Cerita Anak
Hari ini Farah
merasa sangat senang. Tadi Bu Guru
memuji pidato buatannya yang dibacakan di depan kelas. Sepanjang perjalanan pulang sekolah, Farah dan teman-temannya
membicarakan hal itu.
“Pidato Farah kan dapat nilai delapan,” kata
Reni.
“Kamu kan juga dapat delapan,” kata Farah.
“Iya, tapi aku tidak kebagian membacakannya di depan kelas.”
“Aku cuma dapat tujuh,” kata Lala. “Oh, ya, katanya Arum dapat nilai
tertinggi, lho.”
“Oh, ya? Berapa?” tanya Farah penasaran.
“Arum dapat nilai sembilan,” kata Lala.
“Kok Arum tidak membacakan pidatonya di depan
kelas. Padahal Bu Guru memintanya maju ke depan,” kata Reni bertanya-tanya.
“Arum kan orangnya pemalu,” kata Farah.
Arum memang anak yang
sangat pemalu. Semua teman-temannya sudah biasa dengan sikapnya ini. Bahkan
untuk meminjam pensil kepada temannya karena ia lupa membawa, Arum sampai
terbata-bata dan mengeluarkan keringat dingin.
Farah masih ingat
suatu kejadian. Waktu itu mereka mendapat tugas kelompok. Kebetulan dia dan Arum satu
kelompok. Bu Guru menugaskan murid-muridnya untuk membuat herbarium. Farah dan Arum
sepakat untuk memakai bunga
alamanda sebagai bahan mereka.
Mereka pun berbagi
tugas. Farah pergi ke toko untuk membeli peralatan seperti kertas manila dan
lainnya. Sementara Arum yang akan mencari bunga alamanda. Tetangga Arum punya bunga alamanda di
halamannya.
Ternyata Arum tidak
melakukan tugasnya. Ketika Farah sudah membeli semua keperluan mereka, dengan
malu-malu Arum berkata bahwa ia belum meminta tanaman tersebut ke tetangganya.
Malah ia minta ditemani Farah meminta bunga alamanda tersebut. Padahal mereka sudah
berbagi tugas. Farah jadi sedikit sebal padanya.
Farah memang tahu
kalau Arum pemalu. Tetapi dia tidak habis pikir. Apa susahnya tinggal meminta
tanaman tersebut. Arum kan mengenal
tetangganya. Bahkan tetangga yang memiliki bunga alamanda tersebut
juga terkenal baik hati. Farah juga tidak mengerti. Mengapa Arum tidak berani
tampil di depan kelas untuk membacakan pidatonya. Padahal Arum mendapat nilai tertinggi untuk pidatonya.
Karena sifat Arum
yang sangat pemalu, Farah jadi tidak terlalu suka berteman dengannya.
Suatu sore, Farah disuruh
ibu membeli bumbu dapur di warung tak jauh dari rumahnya. Farah sedikit
berjingkrak-jingkrak sepanjang jalan menuju warung. Karena sore hari itu udara
tidak panas, bahkan sangat cerah dan segar, Farah mengambil jalan yang agak
jauh. Dia ingin berjalan-jalan melewati lapangan yang banyak ditumbuhi bunga.
Ketika melewati lapangan tersebut, Farah
berhenti sejenak untuk menciumi bunga-bunga melati yang tumbuh liar di sana.
“Wah, harumnya.”
Ketika Farah
beranjak mendekati kembang sepatu, tiba-tiba sesuatu berukuran kecil dan
berwarna hijau melompat ke arahnya. Farah tahu makhluk apa itu. Tanpa bisa
ditahan jantungnya mulai berdetak tak beraturan. Dan serta merta ia menjerit
keras-keras.
“Belalaaaaaaaang!!!”
Belalang itu
melompat dan hinggap di kepala Farah. Anak perempuan itu memang takut belalang.
Ia tidak tahu mengapa. Tetapi ia takut sekali pada serangga itu.
