Cerita Anak
EMA dan Emi tengah kebingungan. Saat itu adalah
masa liburan sekolah. Tetapi kedua anak kembar itu belum punya rencana.
Orangtua mereka juga tidak mengajak keduanya berlibur. Mereka tidak tahu harus
melakukan apa selama liburan.
“Sebaiknya kita melakukan apa?” tanya Ema.
“Kita bermain saja,” jawab Emi.
“Main apa? Aku bosan. Ingin
melakukan sesuatu yang baru,” kata Emi.
Keduanya nampak murung. Padahal libur
sekolah baru saja dimulai.
Rupanya sore harinya Om Restu
datang dari luar kota. Om Restu adalah adik dari ibu mereka. Ema dan Emi sangat
senang. Biasanya Om Restu selalu punya ide-ide yang bagus.
“Kok Om Restu tidak bilang-bilang
mau datang ke mari?” tanya Ema.
“Om kan mau kasih kejutan,” jawab
Om Restu. “Apa kegiatan kalian selama liburan ini?”
Ema dan Emi kembali murung.
“Belum tahu,” jawab Emi lesu.
“Hmmm…. begitu, ya,” kata Om Restu perlahan. Dia
tampak sedang berpikir. “Bagaimana kalau kita… jalan-jalan ke hutan?”
“Jalan-jalan ke hutan?” tanya
Emi.
“Kita mau melakukan apa di hutan?”
tanya Ema.
“Itu rahasia,” jawab Om Restu
sambil tersenyum jail.
Keesokan paginya Ema dan Emi
sudah bersiap. Om Restu meminta mereka menyiapkan beberapa peralatan.
“Kita sebenarnya mau melakukan
apa, sih?” Ema berbisik di telinga Emi.
“Mungkin cuma jalan-jalan saja,”
Emi balas berbisik.
Om Restu mendengar keduanya.
Tetapi dia diam saja. Cuma senyum-senyum misterius. Bikin si kembar penasaran
saja.
Ketiganya pun berangkat sesuai
rencana. Hutan yang akan mereka kunjungi adalah hutan kecil. Tak jauh dari
rumah Ema dan Emi.
Ema dan Emi berjalan sambil
berjingkrak-jingkrak. Mereka begitu bersemangat. Berjalan kaki di udara terbuka
betul-betul bisa membuat bahagia. Apalagi udara begitu segar dan matahari
bersinar cerah.
“Coba lihat tanaman ini,” kata Om Restu. Si kembar buru-buru
menghampirinya. “Kalian tahu nama tanaman ini?”
Ema dan Emi mengamati tanaman yang ditunjuk Om Restu. Keduanya tidak
mengenali tanaman itu. Namun keduanya tampak terpukau.
Tanaman tersebut memiliki helaian daun berbentuk lonjong. Tepi daunnya
bergerigi. Batangnya berwarna merah kecoklatan. Namun yang menarik perhatian si
kembar adalah bunga tanaman itu. Kelopak bunganya berwarna putih. Ukurannya
kecil dan berjumlah banyak. Benang sarinya sangat panjang dibanding kelopaknya.
Benang sari yang panjang dan berwarna putih ini sehingga tampak seperti,
“Kumis kucing!” seru Ema dan Emi serentak. Keduanya pun tertawa riang.
Kemudian Om Restu menyuruh mereka memotong bagian tanaman tersebut. Emi
menggunakan gunting yang sudah dipersiapkannya dari rumah. Begitu juga Ema.
Mereka masing-masing memotong tangkai dengan beberapa helai daun dan bunganya.
“Simpan dulu dalam kantong plastik. Kita akan lanjutkan nanti di rumah,”
kata Om Restu.
“Mau diapakan kumis kucing ini?” tanya Emi.
“Kita akan membuat herbarium,” jawab Om Restu. Ema dan Emi tidak tahu apa
herbarium itu. Mereka baru kali ini mendengarnya. Makanya keduanya jadi begitu
bersemangat.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Om Restu menjelaskan tentang
herbarium.
“Herbarium sama saja dengan mengawetkan tanaman. Tanaman itu kita keringkan
lalu kita simpan. Selain disimpan kita juga tuliskan keterangan tentang tanaman
tersebut. Jadi kalau sedang jalan-jalan, terus ketemu tumbuhan yang menarik,
bisa kita buat herbarium. Yang asyiknya adalah kita bukan sekadar menyimpan
foto atau gambarnya. Tetapi yang kita simpan adalah tanaman sungguhan.
Bagaimana menurut kalian?”
“Wah, seperti membuat koleksi,” kata Ema.
“Iya. Tapi tanamannya asli!”
“Keren!” seru Ema dan Emi kompak.
Setibanya di rumah Om Restu mengajari mereka cara membuat herbarium.
“Pertama-tama, kumis kucingnya kita keringkan dulu,” kata Om Restu.
Tanaman kumis kucing yang mereka ambil dari hutan diletakkan di atas kertas
koran. Ditutup dengan kertas koran lagi. Kemudian kumis kucing yang sudah
terbungkus koran itu ditindih dengan beban yang berat.
“Karena kita tidak punya alat pengepres, kita bisa gunakan apa saja. Asal
beban tersebut bisa mengepres tanaman kumis kucingnya biar jadi pipih. Kita
gunakan saja beberapa tumpuk buku yang tebal.”
Menurut Om Restu, supaya tanaman kumis kucing itu cukup kering, mereka
harus menunggu beberapa hari. Namun kertas koran pembungkusnya harus sering diganti
agar herbarium tidak rusak atau busuk.
Setiap hari Ema dan Emi mengganti koran tersebut. Mereka sangat antusias.
Semakin hari tanaman kumis kucing mereka telah menjadi semakin kering.
“Sembari menunggu tanamannya benar-benar kering, kita bisa siapkan yang
lain,” kata Om Restu. “Kita siapkan informasi tentang kumis kucing.”
“Informasi apa, ya? Rasa-rasanya aku tidak tahu tentang tanaman kumis
kucing,” kata Ema sambil berpikir.
“Ng... iya juga. Bagaimana ini?” sahut Emi.
“Makanya kita cari tahu. Kalau koleksi herbarium kita ada informasinya,
bisa sangat bermanfaat. Selain membuat koleksi, kita juga dapat ilmu baru.
Ng... bagaimana kalau kita cari di internet?”
“Iya, betul. Setuju,” sahut Ema. Emi manggut-manggut sependapat.
Om Restu mendampingi kedua keponakannya itu menjelajah di internet. Ema dan
Emi memperoleh banyak informasi tentang tanaman kumis kucing.
Beberapa hari kemudian Om Restu meminta keduanya mengeluarkan tanaman kumis
kucing mereka dari koran.
“Sekarang, kumis kucingnya kita letakkan di atas kertas kosong. Kita
gunakan kertas manila. Kalian sudah menyiapkannya?”
“Sudah, Om. Punyaku warna hijau,” kata Ema.
“Kertas manilaku warna kuning,” kata Emi.
“Bagus.”
Om Restu meminta keduanya mengatur posisi kumis kucing di atas kertas
menila sedemikan mungkin. Agar tanamannya terlihat cantik dan antar daunnya
tidak tumpang tindih. Kemudian tanaman tersebut diberi selotip di beberapa
bagian batangnya. Gunanya adalah supaya tanaman tersebut tidak bergeser.
“Nah, sekarang waktunya menuliskan identitas tanaman ini. Seperti yang
sudah kalian temukan di internet. Dan jangan lupa, tulis juga identitas diri
kalian,” jelas Om Restu.
Di sebelah tanaman kumis kucing yang sudah diberi selotip, Ema dan Ema
menuliskan beberapa informasi di selembar kertas. Dimulai dari informasi
tentang diri mereka. Mereka juga menuliskan lokasi tanaman itu diambil. Juga
waktunya. Setelahnya mereka menuliskan informasi tentang si kumis kucing.
Kertas informasi ini kemudian mereka tempel di atas kertas manila, tepat di
sebelah tanaman kumis kucing.
“Kumis kucing, nama ilmiahnya adalah Orthosiphon aristatus.
Tanaman ini baiknya ditanam di tanah yang gembur dan banyak mengandung humus.
Di Indonesia biasa digunakan sebagai tanaman obat. Bagian yang digunakan adalah
daunnya. Air dari rebusan daun kumis kucing bermanfaat untuk mengobati berbagai
penyakit. Seperti encok, masuk angin dan batu ginjal,” Om Restu membaca
keterangan yang dibuat keponakannya. “Bagus sekali,” pujinya.
“Terima kasih, Om,” jawab Ema dan Emi berbarengan.
“Supaya lebih terawat, herbariumnya kita simpan dalam plastik transparan,”
kata Om Restu.
Setelah semua proses mereka lakukan, Ema dan Emi memandangi hasil pekerjaan mereka. Keduanya tersenyum ceria. Benar-benar menyenangkan! Mereka tidak sabar untuk membuat herbarium dari tanaman lainnya. Mereka juga berencana akan mengajak teman-teman mereka membuat herbarium. Tentunya akan lebih menyenangkan!
Setelah semua proses mereka lakukan, Ema dan Emi memandangi hasil pekerjaan mereka. Keduanya tersenyum ceria. Benar-benar menyenangkan! Mereka tidak sabar untuk membuat herbarium dari tanaman lainnya. Mereka juga berencana akan mengajak teman-teman mereka membuat herbarium. Tentunya akan lebih menyenangkan!
cerita & ilustrasi oleh Angewid
@ange_wid
No comments:
Post a Comment