Cerita Anak
IIN sedang mematut dirinya di depan cermin. Dia bukannya sedang mencoba-coba baju baru atau pita baru. Bukan juga sedang menyisir rambut keritingnya. Iin sedang berakting. Namun bukannya ia ingin jadi bintang film. Bukan hal seperti itu. Iin punya cita-cita. Bagaimana cara untuk mewujudkannya, ia belum tahu. Yang jelas, ia akan bekerja keras dan bersungguh-sungguh. Cita-cita Iin adalah ingin menjadi seorang wartawan yang profesional.
Saat ini Iin sedang berpura-pura
sedang mewawancarai seseorang. Sambil menyodorkan mic khayalan pada bayangannya
di cermin, Iin berkata,
“Bagaimana perkembangan
penelitian tentang perilaku anak biawak yang Profesor kerjakan?”
Iin terkikik senang. Kemudian
mengganti topik wawancaranya. Sekali lagi ia menyodorkan mic khayalannya pada
bayangannya di cermin.
“Strategi seperti apa yang sedang
Bapak susun untuk memperkenalkan getuk dan tiwul ke luar negeri?”
Alasan Iin ingin menjadi wartawan
adalah, karena ia ingin bertemu dengan banyak orang hebat. Cakap berbahasa
Inggris dan bisa keliling nusantara bahkan mancanegara.
Karena selama ini Iin hanya
berlatih seorang diri, dia merasa seharusnya mewawancarai orang-orang yang
sebenarnya. Iin mulai berpikir, siapa orang pertama yang akan ia wawancarai.
Sayangnya Iin tidak punya kenalan orang-orang hebat seperti dalam khayalannya.
Dia tidak punya teman seorang profesor. Teman-temannya yang ia miliki semuanya
sama seperti dirinya, masih bersekolah di sekolah dasar. Iin juga tidak punya
teman seorang selebriti untuk bisa diwawancarai. Akhirnya karena kehabisan ide,
Iin menemui papa untuk meminta saran dan nasihat. Saat itu papa sedang sibuk
memperbaiki pipa air yang bocor.
“Oh, ingin mewawancarai
orang-orang hebat?”
“Iya.”
“Hebat dalam bidang apa?”
“Apa saja. Teknologi, seni,
olahraga, ekonomi… apa papa punya kenalan?” Iin bertanya penuh harap.
“Papa rasa tetangga dekat kita
ada.”
“Oh, ya?!” seru Iin riang.
Papa pun memberikan sederet nama
tetangga terdekat mereka. Ia tuliskan pada selembar kertas lengkap dengan nomor
rumah mereka. Iin menerimanya dengan suka ria.
Iin mengenali sebagian dari
nama-nama tersebut, sebagian lagi ia tidak terlalu kenal. Iin membaca satu
persatu.
“Mbah Pardi … rumah nomor lima
belas. Oh, Mbah Pardi kan pedagang tahu keliling…” Iin berkata amat pelan. Dia
sedikit kecewa. Iin tidak bermaksud merendahkan pekerjaan Mbah Pardi. Namun
yang diharapkannya adalah mewancarai seorang profesor, atlet nasional, gitaris
terkenal, menteri pendidikan atau bila mungkin mewawancarai ratu Inggris. Bila
itu semua belum bisa tercapai, setidaknya ia bisa mewawancarai dokter gigi
setempat. Iin membaca lagi.
“Pak Dayat rumah nomor dua puluh
satu.”
Lagi-lagi Iin kecewa. Pak Dayat
sudah tidak lagi bekerja. Dan setahu Iin, Pak Dayat sebelumnya mengajar di
sekolah menengah.
“Bu Syarifah,” baca Iin sekali
lagi. Bu Syarifah bahkan tidak bekerja. Ia adalah seorang ibu rumah tangga.
Iin tidak mengerti. Mengapa papa
memberikan nama-nama itu? Apakah karena papa sebetulnya juga tidak memiliki
kenalan orang-orang hebat?
Akhirnya Iin hanya duduk
termenung di teras depan rumahnya. Ia memandangi kertas berisi daftar nama yang
tadi diberikan papa.
Di tengah kegundahannya, papa
datang menghampiri.
“Lho, kok Iin masih di sini?
Katanya ingin pergi mewancara,” tanya papa.
Bagaimana ini? Iin harus menjawab
apa? Dia merasa tidak enak jika harus mengatakan yang sebenarnya. Tetapi kalau
tidak dikatakan, Iin juga tidak bisa menyelesaikan sendiri masalahnya.
“Sebetulnya Iin ingin mewancarai
orang-orang hebat, orang-orang penting,” jawab Iin perlahan.
“Papa kan sudah beri daftar
orang-orangnya,” jawab papa seraya tersenyum.
Aduh, bagaimana cara
mengatakannya, ya? Pikir Iin.
“Ng… maksud Iin orang-orang yang ng…”
Iin tidak menemukan kata-kata yang tepat.
“Memangnya Mbah Pardi dan Bu
Syarifah bukan orang hebat?” tanya papa. “Kalau menurut papa mereka orang-orang
hebat.” Iin mendongak menatap wajah papa.
“Tapi Mbah Pardi hanya berjualan
tahu keliling,” kata Iin, mencoba mempertegas.
“Kalau menurut Iin, orang hebat
itu seperti apa?” papa bertanya lagi.
“Orang-orang sukses, seperti
seorang astronot, dokter spesialis, direktur…” jawab Iin.
Papa tersenyum kembali.
“Kita tidak harus melakukan hal
besar untuk menjadi hebat,” kata papa. “Bahkan orang-orang hebat sebelum
menjadi hebat melakukan hal-hal yang kecil.”
Iin memiringkan sedikit
kepalanya. Ia tidak mengerti maksud perkataan papa.
“Dari melakukan hal-hal yang
kecil, tapi berdampak pada hal besar.”
Iin menggelengkan kepalanya. Ia
masih tidak mengerti. “Bukankah orang hebat itu bisa melakukan sesuatu yang
orang lain tidak bisa melakukannya?” kata Iin.
Papa menjawab, “Betul sekali. Contohnya
Mbah Pardi. Dia memang hanya penjual tahu keliling. Yang mengenal Mbah Pardi
hanya langganannya saja. Dagangan tahunya tidak terkenal ke penjuru negeri.
Tapi apa Iin tahu kalau Mbah Pardi sangat berjasa bagi banyak orang?”
“Karena berjualan makanan
bergizi?” jawab Iin tak yakin.
“Oh, ini tidak ada hubungannya
sama sekali dengan tahu,” jawab papa sambil tersenyum misterius.
“Lalu apa?” tanya Iin penasaran.
“Mbah Pardi sangat peduli
lingkungan. Saat dia berkeliling menjual tahu-tahunya, setiap kali Mbah Pardi
menemukan sampah di jalan, akan dia pungut lalu dibuangnya pada tempatnya. Apa
semua orang bisa seperti Mbah Pardi? Papa rasa tidak. Buktinya orang lain
membuang sampah sembarangan di jalan.”
Iin mencoba merenungkan
penjelasan papa tersebut. Mbah Pardi betul-betul baik hati. Tidak semua orang
bisa mencintai kebersihan lingkungan seperti halnya Mbah Pardi.
“Tapi… bagaimana dengan Bu
Syarifah? Bu Syarifah kan tidak bekerja,” kata Iin, belum menerima penjelasan
papa sepenuhnya.
“Iin tahu tidak, semua mukena,
sarung dan sajadah di mushola, Bu Syarifah yang mencucinya. Padahal tidak ada
yang membayarnya. Tidak ada pula yang menyuruhnya. Tapi Bu Syarifah mau
melakukannya.”
“Kenapa?” tanya Iin tak habis
pikir.
“Bu Syarifah ingin agar semua
orang yang mengenakan barang-barang tersebut merasa nyaman. Coba bayangkan
kalau mukena tidak pernah dicuci sama sekali?”
Iin mencoba membayangkan itu. Ih,
pasti baunya tidak enak sekali, pikir Iin.
“Hebat bukan, orang seperti Bu
Syarifah?”
Tanpa ragu Iin mengangguk. Tidak
mudah menemukan orang-orang seperti Bu Syarifah. Perbuatan Bu Syarifah sungguh
mulia.
“Terus, kalau Pak Dayat?”
“Pak Dayat juga orang hebat. Dulu
sewaktu dia masih mengajar, dia suka membagi-bagikan buku secara cuma-cuma
kepada murid-muridnya. Jika ada muridnya yang tidak mampu membayar iuran, Pak
Dayat akan menolongnya.”
“Pak Dayat sangat baik hati,”
kata Iin merasa kagum.
“Pak Dayat adalah seorang guru
yang sangat peduli pada pendidikan murid-muridnya.”
Iin diam sejenak. Ternyata ia
sudah salah. Orang hebat bisa ditemukan di mana saja. Tidak harus mereka yang
telah melakukan hal besar. Hal-hal kecil jika dilakukan dengan baik dan memberi
manfaat bagi yang lain, akan menjadi hal yang besar.
“Iin mengerti sekarang,” kata Iin
manggut-manggut. Papa tersenyum senang. “Oh, ya, Pa. sepertinya daftar nama di sini
ada yang kurang.”
“Oh, ya? Siapa lagi orang hebat
itu?” tanya papa ingin tahu.
“Orang ini sangat baik dan
peduli. Iin akan mewawancarainya pertama kali!” jawab Iin bersemangat.
“Wah, siapa orangnya? Papa jadi
penasaran.”
“Orangnya adalah papa sendiri,”
kata Iin. Papa terpelongo mendengar jawaban Iin.
“Papa?” ulang papa tak habis
pikir.
“Iya! Menurut Iin, papa adalah
orang hebat. Buktinya walau papa lagi sibuk betulin pipa, tapi masih mau
menolong Iin. Padahal papa tidak Iin bayar.”
Mendengarnya papa tertawa geli.
“Terima kasih ya, Pa,” kata Iin.
Setelah papa selesai memperbaiki
pipa air yang bocor, Iin pun memulai wawancarainya. Senangnya hati Iin.
Ternyata orang hebat pertama yang ia wawancarai adalah papanya sendiri.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
Cerita ini juga diposting di situs blogdongenganak.com
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
Cerita ini juga diposting di situs blogdongenganak.com
No comments:
Post a Comment