Tuesday, 27 May 2014

SI TAKUT BELALANG

ilustrasi-dongeng-cerita-anak-bergambar

Cerita Anak

Hari ini Farah merasa sangat senang. Tadi Bu Guru memuji pidato buatannya yang dibacakan di depan kelas. Sepanjang perjalanan pulang sekolah, Farah dan teman-temannya membicarakan hal itu.

Pidato Farah kan dapat nilai delapan,” kata Reni.

Kamu kan juga dapat delapan,” kata Farah.

“Iya, tapi aku tidak kebagian membacakannya di depan kelas.”

“Aku cuma dapat tujuh,” kata Lala. “Oh, ya, katanya Arum dapat nilai tertinggi, lho.”

“Oh, ya? Berapa?” tanya Farah penasaran.

“Arum dapat nilai sembilan,” kata Lala.

Kok Arum tidak membacakan pidatonya di depan kelas. Padahal Bu Guru memintanya maju ke depan, kata Reni bertanya-tanya.

“Arum kan orangnya pemalu,” kata Farah.

Arum memang anak yang sangat pemalu. Semua teman-temannya sudah biasa dengan sikapnya ini. Bahkan untuk meminjam pensil kepada temannya karena ia lupa membawa, Arum sampai terbata-bata dan mengeluarkan keringat dingin.

Farah masih ingat suatu kejadian. Waktu itu mereka mendapat tugas kelompok. Kebetulan dia dan Arum satu kelompok. Bu Guru menugaskan murid-muridnya untuk membuat herbarium. Farah dan Arum sepakat untuk memakai bunga alamanda sebagai bahan mereka.

Mereka pun berbagi tugas. Farah pergi ke toko untuk membeli peralatan seperti kertas manila dan lainnya. Sementara Arum yang akan mencari bunga alamanda. Tetangga Arum punya bunga alamanda di halamannya.

Ternyata Arum tidak melakukan tugasnya. Ketika Farah sudah membeli semua keperluan mereka, dengan malu-malu Arum berkata bahwa ia belum meminta tanaman tersebut ke tetangganya. Malah ia minta ditemani Farah meminta bunga alamanda tersebut. Padahal mereka sudah berbagi tugas. Farah jadi sedikit sebal padanya.

Farah memang tahu kalau Arum pemalu. Tetapi dia tidak habis pikir. Apa susahnya tinggal meminta tanaman tersebut. Arum kan mengenal tetangganya. Bahkan tetangga yang memiliki bunga alamanda tersebut juga terkenal baik hati. Farah juga tidak mengerti. Mengapa Arum tidak berani tampil di depan kelas untuk membacakan pidatonya. Padahal  Arum mendapat nilai tertinggi untuk pidatonya.

Karena sifat Arum yang sangat pemalu, Farah jadi tidak terlalu suka berteman dengannya.

Suatu sore, Farah disuruh ibu membeli bumbu dapur di warung tak jauh dari rumahnya. Farah sedikit berjingkrak-jingkrak sepanjang jalan menuju warung. Karena sore hari itu udara tidak panas, bahkan sangat cerah dan segar, Farah mengambil jalan yang agak jauh. Dia ingin berjalan-jalan melewati lapangan yang banyak ditumbuhi bunga.

Ketika melewati lapangan tersebut, Farah berhenti sejenak untuk menciumi bunga-bunga melati yang tumbuh liar di sana.

“Wah, harumnya.”

Ketika Farah beranjak mendekati kembang sepatu, tiba-tiba sesuatu berukuran kecil dan berwarna hijau melompat ke arahnya. Farah tahu makhluk apa itu. Tanpa bisa ditahan jantungnya mulai berdetak tak beraturan. Dan serta merta ia menjerit keras-keras.

“Belalaaaaaaaang!!!”

Belalang itu melompat dan hinggap di kepala Farah. Anak perempuan itu memang takut belalang. Ia tidak tahu mengapa. Tetapi ia takut sekali pada serangga itu.

Karena tidak berani melepaskan si belalang yang melengket di rambutnya dengan tangannya, Farah pun mengibas-ngibaskan kepalanya. Namun si belalang bertahan di sana. Tidak mau melepaskan diri.

“Pergi! Pergi!” teriak Farah putus asa.

Si belalang melompat dari kepala Farah, berganti menuju tangannya. Membuat anak perempuan itu terpekik.

“Pergiiii!” Farah berteriak sekali lagi sambil mengentak-entakkan tangannya.

Si belalang tidak segera pergi dari tangannya. Karena takut dan kesal, mata Farah mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar Farah terduduk di jalan dan air matanya pun bercucuran.

Farah menutupi wajahnya dengan lengan yang satunya. Ia terus menangis. Hingga tiba-tiba ia merasakan sesorang memegang pundaknya pelan. Farah tersentak kaget. Dilihatnya si belalang sudah tidak ada lagi di tangannya. Farah menoleh untuk melihat siapa yang memegang bahunya. Ia mendongak dan mendapati Arum tengah menatapnya dengan raut wajah cemas.

“Farah, kamu kenapa menangis di jalan?” tanya Arum lalu membantu Farah berdiri.

Dengan perasaan malu Farah membersihkan wajahnya yang basah. Katanya, “Tidak apa-apa.”

“Mau kuantarkan pulang?” tanya Arum. Farah melihat Arum membawa sepeda yang ada boncengannya.

“Terima kasih. Tapi aku harus ke warung membeli bumbu dapur,” jawab Farah. Ia malu bercerita sebab ia menangis karena seekor belalang hinggap di kepalanya.

“Oh, begitu,” kata Arum. “Ng...” Arum terlihat hendak mengatakan sesuatu. Namun kentara sekali kalau ia ragu-ragu.

“Kenapa, Rum?” tanya Farah.

“Maaf. Tapi tadi aku lihat ada belalang di tanganmu. Ketika aku mendekat, belalangnya melompat pergi.”

Deg. Jantung Farah seolah berhenti berdetak. Ia menahan napas. Rasanya ia tidak sanggup kalau ketahuan takut pada belalang.

“Ng... kamu takut belalang, ya?” tanya Arum akhirnya.

Hati Farah mencelos. Ia tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Karenanya Farah diam saja.

Arum tersenyum lalu berkata, “Tidak apa-apa, kok. Aku kalau lagi takut juga sampai berkeringat dingin. Jantung jadi berdetak tak karuan. Seperti waktu Bu Guru menyuruhku membacakan pidato di depan kelas kemarin. Aku gugup sekali. Sampai-sampai kakiku lengket di lantai. Tidak bisa berdiri,” cerita Arum.

Agak kaku Farah pun menyimpul sedikit senyum. Selama ini ia selalu berpendapat kalau sifat pemalu Arum itu tidak masuk akal dan sedikit menyebalkan. Farah tidak tahu bagaimana perasaan Arum. Ternyata sama seperti yang dialaminya barusan. Farah menyesal sempat merasa sebal pada Arum.

“Kalau begitu aku duluan, ya,” kata Arum lalu menaiki sepedanya. Farah mengangguk sambil tersenyum.

Kalau saja Farah tahu dari dulu bagaimana perasaan Arum. Tentu ia tidak akan pernah mengejek sifat pemalu Arum. Ia harusnya bisa seperti Arum. Bisa mengerti ketakutan Farah pada belalang. Bukannya malah mengejeknya.

Farah melanjutkan tujuannya yang sedikit tertunda. Sambil melangkah Farah pun mulai berpikir. Tidak seharusnya ia menghakimi seseorang karena kekurangannya. Kalau ia tidak bisa membantu memperbaiki kekurangan itu, setidaknya ia tidak mengejeknya.

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment