Sunday, 22 June 2014

NANA SIBUK SEKALI

ilustrasi-dongeng-cerita-anak-bergambar

Cerita Anak

Kalau hari-hari biasa Nana sibuk sekolah, di hari Minggu ia punya kesibukan lain. Pagi-pagi sekali ia sudah membuat daftar kegiatan yang akan dilakukannya sepanjang hari itu.

Sambil tersenyum bersemangat Nana membaca daftar tersebut.

“Menyiram bunga, membuang sampah, senam pagi, menyusun piring di meja makan, melipat kaus kaki...”

Dan masih banyak kegiatan lainnya.

“Aku ini benar-benar orang yang sibuk,” kata Nana riang.

Sesuai dengan daftar yang telah dibuatnya, Nana pun memulai. Ia pergi ke halaman depan tempat ibu menanam berbagai jenis tumbuhan. Kemudian, Nana mulai ragu.

“Apa aku harus mengisi ember dengan air, lalu menyiram bunga dengan gayung? Berarti aku harus ambil ember dan gayung dulu. Pasti berat menenteng-nenteng ember berisi air ke sekeliling taman,” gumam Nana.

Di dekat rimbun bunga asoka, Nana melihat gulungan selang air. “Ah, aku ada ide!”

Nana mengambil selang tersebut, lalu memasangkannya ke keran air. Ketika keran air dibuka, air pun mengalir keluar melalui selang.

“Kalau begini kan jadi lebih mudah. Untung aku berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu,” kata Nana, geli sendiri dengan kata-katanya.

Selesai menyiram bunga, Nana melihat daftar kegiatannya. “Hmm... membuang sampah.”

Segera saja Nana menuju belakang rumah. Dilihatnya di sana sampah sudah memenuhi tempatnya.

“Hmmm... ini pekerjaan yang cukup sulit. Aku harus hati-hati membawa sampah-sampah ini keluar, supaya tidak berceceran dan mengotori lantai,” kata Nana sambil manggut-manggut. Ia akan memindahkan sampah-sampah ini ke tempat sampah di luar. Supaya petugasnya bisa mengangkut sampah-sampah ini dengan mobilnya.

Ketika sedang seriusnya Nana melakukan pekerjaannya, tiba-tiba Ayah datang dari arah yang berlawanan.

“Ayah... Ayah... hati-hati... awas!!!” Nana berseru-seru. Ayah jadi kaget dan gelagapan.

“Kenapa? Ada apa?” tanya Ayah sedikit cemas.

“Nana lagi bawa sampah. Ayah bisa beri Nana jalan? Ini penting, Yah. Kalau kita bertabrakan, sampah-sampah ini bisa berceceran di lantai. Kasihan Ibu, lantainya kan sudah dipel,” jelas Nana.

Ayah melongo mendengar jawaban Nana. Namun langsung tersenyum dan memberi jalan. Nana nyengir.

“Terima kasih, Yah.”

Sesuai daftar yang telah dibuatnya, kegiatan Nana selanjutnya adalah senam pagi. Untung aku rajin memperhatikan guru senam di sekolah, kata Nana dalam hati. Ia ingat seluruh gerakannya. Nana pun menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Tetapi... Nana yakin. Ada yang salah di sini.

“Hmmm...” Nana bergumam sambil menguras otak, berpikir. “Oh, tentu saja. Pantas saja rasanya ada yang kurang. Harusnya ada musik senam, biar lebih semangat. Tapi aku kan tidak punya...”

Nana berpikir lagi. Ah, untung saja otakku masih ada sehingga bisa dipakai buat berpikir, Nana membatin. Dia manggut-manggut serius.

“Oh, iya. Aku kan bisa senam sambil bernyanyi.”

Nana pun mulai menyenandungkan irama yang disukainya. Senam pagi ini terasa lebih menyenangkan.

“Satu... dua... satu... dua... la la la la...”

Matahari bersinar sangat cerah. Setelah senam pagi, badan Nana jadi berkeringat. Setelahnya Nana menuju ruang makan sambil berjingkrak-jingkrak. Ibu baru saja selesai memasak sarapan.

“Ibu,” panggil Nana. “Nana pikir, sekarang waktu yang tepat untu meletakkan piring-piring di atas meja makan.”

Mendengarnya Ibu jadi terkikik geli. “Tentu saja, Nana. Sebentar lagi waktunya sarapan pagi.”

Nana mengangguk. Ia setuju dengan Ibu. Sekarang memang saat yang tepat untuk sarapan. Ia merasa sangat lapar.

“Aku harus meletakkan piring dan gelas-gelasnya perlahan. Supaya tidak menimbulkan kebisingan,” Nana bergumam kecil. “Tapi jangan sampai tidak ada suara sama sekali. Suara denting sendok pada gelas sungguh merdu. Seperti bunyi musik,” lanjutnya.

Ting... ting... Nana memukulkan sendok pada gelas.

Setelah selesai sarapan, Ibu bertanya apakah Nana mau membantunya mencuci piring. Nana tidak segera menjawab. Dia membaca daftar kegiatannya dengan kening sedikit berkerut.

“Nana sudah membuat jadwal. Setelah ini Nana harus melipat kaus kaki. Laci kaus kaki Nana sudah berantakan. Apa boleh Nana membantu Ibu lain kali saja?”

“Oh, Nana sudah punya jadwal? Baiklah, Nana bisa membantu Ibu lain kali.

“Terima kasih, Bu.”

Hampir seluruh pekerjaan dalam daftar Nana sudah diselesaikan. Termasuk tidur siang. Sore harinya, Nana melihat kembali daftar itu. Betapa terkejutnya Nana.

“Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?” Nana tampak berpikir keras. Namun akhirnya ia menyerah. Sambil berurai air mata ia mencari ibu untuk meminta nasihatnya.

“Ibu,” kata Nana. Suaranya hampir tak jelas disela isakan.

“Kenapa Nana menangis?” tanya ibu dengan suaranya yang lembut.

Nana menunjukkan daftar kegiatannya. Lalu katanya, “Nana tidak tahu kenapa. Tapi Nana melewatkan satu kegiatan. Nana sungguh lupa. Apa yang harus Nana lakukan?”

“Kegiatan mana yang Nana lupa?” tanya Ibu prihatin.

“Membuatkan ayah roti panggang dengan selai kacang. Bekal untuk di jalan. Ayah kan ada perjalanan dinas keluar kota sore ini. Nana sudah janji. Tapi sekarang sudah tidak sempat lagi. Rotinya belum dibeli. Bagaimana bisa dipanggang,” jawab Nana. Air matanya mengalir lebih deras.

Ibu memandangi Nana sesaat, berpikir. Kemudian katanya, “Kalau Nana memang sudah berjanji pada Ayah, sebaiknya Nana temui Ayah sekarang. Lalu minta maaf. Ayah sedang bersiap-siap.”

“Terus, roti panggangnya bagaimana?”

“Tanyakan saja pada ayah. Apa roti panggangnya boleh diganti dengan kacang dan permen.”

“Kacang dan permen?” ulang Nana. Kedengarannya kok seperti jajanan anak-anak. Apa mungkin ayah suka?

Namun karena ibu terlihat amat yakin, Nana pun pergi menemui ayah.

Ayah sudah rapi dan tasnya juga sudah siap. Nana pun minta maaf karena melupakan janjinya soal roti panggang selai kacang. Mendengarnya ayah tersenyum.

“Tidak apa-apa, Nana. Mungkin Nana terlalu capek karena sibuk seharian ini. Jadinya lupa,” kata ayah.

Nana sangat bersyukur karena ayah begitu pengertian. Kemudian, takut-takut Nana bertanya, “Apa roti panggang selai kacangnya boleh diganti dengan… dengan…”

Lho, aku kan tidak punya kacang dan permen. Bagaimana, nih? Nana membatin.

Tahu-tahu ibu sudah berada di dekat Nana.

“Kacang dan permen,” kata ibu, menyelesaikan kalimat Nana. Dengan senyum lebar ia mengangkat tinggi-tinggi bungkusan kacang dan permen.

“Ibu sudah membelinya?” tanya Nana, terbelalak tak percaya. Ibu mengangguk.

“Kacang dan permen?” kata ayah. Alisnya naik sebelah, seperti biasa kalau ia sedang berpikir. Nana langsung menahan napas. Dalam hati Nana berdoa semoga ayah suka dengan ide tentang kacang dan permen ini.

“Wah, kalau tidak ada roti panggang selai kacang, tentu kacang dan permen adalah pengganti yang paling tepat,” kata ayah ceria.

Nana mengembus napas lega.

“Terima kasih, ya, Bu,” kata Nana sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang ibu.


Sekalipun mengalami berbagai hambatan, Nana berhasil melewati segala kesibukannya. Karenanya Nana merasa amat bahagia. Ternyata banyak sekali yang bisa ia lakukan. Nana mulai mereka-reka, kesibukan apa lagi yang akan ia kerjakan.

cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid

No comments:

Post a Comment