Karena tidak berani
melepaskan si belalang yang melengket di rambutnya dengan tangannya, Farah pun
mengibas-ngibaskan kepalanya. Namun si belalang bertahan di sana. Tidak mau
melepaskan diri.
“Pergi! Pergi!”
teriak Farah putus asa.
Si belalang
melompat dari kepala Farah, berganti menuju tangannya. Membuat anak perempuan
itu terpekik.
“Pergiiii!” Farah
berteriak sekali lagi sambil mengentak-entakkan tangannya.
Si belalang tidak
segera pergi dari tangannya. Karena takut dan kesal, mata Farah mulai
berkaca-kaca. Tanpa sadar Farah terduduk di jalan dan air matanya pun
bercucuran.
Farah menutupi
wajahnya dengan lengan yang satunya. Ia terus menangis. Hingga tiba-tiba ia
merasakan sesorang memegang pundaknya pelan. Farah tersentak kaget. Dilihatnya
si belalang sudah tidak ada lagi di tangannya. Farah menoleh untuk melihat
siapa yang memegang bahunya. Ia mendongak dan mendapati Arum tengah menatapnya
dengan raut wajah cemas.
“Farah, kamu kenapa
menangis di jalan?” tanya Arum lalu membantu Farah berdiri.
Dengan perasaan
malu Farah membersihkan wajahnya yang basah. Katanya, “Tidak apa-apa.”
“Mau kuantarkan
pulang?” tanya Arum. Farah melihat Arum membawa sepeda yang ada boncengannya.
“Terima kasih. Tapi
aku harus ke warung membeli bumbu dapur,” jawab Farah. Ia malu bercerita sebab
ia menangis karena seekor belalang hinggap di kepalanya.
“Oh, begitu,” kata Arum.
“Ng...” Arum terlihat hendak mengatakan sesuatu. Namun kentara sekali kalau ia
ragu-ragu.
“Kenapa, Rum?” tanya Farah.
“Maaf. Tapi tadi
aku lihat ada belalang di tanganmu. Ketika aku mendekat, belalangnya melompat
pergi.”
Deg. Jantung Farah seolah
berhenti berdetak. Ia menahan napas. Rasanya ia tidak sanggup kalau ketahuan
takut pada belalang.
“Ng... kamu takut
belalang, ya?” tanya Arum akhirnya.
Hati Farah
mencelos. Ia tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Karenanya Farah diam saja.
Arum tersenyum lalu
berkata, “Tidak apa-apa, kok. Aku kalau lagi takut juga sampai berkeringat
dingin. Jantung jadi berdetak tak karuan. Seperti waktu Bu Guru menyuruhku
membacakan pidato di depan kelas kemarin. Aku gugup sekali. Sampai-sampai
kakiku lengket di lantai. Tidak bisa berdiri,” cerita Arum.
Agak kaku Farah pun
menyimpul sedikit senyum. Selama ini ia selalu berpendapat kalau sifat pemalu Arum
itu tidak masuk akal dan sedikit menyebalkan. Farah tidak tahu bagaimana
perasaan Arum. Ternyata sama seperti yang dialaminya barusan. Farah menyesal
sempat merasa sebal pada Arum.
“Kalau begitu aku
duluan, ya,” kata Arum lalu menaiki sepedanya. Farah mengangguk sambil
tersenyum.
Kalau saja Farah tahu
dari dulu bagaimana perasaan Arum. Tentu ia tidak akan pernah mengejek sifat
pemalu Arum. Ia harusnya bisa seperti Arum. Bisa mengerti ketakutan Farah pada
belalang. Bukannya malah mengejeknya.
Farah melanjutkan
tujuannya yang sedikit tertunda. Sambil melangkah Farah pun mulai berpikir. Tidak seharusnya ia menghakimi seseorang karena kekurangannya. Kalau ia
tidak bisa membantu memperbaiki kekurangan itu, setidaknya ia tidak
mengejeknya.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment