Sunday 9 February 2014

IIN INGIN JADI WARTAWAN

ilustrasi-dongeng-cerita-anak-bergambar

Cerita Anak

IIN sedang mematut dirinya di depan cermin. Dia bukannya sedang mencoba-coba baju baru atau pita baru. Bukan juga sedang menyisir rambut keritingnya. Iin sedang berakting. Namun bukannya ia ingin jadi bintang film. Bukan hal seperti itu. Iin punya cita-cita. Bagaimana cara untuk mewujudkannya, ia belum tahu. Yang jelas, ia akan bekerja keras dan bersungguh-sungguh. Cita-cita Iin adalah ingin menjadi seorang wartawan yang profesional.

Saat ini Iin sedang berpura-pura sedang mewawancarai seseorang. Sambil menyodorkan mic khayalan pada bayangannya di cermin, Iin berkata,

“Bagaimana perkembangan penelitian tentang perilaku anak biawak yang Profesor kerjakan?”

Iin terkikik senang. Kemudian mengganti topik wawancaranya. Sekali lagi ia menyodorkan mic khayalannya pada bayangannya di cermin.

“Strategi seperti apa yang sedang Bapak susun untuk memperkenalkan getuk dan tiwul ke luar negeri?”

Alasan Iin ingin menjadi wartawan adalah, karena ia ingin bertemu dengan banyak orang hebat. Cakap berbahasa Inggris dan bisa keliling nusantara bahkan mancanegara.

Karena selama ini Iin hanya berlatih seorang diri, dia merasa seharusnya mewawancarai orang-orang yang sebenarnya. Iin mulai berpikir, siapa orang pertama yang akan ia wawancarai. Sayangnya Iin tidak punya kenalan orang-orang hebat seperti dalam khayalannya. Dia tidak punya teman seorang profesor. Teman-temannya yang ia miliki semuanya sama seperti dirinya, masih bersekolah di sekolah dasar. Iin juga tidak punya teman seorang selebriti untuk bisa diwawancarai. Akhirnya karena kehabisan ide, Iin menemui papa untuk meminta saran dan nasihat. Saat itu papa sedang sibuk memperbaiki pipa air yang bocor.

“Oh, ingin mewawancarai orang-orang hebat?”

“Iya.”

“Hebat dalam bidang apa?”

“Apa saja. Teknologi, seni, olahraga, ekonomi… apa papa punya kenalan?” Iin bertanya penuh harap.

“Papa rasa tetangga dekat kita ada.”

“Oh, ya?!” seru Iin riang.

Papa pun memberikan sederet nama tetangga terdekat mereka. Ia tuliskan pada selembar kertas lengkap dengan nomor rumah mereka. Iin menerimanya dengan suka ria.

Iin mengenali sebagian dari nama-nama tersebut, sebagian lagi ia tidak terlalu kenal. Iin membaca satu persatu.

“Mbah Pardi … rumah nomor lima belas. Oh, Mbah Pardi kan pedagang tahu keliling…” Iin berkata amat pelan. Dia sedikit kecewa. Iin tidak bermaksud merendahkan pekerjaan Mbah Pardi. Namun yang diharapkannya adalah mewancarai seorang profesor, atlet nasional, gitaris terkenal, menteri pendidikan atau bila mungkin mewawancarai ratu Inggris. Bila itu semua belum bisa tercapai, setidaknya ia bisa mewawancarai dokter gigi setempat. Iin membaca lagi.

“Pak Dayat rumah nomor dua puluh satu.”

Lagi-lagi Iin kecewa. Pak Dayat sudah tidak lagi bekerja. Dan setahu Iin, Pak Dayat sebelumnya mengajar di sekolah menengah.

“Bu Syarifah,” baca Iin sekali lagi. Bu Syarifah bahkan tidak bekerja. Ia adalah seorang ibu rumah tangga.
Iin tidak mengerti. Mengapa papa memberikan nama-nama itu? Apakah karena papa sebetulnya juga tidak memiliki kenalan orang-orang hebat?

Akhirnya Iin hanya duduk termenung di teras depan rumahnya. Ia memandangi kertas berisi daftar nama yang tadi diberikan papa.

Di tengah kegundahannya, papa datang menghampiri.

“Lho, kok Iin masih di sini? Katanya ingin pergi mewancara,” tanya papa.

Bagaimana ini? Iin harus menjawab apa? Dia merasa tidak enak jika harus mengatakan yang sebenarnya. Tetapi kalau tidak dikatakan, Iin juga tidak bisa menyelesaikan sendiri masalahnya.

“Sebetulnya Iin ingin mewancarai orang-orang hebat, orang-orang penting,” jawab Iin perlahan.

“Papa kan sudah beri daftar orang-orangnya,” jawab papa seraya tersenyum.

Aduh, bagaimana cara mengatakannya, ya? Pikir Iin.

“Ng… maksud Iin orang-orang yang ng…” Iin tidak menemukan kata-kata yang tepat.

“Memangnya Mbah Pardi dan Bu Syarifah bukan orang hebat?” tanya papa. “Kalau menurut papa mereka orang-orang hebat.” Iin mendongak menatap wajah papa.

“Tapi Mbah Pardi hanya berjualan tahu keliling,” kata Iin, mencoba mempertegas.

“Kalau menurut Iin, orang hebat itu seperti apa?” papa bertanya lagi.

“Orang-orang sukses, seperti seorang astronot, dokter spesialis, direktur…” jawab Iin.

Papa tersenyum kembali.

“Kita tidak harus melakukan hal besar untuk menjadi hebat,” kata papa. “Bahkan orang-orang hebat sebelum menjadi hebat melakukan hal-hal yang kecil.”

Iin memiringkan sedikit kepalanya. Ia tidak mengerti maksud perkataan papa.

“Dari melakukan hal-hal yang kecil, tapi berdampak pada hal besar.”

Iin menggelengkan kepalanya. Ia masih tidak mengerti. “Bukankah orang hebat itu bisa melakukan sesuatu yang orang lain tidak bisa melakukannya?” kata Iin.

Papa menjawab, “Betul sekali. Contohnya Mbah Pardi. Dia memang hanya penjual tahu keliling. Yang mengenal Mbah Pardi hanya langganannya saja. Dagangan tahunya tidak terkenal ke penjuru negeri. Tapi apa Iin tahu kalau Mbah Pardi sangat berjasa bagi banyak orang?”

“Karena berjualan makanan bergizi?” jawab Iin tak yakin.

“Oh, ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan tahu,” jawab papa sambil tersenyum misterius.

“Lalu apa?” tanya Iin penasaran.

“Mbah Pardi sangat peduli lingkungan. Saat dia berkeliling menjual tahu-tahunya, setiap kali Mbah Pardi menemukan sampah di jalan, akan dia pungut lalu dibuangnya pada tempatnya. Apa semua orang bisa seperti Mbah Pardi? Papa rasa tidak. Buktinya orang lain membuang sampah sembarangan di jalan.”

Iin mencoba merenungkan penjelasan papa tersebut. Mbah Pardi betul-betul baik hati. Tidak semua orang bisa mencintai kebersihan lingkungan seperti halnya Mbah Pardi.

“Tapi… bagaimana dengan Bu Syarifah? Bu Syarifah kan tidak bekerja,” kata Iin, belum menerima penjelasan papa sepenuhnya.

“Iin tahu tidak, semua mukena, sarung dan sajadah di mushola, Bu Syarifah yang mencucinya. Padahal tidak ada yang membayarnya. Tidak ada pula yang menyuruhnya. Tapi Bu Syarifah mau melakukannya.”

“Kenapa?” tanya Iin tak habis pikir.

“Bu Syarifah ingin agar semua orang yang mengenakan barang-barang tersebut merasa nyaman. Coba bayangkan kalau mukena tidak pernah dicuci sama sekali?”

Iin mencoba membayangkan itu. Ih, pasti baunya tidak enak sekali, pikir Iin.

“Hebat bukan, orang seperti Bu Syarifah?”

Tanpa ragu Iin mengangguk. Tidak mudah menemukan orang-orang seperti Bu Syarifah. Perbuatan Bu Syarifah sungguh mulia.

“Terus, kalau Pak Dayat?”

“Pak Dayat juga orang hebat. Dulu sewaktu dia masih mengajar, dia suka membagi-bagikan buku secara cuma-cuma kepada murid-muridnya. Jika ada muridnya yang tidak mampu membayar iuran, Pak Dayat akan menolongnya.”

“Pak Dayat sangat baik hati,” kata Iin merasa kagum.

“Pak Dayat adalah seorang guru yang sangat peduli pada pendidikan murid-muridnya.”

Iin diam sejenak. Ternyata ia sudah salah. Orang hebat bisa ditemukan di mana saja. Tidak harus mereka yang telah melakukan hal besar. Hal-hal kecil jika dilakukan dengan baik dan memberi manfaat bagi yang lain, akan menjadi hal yang besar.

“Iin mengerti sekarang,” kata Iin manggut-manggut. Papa tersenyum senang. “Oh, ya, Pa. sepertinya daftar nama di sini ada yang kurang.”

“Oh, ya? Siapa lagi orang hebat itu?” tanya papa ingin tahu.

“Orang ini sangat baik dan peduli. Iin akan mewawancarainya pertama kali!” jawab Iin bersemangat.

“Wah, siapa orangnya? Papa jadi penasaran.”

“Orangnya adalah papa sendiri,” kata Iin. Papa terpelongo mendengar jawaban Iin.

“Papa?” ulang papa tak habis pikir.

“Iya! Menurut Iin, papa adalah orang hebat. Buktinya walau papa lagi sibuk betulin pipa, tapi masih mau menolong Iin. Padahal papa tidak Iin bayar.”

Mendengarnya papa tertawa geli.

“Terima kasih ya, Pa,” kata Iin.

Setelah papa selesai memperbaiki pipa air yang bocor, Iin pun memulai wawancarainya. Senangnya hati Iin. Ternyata orang hebat pertama yang ia wawancarai adalah papanya sendiri. 

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

Cerita ini juga diposting di situs blogdongenganak.com

No comments:

Post a Comment