Cerita Anak
SEMUA orang di
rumah dengan pekarangan yang luas itu sedang berbahagia. Namun ada seorang bocah laki-laki di sana
yang tidak sebahagia yang lain. Namanya Faris. Usianya delapan tahun. Ia baru saja mendapat adik laki-laki baru.
Bukannya Faris tidak menyukai kehadiran adik barunya. Ada sesuatu yang membuat
perasaannya sedikit gelisah.
Yang membuat Faris
gelisah adalah, ia tidak yakin bagaimana ibunya bisa membagi kasih sayang
kepada mereka
tanpa pilih kasih. Menurut pandangan Faris sebagai bocah, sebelum adik barunya
lahir, kasih sayang ibunya tidak sebegitu besar padanya. Ibunya lebih sayang
kepada kakaknya sebagai anak sulung. Ibunya juga lebih sayang kepada adiknya
karena adiknya satu-satunya anak perempuan. Buktinya, kakaknya selalu mendapat pakaian baru. Sementara
Faris selalu mewarisi pakaian dari kakaknya. Ibu juga lebih memperhatikan adik
perempuannya. Jika mereka
bertengkar, sang adik akan mengadu pada ibu. Lalu ibu akan memeluknya hingga
tangisannya berhenti.
Rupanya kegelisahan Faris terlihat oleh ibu. Ketika itu Faris sedang
duduk termenung. Ibu menghampirinya lalu menanyakan apa yang sedang dipikirkan
Faris.
“Ng… apa ibu sayang sama Faris?” tanya Faris polos.
“Tentu saja. Sayang ibu sebanyak sinar matahari yang menyinari,” jawab
ibu sambil tersenyum.
“Sebesar apa sayang ibu sama adik bayi?” tanya Faris lagi.
“Sebesar matahari juga.”
Pikir Faris, bagaimana mungkin sama-sama sebesar matahari? Matahari itu
hanya satu. Dan jika banyak yang harus disinari, tentunya akan terbagi-bagi.
Tidak mungkin bisa sama. Karena tentu sulit membaginya sama rata.
“Faris masih bingung? Ayo, ikut ibu,” kata ibu seraya menggamit tangan
anak laki-lakinya itu. Ibu membawa Faris ke pekarangan belakang rumah. Tempat ibu
merawat kebun bunganya.
Kebun bunga ibu tampak berwarna-warni. Bunga-bunga sedang bermekaran di
sana. Ada bunga matahari yang tampak cemerlang. Bunga mawar merah dengan
tetesan embun yang masih menggantung di ujung kelopaknya. Bunga putri malu yang
tumbuh merambat di tanah. Bunga sedap malam yang masih menguncup. Pada malam
hari bunganya yang putih baru akan mekar dan mengeluarkan bau yang sangat
harum. Banyak pula jenis tanaman yang tidak berbunga seperti suplir dan kuping
gajah. Rumput gajah mini juga membentang hijau di atas setiap lapisan tanah
kebun itu.
Di sudut kebun ada kolam kecil. Dindingnya disusun oleh batu-batu bata.
Kolam itu dihiasi oleh bunga-bunga teratai yang berwarna merah muda. Di dinding
pagar kayu ada bunga anggrek yang tumbuh merambat. Ada juga kaktus yang ditanam
di dalam pot-pot kecil. Di sudut lain kebun itu tumbuh pohon ketapang.
Dahan-dahannya tumbuh melengkung horizontal. Sehingga pohon itu tampak seperti payung
besar.
Faris sangat senang berada di kebun ibu. Indah sekali. Tetapi, kenapa
ibu mengajak Faris ke kebun bunganya? Apa hubungannya? Faris bertanya-tanya
dalam hati.
“Ini tanaman suplir,” mulai ibu seraya menunjuk tanaman dengan
daun-daunnya yang kecil. Di bagian bawah tepi daunnya ada bintik-bintik hitam.
“Suplir butuh sinar matahari. Tapi ia tidak suka sinar matahari secara
langsung. Makanya ibu tanam di tempat yang teduh. Di dekat bunga matahari yang
tinggi. Supaya suplir ini bisa terlindung.”
“Kenapa ia tidak suka matahari langsung?” tanya Faris.
“Daun-daunnya mudah melepuh,” jawab ibu. “Kalau bunga matahari
kebalikannya. Ia suka sinar matahari langsung. Makanya ibu tanam di tempat
terbuka. Bukan di sebelah pohon ketapang.”
Ibu beralih ke tanaman lain.
“Kuping gajah juga butuh sinar matahari secukupnya saja. Kalau berlebihan
daunnya bisa kering. Tapi kalau kekurangan juga tidak bagus. Daunnya jadi pucat,
” kata ibu. Ia menggoyang pelan daun kuping gajah yang lebar dan halus seperti
beludru.
“Jadi setiap tumbuhan butuh sinar matahari dalam jumlah yang tidak sama?”
Faris menyimpulkan. Ibu mengangguk membenarkan.
“Selain butuh matahari, tumbuhan juga butuh air. Makanya ada hujan,”
kata ibu.
“Tapi hujan tidak setiap hari. Ibu kan menyiram bunga-bunga ini dari air
keran.”
“Air keran di rumah kita asalnya dari sungai juga. Sungai pun dapat air
dari hujan. Dan coba tebak, kenapa air hujan bisa ada di atas langit sana?”
“Kenapa?”
“Karena matahari.”
“Matahari?” ulang Faris.
“Iya. Sinar matahari memanaskan permukaan air di bumi. Makanya timbul
uap air, sama seperti kalau kita memanaskan air di atas kompor. Uap airnya naik
ke atas membentuk awan. Lalu jadilah awan itu hujan.”
“Oh, begitu.”
“Coba bayangkan kalau setiap tanaman, hewan dan manusia mendapatkan
sinar matahari yang sama rata?”
Faris mengerutkan dahinya, membayangkan hal itu.
“Bentuk bumi bisa jadi tidak bulat. Melainkan datar, supaya setiap sisi
bisa mendapatkan sinar matahari yang sama banyaknya dalam waktu yang juga
bersamaan. Kalau sudah begitu, mungkin setiap wilayah akan punya tanaman,
hewan, bahkan musim yang sama. Coba perhatikan kebun bunga ini, tanamannya
beraneka ragam. Kalau semuanya sama, tentu dunia ini akan membosankan.”
Faris tidak bisa membayangkan kalau kebun bunga di seluruh dunia ini
hanya berisi satu jenis tanaman yang sama.
“Seperti itulah kasih sayang ibu sama Faris, sama kakak, juga sama
adik-adik Faris. Seperti matahari yang bersinar di pagi hari supaya makhluk
hidup bisa beraktivitas. Dan menghilang ketika malam hari supaya mereka bisa
beristirahat.”
Ibu tersenyum. Matanya berbinar-binar secerah matahari pagi. Faris lalu
memeluknya.
Tentu saja kasih sayang ibu sangat besar. Tak terhingga seperti sinar
matahari. Atau mungkin lebih dari itu. Faris merasa sangat beruntung bisa
memiliki banyak saudara. Dengan begitu mereka bisa berbagi kasih sayang ibu. Seperti
halnya si suplir. Ia tidak iri pada bunga matahari yang tumbuh lebih tinggi
sehingga bisa mendapat sinar matahari lebih banyak dari dirinya. Karena ia
tahu, ia bukan bunga matahari sehingga ia tidak butuh lebih dari itu.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment