Sunday 18 May 2014

KASIH IBU

ilustrasi-dongeng-cerita-anak-bergambar

Cerita Anak

SEMUA orang di rumah dengan pekarangan yang luas itu sedang berbahagia. Namun ada seorang bocah laki-laki di sana yang tidak sebahagia yang lain. Namanya Faris. Usianya delapan tahun.  Ia baru saja mendapat adik laki-laki baru. Bukannya Faris tidak menyukai kehadiran adik barunya. Ada sesuatu yang membuat perasaannya sedikit gelisah.



Sejak kelahiran si bayi, Faris kini menjadi empat bersaudara. Kakak laki-laki Faris sudah SMP. Adik Faris yang pertama adalah anak perempuan. Usianya enam tahun. Dan sekarang Faris punya adik laki-laki.

Yang membuat Faris gelisah adalah, ia tidak yakin bagaimana ibunya bisa membagi kasih sayang kepada mereka tanpa pilih kasih. Menurut pandangan Faris sebagai bocah, sebelum adik barunya lahir, kasih sayang ibunya tidak sebegitu besar padanya. Ibunya lebih sayang kepada kakaknya sebagai anak sulung. Ibunya juga lebih sayang kepada adiknya karena adiknya satu-satunya anak perempuan. Buktinya, kakaknya selalu mendapat pakaian baru. Sementara Faris selalu mewarisi pakaian dari kakaknya. Ibu juga lebih memperhatikan adik perempuannya. Jika mereka bertengkar, sang adik akan mengadu pada ibu. Lalu ibu akan memeluknya hingga tangisannya berhenti.

Rupanya kegelisahan Faris terlihat oleh ibu. Ketika itu Faris sedang duduk termenung. Ibu menghampirinya lalu menanyakan apa yang sedang dipikirkan Faris.

“Ng… apa ibu sayang sama Faris?” tanya Faris polos.

“Tentu saja. Sayang ibu sebanyak sinar matahari yang menyinari,” jawab ibu sambil tersenyum.

“Sebesar apa sayang ibu sama adik bayi?” tanya Faris lagi.

“Sebesar matahari juga.”

Pikir Faris, bagaimana mungkin sama-sama sebesar matahari? Matahari itu hanya satu. Dan jika banyak yang harus disinari, tentunya akan terbagi-bagi. Tidak mungkin bisa sama. Karena tentu sulit membaginya sama rata.

“Faris masih bingung? Ayo, ikut ibu,” kata ibu seraya menggamit tangan anak laki-lakinya itu. Ibu membawa Faris ke pekarangan belakang rumah. Tempat ibu merawat kebun bunganya.

Kebun bunga ibu tampak berwarna-warni. Bunga-bunga sedang bermekaran di sana. Ada bunga matahari yang tampak cemerlang. Bunga mawar merah dengan tetesan embun yang masih menggantung di ujung kelopaknya. Bunga putri malu yang tumbuh merambat di tanah. Bunga sedap malam yang masih menguncup. Pada malam hari bunganya yang putih baru akan mekar dan mengeluarkan bau yang sangat harum. Banyak pula jenis tanaman yang tidak berbunga seperti suplir dan kuping gajah. Rumput gajah mini juga membentang hijau di atas setiap lapisan tanah kebun itu.

Di sudut kebun ada kolam kecil. Dindingnya disusun oleh batu-batu bata. Kolam itu dihiasi oleh bunga-bunga teratai yang berwarna merah muda. Di dinding pagar kayu ada bunga anggrek yang tumbuh merambat. Ada juga kaktus yang ditanam di dalam pot-pot kecil. Di sudut lain kebun itu tumbuh pohon ketapang. Dahan-dahannya tumbuh melengkung horizontal. Sehingga pohon itu tampak seperti payung besar.

Faris sangat senang berada di kebun ibu. Indah sekali. Tetapi, kenapa ibu mengajak Faris ke kebun bunganya? Apa hubungannya? Faris bertanya-tanya dalam hati.

“Ini tanaman suplir,” mulai ibu seraya menunjuk tanaman dengan daun-daunnya yang kecil. Di bagian bawah tepi daunnya ada bintik-bintik hitam. “Suplir butuh sinar matahari. Tapi ia tidak suka sinar matahari secara langsung. Makanya ibu tanam di tempat yang teduh. Di dekat bunga matahari yang tinggi. Supaya suplir ini bisa terlindung.”

“Kenapa ia tidak suka matahari langsung?” tanya Faris.

“Daun-daunnya mudah melepuh,” jawab ibu. “Kalau bunga matahari kebalikannya. Ia suka sinar matahari langsung. Makanya ibu tanam di tempat terbuka. Bukan di sebelah pohon ketapang.”

Ibu beralih ke tanaman lain.

“Kuping gajah juga butuh sinar matahari secukupnya saja. Kalau berlebihan daunnya bisa kering. Tapi kalau kekurangan juga tidak bagus. Daunnya jadi pucat, ” kata ibu. Ia menggoyang pelan daun kuping gajah yang lebar dan halus seperti beludru.

“Jadi setiap tumbuhan butuh sinar matahari dalam jumlah yang tidak sama?” Faris menyimpulkan. Ibu mengangguk membenarkan.

“Selain butuh matahari, tumbuhan juga butuh air. Makanya ada hujan,” kata ibu.

“Tapi hujan tidak setiap hari. Ibu kan menyiram bunga-bunga ini dari air keran.”

“Air keran di rumah kita asalnya dari sungai juga. Sungai pun dapat air dari hujan. Dan coba tebak, kenapa air hujan bisa ada di atas langit sana?”

“Kenapa?”

“Karena matahari.”

“Matahari?” ulang Faris.

“Iya. Sinar matahari memanaskan permukaan air di bumi. Makanya timbul uap air, sama seperti kalau kita memanaskan air di atas kompor. Uap airnya naik ke atas membentuk awan. Lalu jadilah awan itu hujan.”

“Oh, begitu.”

“Coba bayangkan kalau setiap tanaman, hewan dan manusia mendapatkan sinar matahari yang sama rata?”

Faris mengerutkan dahinya, membayangkan hal itu.

“Bentuk bumi bisa jadi tidak bulat. Melainkan datar, supaya setiap sisi bisa mendapatkan sinar matahari yang sama banyaknya dalam waktu yang juga bersamaan. Kalau sudah begitu, mungkin setiap wilayah akan punya tanaman, hewan, bahkan musim yang sama. Coba perhatikan kebun bunga ini, tanamannya beraneka ragam. Kalau semuanya sama, tentu dunia ini akan membosankan.”

Faris tidak bisa membayangkan kalau kebun bunga di seluruh dunia ini hanya berisi satu jenis tanaman yang sama.

“Seperti itulah kasih sayang ibu sama Faris, sama kakak, juga sama adik-adik Faris. Seperti matahari yang bersinar di pagi hari supaya makhluk hidup bisa beraktivitas. Dan menghilang ketika malam hari supaya mereka bisa beristirahat.”

Ibu tersenyum. Matanya berbinar-binar secerah matahari pagi. Faris lalu memeluknya.

Tentu saja kasih sayang ibu sangat besar. Tak terhingga seperti sinar matahari. Atau mungkin lebih dari itu. Faris merasa sangat beruntung bisa memiliki banyak saudara. Dengan begitu mereka bisa berbagi kasih sayang ibu. Seperti halnya si suplir. Ia tidak iri pada bunga matahari yang tumbuh lebih tinggi sehingga bisa mendapat sinar matahari lebih banyak dari dirinya. Karena ia tahu, ia bukan bunga matahari sehingga ia tidak butuh lebih dari itu.

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment