Cerita Anak
Kalau hari-hari biasa Nana sibuk sekolah, di hari Minggu ia punya kesibukan lain. Pagi-pagi sekali ia sudah membuat daftar kegiatan yang akan dilakukannya sepanjang hari itu.
Sambil tersenyum
bersemangat Nana membaca daftar tersebut.
“Menyiram bunga,
membuang sampah, senam pagi, menyusun piring di meja makan, melipat kaus
kaki...”
Dan masih banyak
kegiatan lainnya.
“Aku ini
benar-benar orang yang sibuk,” kata Nana riang.
Sesuai dengan
daftar yang telah dibuatnya, Nana pun memulai. Ia pergi ke halaman depan tempat
ibu menanam berbagai jenis tumbuhan. Kemudian, Nana mulai ragu.
“Apa aku harus
mengisi ember dengan air, lalu menyiram bunga dengan gayung? Berarti aku harus
ambil ember dan gayung dulu. Pasti berat menenteng-nenteng ember berisi air ke sekeliling
taman,” gumam Nana.
Di dekat rimbun
bunga asoka, Nana melihat gulungan selang air. “Ah, aku ada ide!”
Nana mengambil
selang tersebut, lalu memasangkannya ke keran air. Ketika keran air dibuka, air
pun mengalir keluar melalui selang.
“Kalau begini kan
jadi lebih mudah. Untung aku berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu,” kata
Nana, geli sendiri dengan kata-katanya.
Selesai menyiram
bunga, Nana melihat daftar kegiatannya. “Hmm... membuang sampah.”
Segera saja Nana menuju
belakang rumah. Dilihatnya di sana sampah sudah memenuhi tempatnya.
“Hmmm... ini
pekerjaan yang cukup sulit. Aku harus hati-hati membawa sampah-sampah ini
keluar, supaya tidak berceceran dan mengotori lantai,” kata Nana sambil
manggut-manggut. Ia akan
memindahkan sampah-sampah ini ke tempat sampah di luar. Supaya petugasnya bisa
mengangkut sampah-sampah ini dengan mobilnya.
Ketika sedang seriusnya
Nana melakukan pekerjaannya, tiba-tiba Ayah datang dari arah yang berlawanan.
“Ayah... Ayah...
hati-hati... awas!!!” Nana berseru-seru. Ayah jadi kaget dan gelagapan.
“Kenapa? Ada apa?”
tanya Ayah sedikit cemas.
“Nana lagi bawa
sampah. Ayah bisa beri Nana jalan? Ini penting, Yah. Kalau kita bertabrakan, sampah-sampah ini bisa
berceceran di lantai. Kasihan Ibu, lantainya kan sudah dipel,” jelas Nana.
Ayah melongo
mendengar jawaban Nana. Namun langsung tersenyum dan memberi jalan. Nana
nyengir.
“Terima kasih, Yah.”
Sesuai daftar yang
telah dibuatnya, kegiatan Nana selanjutnya adalah senam pagi. Untung aku rajin
memperhatikan guru senam di sekolah, kata Nana dalam hati. Ia ingat seluruh
gerakannya. Nana pun menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Tetapi... Nana
yakin. Ada yang salah di sini.
“Hmmm...” Nana
bergumam sambil menguras otak, berpikir. “Oh, tentu saja. Pantas saja rasanya
ada yang kurang. Harusnya ada musik senam, biar lebih semangat. Tapi aku kan
tidak punya...”
Nana berpikir lagi.
Ah, untung saja otakku masih ada sehingga bisa dipakai buat berpikir, Nana
membatin. Dia manggut-manggut serius.
“Oh, iya. Aku kan
bisa senam sambil bernyanyi.”
Nana pun mulai
menyenandungkan irama yang disukainya. Senam pagi ini terasa lebih
menyenangkan.
“Satu... dua...
satu... dua... la la la la...”
Matahari bersinar
sangat cerah. Setelah senam pagi, badan Nana jadi berkeringat. Setelahnya Nana
menuju ruang makan sambil berjingkrak-jingkrak. Ibu baru saja selesai memasak
sarapan.
“Ibu,” panggil
Nana. “Nana pikir, sekarang waktu yang tepat untu meletakkan piring-piring di
atas meja makan.”
Mendengarnya Ibu
jadi terkikik geli. “Tentu saja, Nana. Sebentar lagi waktunya sarapan pagi.”
Nana mengangguk. Ia
setuju dengan Ibu. Sekarang memang saat yang tepat untuk sarapan. Ia merasa
sangat lapar.
“Aku harus meletakkan piring dan gelas-gelasnya perlahan. Supaya tidak menimbulkan kebisingan,” Nana bergumam kecil. “Tapi
jangan sampai tidak ada suara sama sekali. Suara denting sendok pada gelas
sungguh merdu. Seperti bunyi musik,” lanjutnya.
Ting... ting... Nana memukulkan sendok pada gelas.
Setelah selesai
sarapan, Ibu bertanya apakah Nana mau membantunya mencuci piring. Nana tidak
segera menjawab. Dia membaca daftar kegiatannya dengan kening sedikit berkerut.
“Nana sudah membuat
jadwal. Setelah ini Nana harus melipat kaus kaki. Laci kaus kaki Nana sudah
berantakan. Apa boleh Nana membantu Ibu lain kali saja?”
“Oh, Nana sudah
punya jadwal? Baiklah, Nana bisa membantu Ibu lain kali.”
“Terima kasih, Bu.”
Hampir seluruh
pekerjaan dalam daftar Nana sudah diselesaikan. Termasuk tidur siang. Sore
harinya, Nana melihat kembali daftar itu. Betapa terkejutnya Nana.
“Aduh, bagaimana
ini? Apa yang harus kulakukan?” Nana tampak berpikir keras. Namun akhirnya ia
menyerah. Sambil berurai air mata ia mencari ibu untuk meminta nasihatnya.
“Ibu,” kata Nana.
Suaranya hampir tak jelas disela isakan.
“Kenapa Nana
menangis?” tanya ibu dengan suaranya yang lembut.
Nana menunjukkan
daftar kegiatannya. Lalu katanya, “Nana tidak tahu kenapa. Tapi Nana melewatkan
satu kegiatan. Nana sungguh lupa. Apa yang harus Nana lakukan?”
“Kegiatan mana yang
Nana lupa?” tanya Ibu prihatin.
“Membuatkan ayah roti panggang dengan selai kacang.
Bekal untuk di jalan. Ayah kan ada perjalanan dinas keluar kota sore ini. Nana
sudah janji. Tapi sekarang sudah tidak sempat lagi. Rotinya belum dibeli. Bagaimana bisa dipanggang,”
jawab Nana. Air matanya mengalir lebih deras.
Ibu memandangi Nana sesaat, berpikir. Kemudian katanya, “Kalau Nana
memang sudah berjanji pada Ayah, sebaiknya Nana temui Ayah sekarang. Lalu minta
maaf. Ayah sedang bersiap-siap.”
“Terus, roti panggangnya bagaimana?”
“Tanyakan saja pada ayah. Apa roti panggangnya boleh diganti dengan kacang
dan permen.”
“Kacang dan permen?” ulang Nana. Kedengarannya kok seperti jajanan
anak-anak. Apa mungkin ayah suka?
Namun karena ibu terlihat amat yakin, Nana pun pergi menemui ayah.
Ayah sudah rapi dan tasnya juga sudah siap. Nana pun minta maaf karena
melupakan janjinya soal roti panggang selai kacang. Mendengarnya ayah
tersenyum.
“Tidak apa-apa, Nana. Mungkin Nana terlalu capek karena sibuk seharian
ini. Jadinya lupa,” kata ayah.
Nana sangat bersyukur karena ayah begitu pengertian. Kemudian,
takut-takut Nana bertanya, “Apa roti panggang selai kacangnya boleh diganti
dengan… dengan…”
Lho, aku kan tidak punya kacang dan permen. Bagaimana, nih? Nana
membatin.
Tahu-tahu ibu sudah berada di dekat Nana.
“Kacang dan permen,” kata ibu, menyelesaikan kalimat Nana. Dengan senyum
lebar ia mengangkat tinggi-tinggi bungkusan kacang dan permen.
“Ibu sudah membelinya?” tanya Nana, terbelalak tak percaya. Ibu
mengangguk.
“Kacang dan permen?” kata ayah. Alisnya naik sebelah, seperti biasa
kalau ia sedang berpikir. Nana langsung menahan napas. Dalam hati Nana berdoa
semoga ayah suka dengan ide tentang kacang dan permen ini.
“Wah, kalau tidak ada roti panggang selai kacang, tentu kacang dan
permen adalah pengganti yang paling tepat,” kata ayah ceria.
Nana mengembus napas lega.
“Terima kasih, ya, Bu,” kata Nana sambil melingkarkan kedua tangannya di
pinggang ibu.
Sekalipun mengalami berbagai hambatan, Nana berhasil melewati segala kesibukannya.
Karenanya Nana merasa amat bahagia. Ternyata banyak sekali yang bisa ia
lakukan. Nana mulai mereka-reka, kesibukan apa lagi yang akan ia kerjakan.
cerita & ilustrasi oleh Angewid
No comments:
Post a Comment