul disana. Lalu suasana jadi kacau karena ada yang saling bertabrakan kemudian memantul menabrak teman mereka yang lain. “Berkumpul dengan rapi!” teriak Pak Polololu lagi. Akhirnya setelah beberapa menit yang membingungkan, mereka pun berhasil berkumpul mengelilingi Pak Polololu, kecuali satu yang masih tertinggal di atas rak buku. Dia menjejak di atas sebuah buku, membuat buku itu bergoyang lalu jatuh ke atas meja belajar yang letaknya bersebelahan, membuat beberapa makhluk bulat memantul.

“Ensiklopedi dari kakek!” seru Ardi. Karena buku itu jatuh terbuka, Ardi pun bisa melihat kalau ensiklopedi hadiah dari kakeknya itu kosong. Dengan cemas Ardi memeriksa halaman depannya. Disana juga kosong. Ardi menatapnya sedih, sekaligus marah. Disana sebelumnya ada tulisan kenang-kenangan dari kakeknya. Sekarang sudah hilang.

“Bukunya sudah kosong, bisa ditulisi, digambari kalau mau. Cukup tebal, bisa lama menghabiskannya,” oceh Pak Polololu.

“Keterlaluan!” teriak Ardi.

“Buku itu kan tidak pernah dibaca. Makanya kami kosongkan saja,” jawab Pak Polololu.

“Kami sangat senang di sini. Banyak sekali buku yang tidak penah dibaca. Padahal buku itu gunanya kan untuk dibaca,” seloroh salah satu murid yang sungutnya melengkung keluar.

Ardi tertegun. Dia memang belum pernah sekalipun membuka ensiklopedi dari kakeknya. Dan sekarang tidak ada gunanya lagi. Semua bukunya sudah kosong. Ardi berjalan lesu ke tempat tidurnya lalu membenamkan wajahnya ke bantal dan diam-diam menangis.

“Kamu sedih?” tanya Pak Polololu. Suara sahutan Ardi tidak terdengar jelas dari balik bantal. “Kami bisa menolongmu.” Tiba-tiba Ardi bangkit dari tempat tidurnya, lupa kalau matanya yang sembab bisa terlihat. “Tapi agak sedikit sulit,” kata Pak Polololu lagi.

“Aku akan melakukan apa saja,” kata Ardi sungguh-sungguh.

“Baiklah. Begini, kami butuh ramuan untuk mengembalikan semua tulisan. Tapi kami perlu bantuanmu untuk mendapatkan bahan-bahannya.”

Ardi bergidik mendengar bahan ramuan yang disebutkan Pak Polololu. Pikirnya, untung bukan buat dirinya. Pak Polololu meminta hati ayam rebus, daun katuk, daun pepaya, kunyit, minyak ikan, singkong dan pisang ambon yang semuanya diblender jadi satu dan dibuat jus. Anehnya semua bahan itu bisa ditemukan Ardi di dapur ibunya. Malam itu juga dia membuatkan ramuan tersebut. Meskipun aneh, beruntung sekali orangtua Ardi tidak terbangun meskipun Ardi berisik sekali. Setelah siap, Ardi menyerahkannya ke Pak Polololu.

“Ini namanya Jus Muslihat. Sekarang minumlah."

“Apa?! Jadi jus ini buatku?” tanya Ardi tak percaya. “Tidak mau!”

Semua makhluk bulat itu langsung berisik. Pak Polololu mengatasi keriuhan murid-muridnya. “Tenang!” serunya. “Yah, kalau tidak mau terserah. Ini bukan kepentingan kami,” lanjutnya pada Ardi.

Akhirnya, mau tak mau Ardi pun setuju. Dari bentuknya saja Ardi sudah tahu pasti ramuan itu tidak enak. Apalagi diberi nama Jus Muslihat. Jadi khawatir meminumnya.

Baru satu tegukan, Ardi langsung muntah. Walaupun dia diancam disengat tawon, dia tidak akan bersedia meminumnya lagi.

“Satu teguk juga boleh. Sekarang pejamkan matamu,” kata Pak Polololu. Ardi ragu-ragu melakukannya. Lalu, dengan aba-aba dari Pak Polololu, secara serentak semua huruf, kata dan kalimat keluar dari sungutnya dan murid-muridnya, terbang menggulung sesaat, dan dalam hitungan detik kembali ke asalnya. “Buka matamu.”

Perlahan Ardi membuka matanya. Dia kaget karena tidak menemukan Pak Polololu ataupun murid-muridnya. Buru-buru Ardi menghampiri buku-bukunya. Semua tulisan telah kembali. Dia juga bisa melihat tulisan kakeknya di halaman depan ensiklopedinya.

Sementara itu Pak Polololu dan murid-muridnya sudah pergi jauh sambil terkikik-kikik.

“Mau saja dia minum jus itu. Jus Muslihat kan tidak ada hubungannya. Dari namanya saja sudah ketahuan,” kata Pak Polololu. Murid-muridnya tertawa. “Murid-murid, ayo kita cari anak lainnya yang malas membaca!”

“Baik, Pak!”

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment